Malang Posco Media – Kesetaraan gender tak hanya didukung oleh perempuan. Aktivis gender equality juga banyak dari kaum laki-laki. Hal ini karena kesetaraan gender bukan sekadar “cara” mewujudkan kesetaraan, tapi suatu ide atau pemikiran yang mempunyai konsep. Gerakan feminisme bangkit untuk mewujudkan ide dan konsep tersebut agar diterapkan dan disebarluaskan. Semakin hari massa gerakan ini semakin besar. Meskipun benihnya dari Eropa, kini pengaruhnya cukup kuat di tengah masyarakat Indonesia yang religius.
Sekilas frasa kesetaraan gender terdengar bagus. Apalagi bagian “memperjuangkan hak-hak perempuan, menghapus pengekangan perempuan, dan pemberdayaan bagi perempuan” sangat menarik. Namun, di baliknya ada bahaya yang mampu menghancurkan bangunan keluarga dan negara. Perlu dikaji terlebih dahulu latar belakang lahirnya feminisme. Ia muncul sebagai reaksi sentimen terhadap kebijakan yang merugikan kaum perempuan di Barat.
Pada abad ke-18, buruh perempuan di Eropa dan Amerika turun melakukan unjuk rasa besar-besaran. Kemudian disusul oleh aksi-aksi yang sama hingga pada tahun 1960-an feminisme lahir. Tuntutan mereka adalah kesamaan upah bagi pekerja baik perempuan maupun laki-laki. Perempuan merasa diperlakukan berbeda.
Upahnya lebih sedikit, namun tetap tak mendapat potongan jam kerja. Padahal mereka juga butuh waktu mengurus anak dan rumah. Sistem sekuler pada saat itu tak mampu menjamin keamanan para pekerja imigran, khususnya perempuan. Kasus pelecehan seksual merebak. Anak gadis diperjualbelikan. Perempuan menanggung beban ganda saat kehilangan tulang punggung keluarga.
Secara historis, gerakan feminisme selalu menyerukan kebebasan. Ide yang mendasari konsep kesetaraan gender ini adalah liberalisme. Karena perempuan telah dikekang ekspresinya, dipandang rendah, dan dipaksa patuh pada laki-laki. Bahkan yang boleh duduk di atas kursi kekuasaan dan membuat peraturan hanya laki-laki. Oleh karena itu, feminis menginginkan kesempatan yang sama agar suaranya diakomodir dalam kebijakan, yang selama ini tak menguntungkan perempuan. Budaya patriarki mendorong bangkitnya aktivis-aktivis feminisme.
Dari sini, jelas bahwa feminisme lahir dari sikap reaktif akibat kebobrokan sistem barat. Menyerukan kebebasan tak akan menyelesaikan masalah. Sebab, patriarki yang mereka lawan itu merupakan produk dari sistem sekuler-liberal. Sistem ini meniscayakan ketidakadilan tak hanya terhadap gender, tapi juga bidang ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, politik, pemerintahan, dan keamanan.
Ide kebebasan ala feminisme justru akan mengundang masalah. Kebebasan menjadi karpet merah eksploitasi perempuan. Perempuan dicekoki standar ideal yang sangat menguntungkan pasar. Industri kosmetik, model iklan yang mengumbar aurat, kapitalisasi pendidikan, eksploitasi SDM dan pekerjaan, serta standar materialistik lainnya.
Christabel Pankhurst, feminis awal abad 20, anggota Gerakan Suffragette, mengaku bahwa tanggung jawab perempuan di rumah setelah menikah hanya membuang-buang waktu dan energi ekonomi, tidak dibayar, tidak diakui. Susan Okin dalam bukunya “Keadilan, Gender, dan Keluarga” mengatakan tugas mengurus anak membuat perempuan terhambat dari sosial, pendidikan, dan jabatan politik.
