Oleh: Gus Achmad Shampton, M.Ag
Kepala Kemenag Kota Malang
MALANG POSCO MEDIA- Kalau ada orang yang mengatakan, puasa itu cukup dengan mencegah syahwat perut dan kemaluan, dengan meninggalkan enam syarat batin (artikel sebelumnya: 6 syarat puasa orang spesial), secara dzahir fikih, puasanya sah.
Imam Ghazali menilai bahwa klaim sahnya puasa dengan menjaga hanya menjaga larangan lahiriyah saja hanyalah memberikan kemudahan para orang awam yang lalai terhadap esensi puasa dan pendekatan pada Allah. Puasa mereka hanya diterima di dunia saja.
Menurut perspektif Imam Ghazali puasa orang yang hanya menahan diri secara lahiriyah saja dalam kacamata ulama akhirat puasanya tidak sah. Dan tidak akan pernah mencapai esensi puasa yang diinginkan. Bagi ulama akhirat tujuan puasa adalah berupaya meraih moralitas dari sifat Allah “assomadiyah”, mengikuti perilaku malaikat yang tidak mempunyai syahwat dengan mengosongkan diri dari syahwat berlebih.
Sifat “assomadiyah” Allah adalah tidak membutuhkan mahluk tetapi melainkan sebaliknya dibutuhkan oleh mahluknya. Sosok orang yang berpuasa harus melatih dirinya untuk tidak tergantung pada selain Allah. Tidak menjadi hamba uang, hawa nafsu, kekuasaan dan jabatan.
Manusia ada satu level diatas hewan karena kemampuannya menahan hawa nafsunya melalui cahaya akalnya. Tetapi manusia ada di level sedikit lebih rendah dari malaikat bila manusia ada dalam penguasaan syahwat dan ketidak mampuan mengalahkannya. Memanjakan diri dengan menuruti semua keinginan akan menurunkan derajat manusia pada derajat yang paling rendah bahkan lebih buruk dari hewan.
Bila seseorang mampu mengalahkan syahwatnya, ia akan naik pada derajat yang sangat tinggi bahkan diatas derajat malaikat. Para malaikat adalah makhluk yang dekat dengan Allah. Manusia yang mau mengikuti moralitas malaikat dengan melepaskan hasrat syahwat berlebih akan membuat seorang manusia akan menjadi sosok yang dekat dengan Allah. Inilah yang diinginkan dalam puasa.
Bila rahasia puasa hanya bagi penguasa hati dan mereka yang memiliki hati atau orang-orang spesial saja. Maka yang harus dipertanyakan kepada orang-orang awam apa gunanya menunda makan sepanjang siang kemudian mengumpulkan dua kali makan saat makan malam, sambil sibuk dengan keinginan lain sepanjang hari, bahkan jika keinginan itu tidak berguna? Kenapa Rasulullah bersabda: “Banyak sekali mereka yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala kecuali hanya lapar dan dahaga?”
Inilah sebabnya mengapa Imam Abu Darda berkata: “Lihatlah tidur dan puasa orang-orang yang pandai dan cara mereka berbuka puasa. Setelah itu bandingkan dengan orang-orang yang tidak memanfaatkan bulan puasa ini dengan baik, bagaimana mungkin mereka tidak mencela puasa orang-orang bodoh dan cara begadang mereka? Sungguh satu atom keimanan dari mereka yang mempunyai keyakinan kuat pada Allah dan ketaqwaan, lebih baik dan lebih unggul daripada segunung ibadah yang dilakukan oleh seorang yang tertipu dan lalai.
Sebagian ulama menegaskan: “Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi sesungguhnya dia seperti orang yang tidak berpuasa, dan banyak yang tidak berpuasa tetapi dia seperti berpuasa. Mereka yang tidak berpuasa tapi seperti puasa adalah orang yang menghindarkan anggota tubuhnya dari perbuatan dosa tetapi dia tetap makan minum. Sementara orang puasa yang seperti orang yang tidak berpuasa adalah mereka yang kelaparan dan kehausan sepanjang hari tetapi dia membiarkan anggota tubuhnya melakukan segala yang diinginkan nafsu syahwatnya.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya puasa itu seperti Amanah, jagalah Amanah ini”.
Saat Rasulullah membaca surat an-Nisa 58 yang artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahmu untuk memenuhkan Amanah kepada yang berhak”, Rasulullah kemudian meletakkan jarinya di telinga dan matanya seraya berkata: “Pendengaran itu Amanah, penglihatan itu juga Amanah”. Jadi mari melatih diri berpuasa mulut, hati, mata dan pendengaran. Semoga kita menjadi orang yang beruntung. Wallahu a’lam. (*)
