oleh: Rachma Bhakti Utami
Dosen Administrasi Bisnis
Politeknik Negeri Malang
Labubu, boneka yang kini viral, telah mencuri perhatian banyak orang, terutama generasi muda. Sejatinya Labubu ini sudah ada sejak 2015 lalu, dibuat oleh seniman Belgia kelahiran Hong Kong, Kasing Lung. Tidak hanya di Indonesia, boneka yang memiliki telinga panjang yang berujung lancip dan gigi yang tajam serta menonjol dari mulut ini juga populer di Thaland, Cina, Vietnam dan Malaysia.
Boneka ini kembali viral di tahun ini sejak Lisa Blackpink membagikan video di instastorynya saat sedang memegang Labubu. Kini Labubu bukan hanya sekadar mainan; ia telah bertransformasi menjadi simbol status dan identitas di kalangan penggemar. Viralitas Labubu ini menunjukkan bagaimana tren dapat mempengaruhi perilaku konsumen, serta berimplikasi pada manajemen keuangan individu.
Ketika Lisa Blackpink menampilkan Labubu, boneka ini langsung menarik perhatian banyak orang. Secara tidak langsung ini merupakan contoh nyata dari konsep influencer marketing, di mana seseorang yang memiliki pengaruh besar di media sosial dapat menggerakkan pasar.
Menurut konsep supply and demand, ketika permintaan terhadap suatu barang meningkat sementara penawaran tetap terbatas, harga barang tersebut akan meningkat. Labubu yang awalnya mungkin memiliki harga yang wajar, kini dapat mencapai angka yang sangat tinggi karena popularitasnya.
Salah satu aspek yang mencolok dari fenomena Labubu adalah harganya yang sangat mahal. Di platform daring, harga Labubu berkisar $28 (Rp 433.580) sampai $40 (Rp 619.400). Namun ketika tiba di Indonesia harganya naik menjadi Rp 1 juta. Harga per satu boneka berkisar Rp 400.000. Namun untuk harga koleksinya bisa mencapai Rp 1,5 juta.
Ini sering kali membuat konsumen merasa bahwa mereka harus segera membeli sebelum harga semakin naik. Dari perspektif manajemen keuangan, ini bisa berbahaya. Banyak konsumen, terutama yang muda, mungkin terjebak dalam keputusan impulsif untuk membeli Labubu tanpa mempertimbangkan situasi keuangan mereka.
Dalam konteks manajemen keuangan, ditekankan pentingnya pengambilan keputusan yang rasional dalam mengelola keuangan pribadi (Arianti, 2022). Salah satu prinsip dasar adalah membuat anggaran yang mencakup semua sumber pendapatan dan pengeluaran. Ketika menghadapi fenomena seperti Labubu, konsumen perlu mempertimbangkan beberapa faktor. Seperti prioritas/ kewajiban keuangan, prioritas pengeluaran, serta nilai jangka panjang.
Sebelum membeli Labubu, penting untuk mengevaluasi kewajiban keuangan yang ada, seperti utang, cicilan, atau kebutuhan sehari-hari. Pembelian yang impulsif dapat mengganggu kestabilan keuangan jangka panjang. Penting juga untuk menentukan prioritas pengeluaran: memahami apa yang menjadi kebutuhan utama dan sekunder adalah kunci dalam pengelolaan keuangan.
Kewajiban sekunder, seperti hobi atau koleksi, harus didasarkan pada sisa anggaran setelah memenuhi kewajiban utama. Selain itu, penting juga untuk mempertimbangkan nilai jangka panjang dari pembelian. Apakah Labubu hanya akan menjadi barang koleksi yang mungkin tidak memiliki nilai setelah tren mereda? Atau apakah ini adalah investasi yang akan memberikan kepuasan lebih di masa depan?
Waspada Jebakan Konsumsi
Kenaikan fenomena seperti Labubu—sebuah istilah yang menggambarkan ketertarikan yang tinggi terhadap barang-barang yang sedang tren—menunjukkan betapa pentingnya literasi keuangan di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Dalam era di mana iklan dan tren di media sosial mampu mempengaruhi pola pikir serta perilaku konsumsi secara signifikan, sangat penting bagi generasi ini untuk dilengkapi dengan pengetahuan yang memadai agar mereka dapat membuat keputusan keuangan yang bijak dan berkelanjutan.
Pendidikan mengenai perencanaan keuangan menjadi suatu keharusan. Tidak hanya untuk mengelola penghasilan sehari-hari, tetapi juga untuk memahami pentingnya tabungan dan investasi jangka panjang. Selain itu, pengelolaan utang juga merupakan aspek krusial yang perlu dikuasai agar mereka tidak terjebak dalam siklus utang yang berpotensi membahayakan kondisi finansial di masa depan. Dengan pengetahuan yang memadai, mereka diharapkan mampu menilai mana barang atau layanan yang benar-benar bermanfaat dan mana yang sekadar menggoda untuk dibeli hanya karena popularitasnya di media sosial.
Lebih jauh lagi, meningkatkan literasi keuangan di kalangan generasi muda bukan hanya membantu individu, tetapi juga berkontribusi pada kestabilan ekonomi secara keseluruhan. Karena masyarakat yang cerdas dalam mengelola keuangannya cenderung lebih tahan terhadap fluktuasi ekonomi dan mampu mengambil keputusan investasi yang lebih strategis.
Oleh karena itu, upaya edukasi yang sistematis dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas dalam berbelanja, tetapi juga memiliki visi keuangan yang lebih luas dan bertanggung jawab.
Fenomena Labubu mencerminkan bagaimana viralitas dapat memengaruhi perilaku konsumen dan menciptakan tantangan dalam manajemen keuangan. Sementara daya tarik boneka ini mungkin mengasyikkan, penting bagi generasi muda untuk mengelola keuangan mereka dengan bijak. Dengan memahami konsep manajemen keuangan, menyusun anggaran, dan mengedukasi diri tentang literasi keuangan, generasi muda dapat terhindar dari jebakan konsumsi impulsif. Pada akhirnya, keputusan keuangan yang bijak akan membawa pada kestabilan dan kebahagiaan jangka panjang, jauh lebih berharga daripada sekadar mengikuti tren sesaat.(*)