Desember identik dengan suasana akhir tahun. Bulan penghujung yang penuh dengan liburan hingga laporan keuangan. Di tengah kesibukan Desember ini, ada fenomena menarik yang tengah naik daun yaitu menghitung pengeluaran belanja dari berbagai aplikasi market place.
Dengan beberapa fitur, konsumen atau pelanggan dapat dengan mudah mendapat laporan tentang pengeluaran yang dihabiskan di aplikasi tersebut. Tak kalah dengan rekening koran bank, data yang bisa diakses sampai dengan 1 tahun terakhir dalam hitungan menit bahkan detik tersebut, dilengkapi dengan keterangan item pembelian, waktu, tempat, hingga besaran “uang” yang dikeluarkan.
Informasi detail yang didapat melalui beberapa kali sentuhan, menjadi pemanggil memori sekaligus “alat intropeksi” bagaimana gaya hidup dalam satu tahun.
Kebiasaan Instan yang Memudahkan
Hadirnya market place telah menggeser sebagian besar gaya konsumtif masyarakat. Jika dulu jelang perayaan hari besar kegamaan, atau momen spesial liburan hingga tahun baru, “gemerlap kemewahan” hadir di berbagai departemen store. Sekarang “perayaan” itu hadir di depan layar smartphone kita.
Deretan flash sale hingga diskon menyeruak begitu saja saat aplikasi belanja favorit mulai diakses. Tak hanya itu, beberapa tawaran menggiurkan untuk menghabiskan uang bahkan hadir melalui email dan pesan singkat. Tak ayal, pancingan-pancingan yang kerap terasa “murah” ini berhasil menggaet para konsumen yang telah terbiasa memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Perayaan hari raya keagamaan, liburan hingga tanggal cantik sesuai bulan juga tak lepas dari keharusan dirayakan dengan berbelanja. Hal ini menambah kental arus kapitalisme dalam kehidupan sehari-hari. Max Weber menyebut kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang berlaku pada suatu pasar dan dipacu untuk menghasilkan keuntungan dengan kegiatan tukar menukar di pasar tersebut.
Uniknya keuntungan yang pada dasarnya merupakan kepentingan produsen dan distributor, kini didesain sedemikian rupa agar menjadi kepentingan konsumen. Tak ayal, tawaran harga dengan potongan mulai Rp 500 terasa sangat menggiurkan. Sangat sulit ditolak. Belum lagi dengan tambahan diskon ongkos kirim, atau bahkan free ongkos kirim.
Tak berlebihan rasanya, jika salah satu adegan di film Confessions of a Shopaholic memperlihatkan, bagaimana patung-patung dengan fashion dan perhiasan terbaru seakan memanggil-manggil si tokoh utama untuk dicoba dan dibeli. Berbagai barang dagangan itu, bahkan seperti bernyawa, menyempurnakan imajinasi untuk segera ada di genggaman.
Film yang dibintangi lakon bernama Becky ini menceritakan seorang perempuan yang kecanduan belanja. Setiap hari ia mengunjungi berbagai butik di kota hingga semua kartu kredit miliknya ditolak dan ia tidak mempunyai uang sepeser pun. Sadar akan keinginan berbelanja yang tak lagi mampu ia kendalikan, Becky pun menempuh banyak usaha untuk “menyelamatkan” dirinya.
Apa yang terjadi pada tokoh utama dalam film tersebut, nyatanya banyak terjadi pada individu saat ini. Banyak di sekitar kita, kawan khususnya para perempuan, yang mengisi waktu senggang dengan membuka aplikasi market place. Tak jarang melalui berbagai cerita di media sosial terlihat, bagaimana penuhnya “keranjang” online mereka dengan barang-barang impian, mulai dari yang dibutuhkan hingga sekadar diinginkan.
Tak hanya kebutuhan sandang papan, kemudahan teknologi juga telah membuat masyarakat sangat mudah menikmati berbagai menu makanan setiap hari. Variasi menu yang dimakan, dengan perubahan rasa hingga masakan khas berbagai negara, seakan menjadi kewajiban. Berbagai pilihan pun dapat dengan mudah didapatkan. Lagi-lagi, diri terasa hidup di atas hasrat yang tak pernah habis.
Belajar Merasa Cukup “Indah”
Kebutuhan dan keinginan yang tidak pernah habis menjadi salah satu sisi dalam diri manusia modern saat ini. Di balik kata lebih baik, banyak hal diperjuangkan meski harus ada lainnya yang dikorbankan. Satu hal yang kemudian muncul dan sulit dikendalikan, adalah hasrat yang yang tak pernah habis. Tak hanya dalam harta, namun juga segi kehidupan lainnya. Mulai dari kuliner, travelling, hingga soal jabatan dan kekuasaan. Garis batas untuk merasa cukup, kadang samar di pandangan.
Tiada yang salah dengan rasa ingin menjadi selangkah lebih baik. Atau bahkan dua tiga langkah ke depan. Yang perlu menjadi evaluasi adalah, apakah hal-hal yang dikejar, yang menjadi prioritas adalah yang patut diperjuangkan. Karena sejatinya, banyak yang merasa kesepian di tengah keramaian.
Dalam Sosiologi, Durkheim pernah menyampaikan bahwasanya integrasi sosial yang lemah dapat menjadi salah satu alasan seseorang mengakhiri hidupnya. Padahal seyogyanya, tak pernah ada kata sepi di kehidupan manusia. Dalam sekali sentuh, keramaian dari seluruh dunia ada di genggaman.
Di sinilah pentingnya sebagai manusia punya pedoman untuk melangkah. Lebih penting dari itu, kita juga perlu tahu ke mana arah tujuannya. Jika check point hidup telah dibuat, visi misi telah diperjelas, langkah yang diambil akan semakin mudah. Memilih jalan yang sesuai dengan apa yang ingin diraih menjadi “penyelamat” di tengah banyaknya tawaran gemerlap dunia yang tiada batasnya. Destinasi pasti, akan membuat kita kuat di pijakan ideologi pribadi.
Jangan mudah terbawa arus, karena tanpa karakter yang kuat kita akan terjerumus. Jangan terus mengikuti langkah lainnya, karena belum tentu tujuannya sama. Mari memberi batasan yang tegas, untuk diri bertumbuh dengan ikhlas.
Setiap orang istimewa dan punya peran, memberi warna tersendiri dalam kehidupan. Mari merasa cukup, agar tak hilang makna dalam menjalani hidup. Selamat menyambut tahun 2025. Selamat merancang lagi tema-tema dan narasi indah dalam memberi arti untuk dunia.(*)