Melihat adanya konflik Etnis Rohingya di Myanmar, kudeta semakin gencar di Myanmar. Junta Myanmar saat ini masih membatasi kebebasan rakyat untuk berpartisipasi dalam politik. Aksi demonstrasi tak kunjung henti melibatkan pertumpahan darah di wilayah tetangga. Sudah satu tahun sejak Myanmar mengalami kudeta yang membawa ancaman koersif dalam skala internal. Melihat bahwa dinamika politik internal Myanmar semakin kacau, bagaimana dengan konflik etnis Rohingya apakah hingga saat ini tidak diusut secara tuntas.
Tindakan kekerasan terhadap etnis minoritas di Myanmar yang dilakukan oleh Tatmadaw masih berlanjut hingga pada saat ini. Rohingya menjadi permasalahan pokok dan sekaligus memberi pertanyaan bagaimana bisa satu etnis yang tidak melakukan perlawanan secara politik ini mengalami tindakan kekerasan.
Tidak ada jalan menuju demokrasi bagi Myanmar, sama halnya dengan mencoba melewati jalan yang buntu tidak ada solusi maupun jalan tengah. Kudeta bagi junta Myanmar bukanlah persoalan yang rumit dengan adanya persenjataan menjadi kekuatan militer untuk menghambatnya demokratisasi.
Dikutip dari jurnal Setiawan dan Made Selly, mulai dari peristiwa 1991 tercatat 250.000 etnis Rohingya menyelamatkan diri dari pemerkosaan, penganiayaan dan kerja paksa intervensi militer Myanmar. Walaupun pada tahun 1997 masalah tersebut mereda, sejak tahun 2012 ketika terjadi kerusuhan etnis di Rakhine dimana sebagian besar korbannya adalah Rohingya.
Lebih dari 250.000 orang-orang Rohingya melarikan diri menuju Bangladesh. Masalah itu semakin memanas pada tahun 2017 saat pihak militer Myanmar membakar perdesaan etnis Rohingya yang menewaskan 2.000 jiwa.
Indikator dari terjadinya pergolakan militer menginvasi tanah Myanmar sendiri, Genosida seperti ini tidak dapat dibilang sebagai kewajaran hanya karena satu etnis yang memiliki perbedaan namun etnis lain tidak mengalami kekerasan yang sama. Pemerintah Myanmar cenderung memandang kelompok militan Rohingya di label sebagai teroris yang mengancam eksistensi Rakhine. Myanmar saat ini sulit diakses dalam aktivitas kemanusiaan dari luar negara. Junta Militer menutupinya untuk menyembunyikan isu yang membuat prihatin negara-negara di ASEAN. Sangat janggal sekali ketika identitas buddha lebih diprioritaskan daripada Islam yang sebagian besarnya adalah berlatar belakang etnis Rohingnya.
Gas Alam dan Minyak Bumi
Seperti yang sudah diketahui bahwa gas alam dan minyak bumi adalah salah satu komoditas Myanmar yang melimpah. Cadangan energi tersebut masih belum tergali sebesar 23 triliun cubic feet. Betapa melimpahnya sumber energi tersebut, melihat adanya kejanggalan yang sedang terjadi bahwa Rakhine juga merupakan daerah yang subur. Tentu saja daerah ini menjadi faktor dari adanya eksploitasi. Korban genosida sudah menjamur terutama bagi etnis Rohingya. Secara Geopolitik sumber daya alam dan letak geografis sangat mempengaruhi kebijakan luar negeri negara.
Hal yang dapat dipastikan adalah Myanmar membuka lahan bisnis untuk China. Alasannya sederhana secara geografis wilayah Myanmar tidak terpisah dengan wilayah China. Lahan bisnis ini adalah “SHWE” (Natural Gas Project) yang melebar seluas 60 km di dekat pantai Rakhine yang dikuasai juga oleh “Myanmar Oil and Gas Enterprise.” Perusahaan ini juga dipegang oleh junta militer Myanmar.
Sangat kontras sekali bahwa penggusuran etnis Rohingya di Rakhine menjadi alih-alih dari kepentingan oligarki Junta Militer, proyek ini sudah beroperasi sejak 1963. Ini adalah kesempatan besar pula bagi China untuk berinvestasi dengan menyalurkan proyek pipa oleh China National Petroleum Corporation.
Motif ekonomi sudah terlihat jelas, pipa ini mengalir dari Kyauk Phyu di sisi pantai barat Myanmar menuju Ruili di provinsi Yunnan tepatnya di China. Selalu ada alasan mengapa Junta militer Myanmar melakukan intervensi politik antara etnis di Rakhine.
Kyauk Phyu merupakan lokasi konflik Rohingya dengan penduduk Rakhine pada tahun 2012. Etnis Buddha dan umat muslim Rakhine terpaksa harus berpindah ke Techaung. Masalahnya adalah dengan total 100 ribu pengungsi tersebut harus berpindah tempat. Kemudian permukiman besar pengungsi dibakar agar jejak Rohingya terhapuskan.
Konflik etnis di Rakhine semata-mata dibuat hanya untuk kepentingan oligarki saja. Pertanyaan yang mendasar adalah seberapa besar masyarakat Myanmar mengetahui politik? Kebanyakan orang awam menganggap bahwa konflik seperti ini didasarkan oleh adanya kecemburuan sosial.
Memang benar, namun celah yang diambil oleh motif politik ini adalah mengambil kesempatan untuk mengklaim wilayah yang ditarget sebagai jalur pipa tersebut. Keterlibatan militer junta menekan etnis yang alih-alih sebagai konflik sosial, bagaimana dengan PBB, ASEAN, dan para organisasi hak asasi manusia lainnya.
Desak Solusi Rohingya
Dalam kurun waktu selama dua tahun ini bukanlah hal yang mudah ketika China sudah memveto Myanmar sebagai target investasinya. Tidak ada solusi perdamaian yang pasti jika hegemoni sudah membatasi aksi. Indikatornya sama seperti kasus sama yang terjadi di daerah Indonesia, wadas menjadi salah satu lokasi konflik yang melibatkan adanya aparat untuk menekan demonstrasi penduduk sekitar.
Myanmar dianggap sebagai negara yang gagal dengan adanya dinamika politik yang otoriter dan tidak manusiawi. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diselenggarakan sebagai upaya diplomatik ASEAN masih sulit tercapai. Penolakan perdamaian terus terjadi, nasib etnis-etnis tersebut tidak akan pernah tuntas jika tidak ada solusi yang cukup memadai untuk menindaklanjuti peristiwa buruk ini.
Krisis integrasi ini akan semakin diperpanjang dengan dampak yang sangat merugikan Myanmar. Dalam ASEAN sendiri krisis ini juga berdampak pada stabilitas ekonomi dan reputasi ASEAN di mata Internasional. Myanmar sebagai negara anggota sesama kawasan tentu tidak ingin reputasi dari ASEAN dan negara-negara lain yang berhubungan dengan Myanmar.
Mengutip langsung dari penyataan Dr. Rizal Sukma “quitting on Myanmar is not an option” adalah kalimat yang benar. Kita harus menyuarakan atas adanya krisis tersebut, sesama negara tetangga seharusnya KTT ASEAN memiliki solusi terbaik bagi krisis Rohingya.(*)