Feminis alergi dengan aturan agama yang mengharuskan berpakaian ini-itu. Menolak larangan pacaran, dalihnya menikah tak sama dengan membeli kucing dalam karung, hingga menyebut banyak tafsir ayat Al-Quran mendukung patriarki.
Dr. Nazreen Nawaz dalam bukunya “Mengkritik Feminisme” menuliskan bahwa feminis menolak hubungan seksual yang hanya dibatasi ikatan pernikahan. Feminisme menghina syariat Islam ketika menetapkan suami sebagai pemimpin keluarga dan pencari nafkah. Itu membuat suami merasa superior dan kehilangan penghormatan terhadap istri.
Padahal itu termasuk keistimewaan yang diberikan Allah pada perempuan agar dijaga, dilindungi, diurus, dan dilayani. Kepemimpinan diletakkan pada suami bukan berarti laki-laki lebih superior, namun itu adalah wujud Islam mengatur biduk keluarga sebagai unit organisasi yang penting. Dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik orang beriman adalah yang terbaik dalam akhlaknya. Dan sebaik-baik dari kalian adalah orang-orang terpilih (secara akhlak) kepada para wanita.”
Sentimen feminisme banyak mengarah pada syariat Islam. Kesalahan feminis adalah menggeneralisasi fakta perilaku muslim yang bertentangan dari ajaran agama. Feminis membuat seolah tafsiran ayatnya bias dan harus diubah. Mereka memiliki tafsiran sendiri tentang aturan berpakaian, hukum seputar suami-istri, ekonomi, sosial, yang dianggap sejalan dengan kesetaraan gender. Inilah mengapa feminisme mengokohkan kolonialisme. Kuku kapitalisme diperkuat oleh program kesetaraan gender seperti SDG’s dan lembaga UN Women di bawah PBB.
Setelah feminisme tumbuh besar pun, persoalannya tetap sama. Kesenjangan, kemiskinan, kelaparan, stunting, daya beli rendah, pengangguran, korupsi, privatisasi sumber daya, putus sekolah, pekerja anak-anak, kejahatan seksual, aborsi, perdagangan manusia, akses kesehatan mahal, penipuan. Korbannya tak hanya perempuan. Bahkan hari ini lebih parah. Generasi kehilangan sosok ibu dan ayah yang seharusnya menjadi teladan. Seks bebas, narkoba, game. Itulah racun kebebasan ulah feminisme. Apa
kah semua itu disebabkan oleh ketidaksetaraan, budaya patriarki, dan laki-laki yang membuat kebijakan?
Realitanya saat perempuan memegang jabatan politik praktis, itu sama saja. Afrika Selatan, Rwanda, Mozambik, Uganda, Tanzania merupakan buktinya. Kekuasaan hanya membuatnya semakin pragmatis demi ambisi pribadi. Begitulah cara kerja sistem kapitalisme dengan demokrasinya. Tak dapat diharapkan kebijakan akan memihak perempuan, apalagi rakyat kecil. Maka perlu disadari bahwa akar kesengsaraan dan ketidakadilan yang dirasakan perempuan dan rakyat secara umum adalah sistem buatan manusia alias kapitalisme.
Sungguh sistem Islam menghadirkan pengaturan yang kompleks bagi kehidupan perempuan dan laki-laki. Tak ada sentimen di dalamnya. Karena ia turun dari Sang Pencipta manusia. Islam tak hanya agama, tapi juga sistem yang meliputi setiap bidang kehidupan. Seharusnya tak akan ada masalah ketika sistem Islam diterapkan pada nonmuslim.
Fakta menarik dalam sejarah yang ditulis oleh Dr. Nazreen Nawaz tentang perempuan nonmuslim yang hidup di Negara Khilafah Islam, mereka lebih suka mendatangi Qadhi (pengadilan) saat ingin mengadu karena penanganannya cepat, dibanding prosedur keagamaannya sendiri. We need Islam.(*)