Siapa yang tidak ingin kaya? Saya yakin semua orang pasti ingin kaya bukan? Lalu sebenarnya, parameter kaya yang sesungguhnya seperti apa sih? Apakah yang punya mobil mewah dan rumah megah di mana-mana? Uang datang cuma rebahan tanpa harus bekerja? Yang selalu stylist dan ikut tren? Atau ada yang lain? Mari kita merenungkan orang kaya yang sebenarnya tanpa kebanyakan gaya.
Mental kaya tidak selalu diukur dari harta atau lifestyle yang mengarah pada hedonisme. Biasanya mengacu pada kebutuhan validasi orang lain untuk bisa diakui bahwa dirinya hebat dan wow dengan kekayaannya. Mental kaya adalah sikap mental yang selalu melatih dan membudayakan diri untuk bisa cerdas secara finansial yang stabil dalam kehidupan.
Tentu tidak mudah. Apalagi di zaman sekarang, nafsu shopping dari reracun sosmed kian merebak. Transaksinya jual beli online pun sudah sangat mudah untuk dilakukan hanya tinggal mengandalkan jempol untuk tekan check-out dan bayar pakai uang digital.
Masalahnya ada di mengendalikan nafsu shopping. Sebenarnya seracun apapun sosmednya tentang produk-produk yang dijual online kalau kita teguh pendirian, pasti juga tidak akan tergoda. Namun beda cerita kalau kita adalah tipe-tipe orang yang haus validasi masyarakat.
Kalau tidak ikut tren, sumpek dan kurang puas kalau dibilang tidak keren. Misalnya ketika sebuah tren hijab melintas di tengah-tengah masyarakat. Mereka yang haus validasi pasti memaksakan diri untuk ikut tren entah sebenarnya sedang bokek atau terserang kanker alias kantong kering atau tidak di saat itu.
Pemilik mental kaya yang sesungguhnya tentu sangat mempertimbangkan betul untuk bisa mengikuti tren. Ia akan memikirkan matang-matang apakah tren yang sedang melintas bahkan sampai menjamur menjadi prioritas dalam hidupnya? Ia akan bijak memilah antara keinginan dan kebutuhan.
Berdasarkan data yang dilansir dari Bank OCBC NISP menguak hasil penelitiannya pada responden bahwa angka pemaknaan “kaya” adalah adanya fenomena pamer harta (flexing), tren gaya dengan istilah “sultan.” Pengertian kaya didefinisikan berkaitan dengan produk investasi. Kedua, mereka yang mendefinisikan kaya berkaitan dengan produk non-investasi (rumah mewah, fashion, dianggap terpandang, dsb). Lalu sejauh ini, yakin kah kita sudah kaya beneran?
Mari mengulik kisah rahasia kaya orang Tionghoa yang menurut saya ini patut jadi bahan renungan. Menurut teori Tung Desum, kecerdasan keuangan dimulai dengan dua hal. Istilahnya adalah pendapatan (income) dan pengeluaran (spending). Pendapatan sendiri terbagi menjadi 3 bagian yakni active income, passive income, dan portfolio income. Active income terbagi lagi menjadi beberapa tipe pekerjaan yakni buruh (karyawan) dan punya bos, menjadi usahawan yang terikat kedinasan seperti dokter atau lawyer dan penguasa dalam usaha mandiri.
Passive Income adalah usaha yang sudah beberapa waktu berjalan sehingga pendapatan akan dihasilkan meski hanya duduk manis dan rebahan. Misalnya punya bisnis kost-an. Kita tiap bulan sudah bisa mendapatkan penghasilan tanpa repot dan capek bekerja.
Portfolio Income bisa disebut juga dengan capital game. Seseorang memiliki rumah lebih dari satu lalu menjual kembali untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penjualannya. Keuntungan yang diperoleh tentunya berkali lipat dibandingkan dengan yang hanya punya satu rumah.
Sementara pengeluaran terbagi menjadi pengeluaran produktif dan komsumtif. Pengeluaran produktif diperuntukkan biaya investasi terkait pengelolaan passive income dan juga portfolio income. Sedangkan pengeluaran komsumtif adalah pengeluaran yang tidak ada kaitan untuk pemeliharaan passive dan portfolio income.
Namun, Sebagian orang ada yang terkesan komsumtif tapi sebenarnya produktif. Pengeluaran tersebut untuk belajar, bergaul dengan orang-orang kaya, dan untuk amal. Pernah tidak, keluar sama circle dekat atau pasangan dan merogoh biaya yang tidak sedikit?
Ada tipe pengeluaran kita yang sekali keluar langsung habis. Ada pula istilah passive spending seperti beli mobil yang sebenarnya tidak perlu atau tidak dibutuhkan dalam hidup, belanja sambil tidur di zaman sekarang saja sudah tahu-tahu tidak terasa menghabiskan sekian banyak uang. Anda bukan? Hehe. Invisible spending adalah istilah pengeluaran lain pada kejadian semisal saat tidur dirampok atau kehiangan pendapatan karena pencurian, ditipu orang, dan lainnya. Termasuk pada fenomena ingin tren HP keren, bersedia membeli dengan harga mahal seharga sepeda motor.
Padahal bila HP atau gadget tersebut dijual beberapa tahun kemudian nilainya pasti akan merosot jauh. Beda lagi kalau sama yang sedekah-able. Orientasinya akhirat, meski sampai banyak yang dikeluarkan dan bukan semata untuk mencari validasi manusia.
Ketika belum punya income apalagi passive dan portfolio income sudah hobi boros maka akan sulit jadi kaya yang sesungguhnya. Faktanya banyak orang belum mapan tapi karena baru dapat active income saja sudah kebanyakan gaya. Apalagi sampai minus dan berutang. Akibatnya, hidup akan penuh dengan tekanan. Mari bergaya semampunya. Semoga ke depan passive income jauh lebih besar daripada gaya hidup kita.(*)