Tahun politik menjadi ujian bagi independensi media massa tanah air. Pada musim pemilu saat ini, media dihadapkan pada godaan untuk tetap menjadi anjing pengawas (watchdog) atau justru tergelincir menjadi anjing penjilat (lapdog). Apapun godaan dan iming-imingnya, idealnya pers tetap mengambil posisi sebagai anjing pengawas demi pelaksanaan pesta demokrasi yang berkualitas.
Ihwal hubungan pers dengan pemerintah, partai politik, para politisi, dan semua pihak yang ikut berkontestasi politik sangat penting dipastikan berjalan ideal. Tak boleh ada pihak yang mencoba memanfaatkan dan dimanfaatkan institusi pers demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Kalau pers sampai menggadaikan idealismenya maka masyarakat akan dirugikan oleh praktik media yang memihak dan condong pada pihak dan kepentingan tertentu tersebut.
Sebagai anjing penjaga, pers adalah pengawas pemerintah, elit politik dan korporasi besar. Media massa harus menjalankan fungsinya sebagai pembela masyarakat yang lemah dan terpinggirkan. Dalam konteks pemilu, fungsi pengawasan pers menjadi super penting dalam memberikan informasi tentang semua kandidat yang turut berkontestasi politik agar masyarakat tak salah dalam memilih pemimpinnya.
Bukan Partisan
Dalam kontestasi politik, media massa sebagai pengawas dan pemantau dalam perhelatan pemilu, dan bukan sebagai pejuang bagi kepentingan pribadi. Ruang redaksi (newsroom) harus benar-benar steril dari beragam bentuk intervensi, termasuk dari sang pemilik media. Beberapa regulasi terkait praktik jurnalisme di televisi, media cetak, dan online sudah ada. Salah satu tujuan pengaturan ini agar dalam menyajikan produk jurnalisme yang tidak partisan.
Dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, pasal 36 butir 4 bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Sementara sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pasal 1 yang berbunyi wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Untuk media penyiaran televisi juga harus patuh pada Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), dan Standar Program Siaran (SPS). Dalam pemberitaan media online juga telah diterbitkan pedoman pemberitaan siber.
Secara ideal media massa mainstream tidak dibenarkan menjalankan praktik jurnalisme partisan. Newsroom harus kebal terhadap beragam intervensi dari pihak manapun. Pada ruang redaksi idealnya ada dinding api (firewall) yang menjaga kemerdekaan newsroom dari intervensi pemasang iklan dan kepentingan pemilik media. Ruang redaksi harus steril dari politik dan uang, serta beragam kepentingan yang bisa menjadikan media massa alpa menjalankan peran mulianya.
Munculnya praktik jurnalisme partisan merupakan bentuk dari penghianatan kebebasan pers. Situasinya memang sangat sulit apalagi ada sang pemilik media yang merangkap sebagai pengurus partai politik dan pendukung salah satu pasangan calon tertentu. Jajaran redaksi tentu sulit menolak memberitakan kegiatan sang politisi pemilik media tersebut.
Bisa jadi peristiwa mengenai sang pemilik media itu nilai beritanya (news values) mungkin kecil, tetapi karena dia adalah sang pemilik maka beritanya menjadi berita super penting dan mendapat durasi yang panjang.
Merugikan Publik
Praktik jurnalisme partisan itu merugikan hak publik. Di lembaga penyiaran misalnya. Karena televisi atau radio menggunakan frekuensi milik publik, maka kepentingan hak publik untuk mendapatkan informasi yang objektif, jujur, akurat, berimbang, dan netral harus dipenuhi oleh media. Bukan media mengeyampingkan kepentingan publik dengan menjadi partisan dan cenderung mendukung pada kepentingan kelompok tertentu.
Masyarakat konsumen media butuh berita yang dihasilkan dari kerja jurnalisme yang berimbang, tidak berat sebelah. Praktik jurnalisme partisan jelas menanggalkan prinsip keberimbangan dalam peliputan dan penyajian berita. Kepentingan masyarakat konsumen media untuk memperoleh informasi yang berimbang adalah hak yang harus dipenuhi pengelola media. Munculnya praktik jurnalisme partisan jelas akan merugikan hak publik untuk mendapatkan informasi dan berita yang berimbang.
Karena keperpihakan media jelas bisa dilihat oleh masyarakat maka yang terjadi adalah khalayak penguna media terbagi dalam minimal dua kelompok. Ada masyarakat yang menjadi khalayak media tertentu karena sejalan dengan afiliasi media itu pada salah satu pasangan.
Pada posisi yang lain, kelompok yang berseberangan dengan media tertentu akan memilih menjadi khalayak media lain yang sejalan dengan kandidat yang didukungnya. Di masyarakat timbul dikotomi ini media kandidat A, dan itu media kandidat B.
Kondisi perpecahan pada masyarakat konsumen media ini bisa merugikan hak masyarakat mendapatkan informasi yang netral. Media telah membawa khalayak pada situasi terbelah. Cap atau labelling yang disematkan pada media mainstream yang jadi partisan ini biasanya terus terbawa walaupun peristiwa dukung mendukung dalam pemilu telah usai. Praktik jurnalisme partisan sebenarnya tidak saja merugikan khalayak namun juga bagi media itu sendiri, karena tidak mampu menjalankan fungsi dan peran idealnya.
Media massa idealnya tidak tenggelam dalam lautan kepentingan politik. Praktik jurnalisme yang seharusnya dikedepankan oleh para jurnalis dan pemilik media adalah menjunjung profesionalisme. Jurnalis senior Bill Kovack adalah salah satu contoh jurnalis yang bisa membuktikan dan mampu menjalankan praktik jurnalisme yang profesional walau di tengah situasi sulit. Kovack adalah jurnalis yang mengikuti hati nurani dan menghidar dari pusaran arus politik tertentu.
Pada tahun politik saat ini, media massa, baik cetak maupun elektronik sedang diuji profesionalitasnya. Situasi politik saat ini sangat mungkin kerja jurnalisme yang tergoda memihak pada sosok tertentu. Keberpihakan inilah yang bisa menjadikan independensi dan netralitas media dipertanyakan. Ketika media sudah mulai condong ke arah tertentu, maka bisa dipastikan media itu telah menggadaikan prinsip-prinsip dasar jurnalisme.
Tahun politik adalah tahun pertaruhan kepentingan masing-masing kelompok. Media massa harus kokoh berjalan on the track. Media massa dituntut profesional hingga tidak tergelincir jadi partisan dan seperti tim sukses pasangan kandidat tertentu. Media punya tugas mulia mengawal jalannya demokrasi lewat momentum pemilu mendatang.
Praktik media massa di tahun politik bisa jadi beragam. Ada yang menjalankan mediannya sebagai anjing pengawas (watchdog), namun tidak menutup kemungkinan ada yang hanya sebagai anjing penjilat (lapdog), circusdog, atau stupiddog. Untuk itu masyarakat konsumen media perlu kritis saat mengonsumsi media.(*)