Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia merupakan negara dengan beban anak stunting tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 dunia. Pada tahun 2018 angka prevalensi stunting mencapai 30.8 persen, yakni satu dari tiga balita di Indonesia mengalami stunting.
Di tahun 2020 hingga tahun 2021, Indonesia terjangkiti virus Covid-19, ini tentu membuat penyelesaian kasus stunting menjadi terhambat. Pada tahun ini, masyarakat sudah semakin dapat beradaptasi degan penanganan Covid sehingga semua pihak harusnya mengulurkan tangannya untuk dapat membantu menggunting angka prevalensi stunting di Indonesi.
Bagaikan rantai makananan yang saling berkesinambungan, kasus stunting hampir demikian. Adanya stunting di Indonesia bukan hanya masalah edukasi kesehatan yang tidak sampai pada masyarakat di Indonesia. Namun juga berkaitan dengan kebutuhan ekonomi yang setiap harinya belum tentu bisa tercukupi dengan baik. Begitu juga dengan masalah sosial, baik minat sekolah yang rendah dan tingginya angka pernikahan dini. Sehingga pemutusan rantai ini harus melibatkan banyak orang dan harus disegerakan.
Pernikahan Usia Anak
dan Pandangan Patriarki di Masyarakat
Tidak bisa dipungkiri lagi, masyarakat Indonesia masih banyak yang menganggap bahwa cara memangkas beban hidup dalam keluarga yang serba kekurangan adalah dengan menikahkan anak. Terlebih jika memiliki anak perempuan, mereka akan berpikir bahwa dengan menikahkan putrinya berarti tugas menafkahi akan beralih pada suami bukan lagi pada keluarga orang tuanya. Itulah yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia ketika menghadapi kesulitan ekonomi.
Ini adalah cara berpikir lama bagi masyarakat yang menganut budaya patriarki. Dalam buku Pengantar Gender dan Feminisme (2013) karya Alfian Rokhmansyah, dijelaskan bahwa patriarki berasal dari kata “patriarkat”, berarti struktur yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan lainnya. Sehingga adanya perempuan yang hadir sebagai istri hanya menjadi pendamping pelengkap laki-laki.
Dominasi laki-laki dalam relasi keluarga membuat perempuan akhirnya tergiring pada pemikiran bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi. Karena pada akhirnya akan hidup sebagai seorang istri yang melayani suami dan bekerja di dapur.
Perempuan sebagai calon ibu, hanya bisa terima atas apa yang menjadi keputusan suami. Ekononi hanya bergantung pada suami. Sehinga selama hamil, melahirkan dan merawat bayi hanya berdasarkan sumber ekonomi tunggal dari suami. Akan beruntung, jika suami memiliki sumber pemasukan yang lebih namun yang terjadi di masyarakat kelas menengah ke bawah justru uang akan habis hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Parahnya, untuk menunjang makanan bergizi untuk kesehatan ibu hamil atau bayi biasanya tidak ada, namun untuk kebutuhan rokok justru ada. Ini akan berbeda cerita jika perempuan bisa lebih berdaya, mereka akan bisa memiliki sumber keuangan sendiri sehingga bisa memprioritaskan kebutuhan kesehatan mereka sebagai perempuan atau calon ibu untuk mencukupi kebutuhan bayi mereka.
Perspektif dalam menentukan prioritas kesehatan dalam keluarga juga belum dipahami secara utuh oleh masyarakat yang daerahnya rentan akan stunting. Ini juga akibat dari rendahnya minat sekolah yang berdampak pada pola pikir yang tidak begitu luas. Yang dipikirkan hanyalah tentang bagaimana mereka sebagai manusia.
Mereka tidak sampai pada bagaimana mencetak generasi selanjutnya yang bisa sehat dan bisa lebih baik dari generasi sebelumnya. Seperti halnya kasus stunting yang terjadi di Kabupaten Malang yaitu Desa Wiyurejo, yang ternyata kasus stuntingnya cukup tinggi di Kabupaten Malang.
Masalah yang terlihat bukan masalah postur bayi namun lebih pada cara berpikir orang-orang yang ada di sana sehingga berdampak pada kesehatan, lingkungan, dan kebiasaan yang kurang baik yang dapat mendorong terjadinya stunting.
Tak ada lagi mimpi bagi para pelajar untuk bisa hidup lebih baik selain dengan menikah. Pembahasan yang terjadi di kalangan remaja juga hanya sebatas tentang asmara tanpa mereka ketahui beratnya menjalani kehidupan berumah tangga.
Pentingnya Peran Organisasi Kemasyarakatan
pada Tataran Grassroot
Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), pada tahun 2021, Kabupaten Malang dan Kota Malang masing-masing terdapat 25,7 persen balita yang memiliki prevalensi stunting. Sanusi, Bupati Malang pernah mengungkap bahwa ada perbedaan data antara assessment yang dilakukan oleh provinsi dan kabupaten terkait angka pralevansi stunting.
Hal itu tidak heran karena ada sebagian masyarakat atau bahkan petugas kesehatan menganggap bahwa stunting hanyalah sebagai aib. Namun ada juga yang melihat hanya sebagai proyek semata. Karena anggarannya tidak sedikit. Anggaran stunting dari dana desa mencapai jutaaan hingga miliaran rupiah.
Hal ini juga sedikit banyak mempengaruhi cara pandang masayarakat atau bahkan petugas di tingkat desa untuk selalu mengaitkan dengan uang pada setiap program-program yang dilakukan dalam rangka penurunan angka stunting.
Di satu sisi, mereka yang terdampak stunting juga kebutuhan ekonominya belum tercukupi dengan baik. Sehingga uang menjadi salah satu daya tarik yang lebih. Namun sayang jika dalam suatu program sosialisasi kesehatan mereka tidak mau datang hanya karena tidak ada uangnya, atau ketika alokasi dana itu ada, masyarakat hanya datang tidak untuk mendengarkan sosialisasi tapi yang diincar adalah tentang honorarium peserta saja tanpa mengindahkan apa yang disampaikan.
Masalah membenarkan pemahaman pada masyarakat yang angka prevalensi stuntingnya tinggi ini harus ditangani secara serius dengan melibatkan banyak pihak. Tidak bisa pemerintah berjalan sendiri karena ini adalah urusan masa depan generan bangsa Indonesia yang lebih pajang. Ini juga mengandung misi pencerdasan kehidupan bangsa dan juga masalah mengentaskan kemiskinan di Indonesia. semua berkesinambungan.
Hal ini akan lebih ringan lagi jika organisasi masyarakat yang selalu ada di grassroot ikut campur dalam menangani isu stunting. Jika dalam forum-forum sosialisasi yang dilakukan oleh pihak pemerintah kurang diindahkan oleh masyarakat. Ormas melalui pengajian-pengajian rutin harus memberikan penguatan dan edukasi.
Ceramah yang disampaikan harus ada kaitan antara Islam dan kesehatan, Islam dan pendidikan, Islam dan kesejahteraan keluarga sehingga bukan hanya masalah surga dan neraka saja yang menjadi pembahasan. Namun lebih pada bagamana bisa menjadi umat yang lebih baik. Jika perlu, disampaikan juga ketika momen ceramah agama pada shalat Jumat, forum PKK, Istighotsah dan forum pengajian lainnya.(*)