.
Wednesday, December 11, 2024

Menyambut HUT ke 3 Malang Posco Media, Balita yang Lebih Hebat

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Tiga tahun adalah usia yang masih sangat muda. Pada usia itu seorang anak baru belajar berjalan. Mungkin baru merangkak. Kalau toh bisa berdiri masih belum jejeg, belum tegak. Kalau toh bisa berjalan masih tertatih-tatih dan sempoyongan.

Malang Posco Media (MPM) adalah bayi di industri media. Hari ini usianya baru jangkap tiga tahun. Masuk kategori balita, di bawah lima tahun. Kalau diibaratkan bayi, MPM baru belajar berjalan. Masih butuh waktu yang cukup panjang – bisa sampai 20 tahun – untuk berkembang menjadi manusia yang benar-benar dewasa.

Tapi, di dunia industri media, tiga tahun bukan usia balita. Industri media adalah industri dengan pusaran yang sangat cepat. Ibarat mesin giling yang berputar cepat. Siapa yang tidak bisa mengikuti kecepatan pusaran mesin akan tergilas habis.

Industri media tidak mau menunggu sampai 20 tahun untuk memastikan sebuah media akan menjadi dewasa. Industri media adalah industri yang tergesa-gesa. Cepat, efektif, dan efisien. Itulah kunci yang bisa menyelamatkan sebuah media dari putaran keras mesin industri.

Dalam usia tiga hahun, MPM bisa disebut sebagai bayi ajaib. Ia bisa berlari kencang ketika usia masih sangat belia. Persaingan yang keras dan tantangan yang berat, membuat koran ini tumbuh kuat dan dewasa lebih cepat dari teman-teman sepantarannya.

MPM lahir di tengah-tengah puncak pandemi Covid-19. Kelahiran ini sangat unik—atau bisa disebut nekat—karena melawan arus. Ketika industri koran berjatuhan, ketika kondisi ekonomi babak belur karena pandemi, MPM justru lahir. Mungkin di Indonesia atau bahkan di seluruh dunia, tidak ada koran yang lahir di tengah situasi pandemi.

Sepanjang catatan yang bisa diingat, hanya dua koran yang lahir di tengah pandemi, yaitu MPM dan ‘’orangtua angkatnya’’, yaitu Harian Disway Surabaya. Harian Disway ini disebut sebagai orangtua angkat karena dilahirkan oleh Dahlan Iskan, founder Jawa Pos Group. Para pioner yang melahirkan MPM semuanya adalah jebolan akademi Jawa Pos Group. Kelahiran MPM yang anti-mainstream ini mungkin layak masuk dalam catatan MURI (Museum Rekor Indonesia), atau bahkan masuk Guiness Book of Records.

Akademisi dan para pengamat media di seluruh dunia hampir semuanya sepakat bahwa era koran sudah berakhir. Philip Meyer bahkan sudah berani meramalkan bahwa koran akan menghadapi kiamat pada April 2040.

Penyebab utamanya adalah disrupsi digital yang mengakibatkan pola baca dan pola konsumsi media berubah total. Meyer dalam  buku “The Vanishing Newspaper”, meramalkan kematian itu. Penelitian AC Nielsen menyebutkan oplah media cetak turun drastis sementara konsumsi media digital naik pesat. Oplah koran turun 40 persen, majalah 24 persen, tabloid 12 persen. Sementara, penonton televisi naik 2 persen dan pengakses internet naik 17 persen. Dari sisi karakteristiknya, media cetak dinilai sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan masyarakat yang serba cepat. Distribusi media cetak terkendala faktor geografi, sementara internet meruntuhkan batas-batas tradisional itu.

Pernujuman Meyer sudah terbukti di Indonesia. Sudah sangat banyak koran besar yang mati bergelimpangan. Bahkan koran yang berada dalam naungan grup konglomerat besar pun sudah banyak yang gulung tikar. Koran-koran yang sekarang masih beredar menghadapi problem yang sangat serius, dan kemungkinan hanya akan menghitung hari untuk bertahan hidup.

Gambaran Meyer itu sangat suram, tapi masih ada celah yang bisa dimasuki untuk bertahan hidup dan bahkan berkembang lebih hebat. Itulah yang disebut Meyer sebagai ‘’Influence Model’’, atau ‘’model pengaruh.’’ Koran tidak bisa hanya berdagang berita atau informasi. Yang lebih penting adalah melakukan ‘’Influenece Business’’ atau berdagang pengaruh.

Berdasarkan model ini sebuah koran bisa menjual pengaruhnya kepada khalayak dan pemasang iklan. Pengaruh koran ditentukan oleh tingkat ‘’trust’’ yang dimiliki koran tersebut terhadap khalayak dan pemegang kebijakan di level pemerintahan maupun di level swasta. Trust itu tidak bisa didapat dengan cara simsalabim, tapi dibangun sedikit demi sedikit dalam jenjang waktu yang panjang.

MPM baru seumur jagung, tapi modal trust sudah dikantongi, karena para pengelolanya sudah punya jam terbang puluhan tahun ketika belajar di ‘’Akademi Jawa Pos Group.’’ Trust itu didapat pada level redaksi dan bisnis. Dalam pengelolaan bisnis MPM bisa memberi manfaat kepada klien, dan dalam bidang redaksional MPM bisa memenuhi kebutuhan audiens akan informasi yang bermanfaat.

Para akademisi sering mengutip teori ‘’Uses and gratification’’ untuk menggambarkan kegunaan media bagi pembacanya. Media akan tetap dibaca oleh audiens kalau media itu berhasil mengidentifikasi kebutuhan audiens dan memenuhinya melalui layanan berita dan iklan. Media harus bisa menjawab pertanyaan khalayak ‘’What it means to me’’, ‘’Apa guna media untuk saya.’’

Disrupsi digital dan meruyaknya media sosial melahirkan tsunami informasi yang menggelontor tanpa bisa ditahan oleh siapapun. Gelontoran informasi itu tidak semuanya bermanfaat. Lebih banyak yang sampah dan toxic beracun dalam bentuk hoaks dan fake news.

Dahlan Iskan, suhu media, menyebutnya sebagai era kebenaran baru. Para ahli menyebutnya sebagai era ‘’post-truth’’, era pasca-kebenaran. Pada era itu tidak ada kebohongan. Tidak ada fakta, yang ada adalah kebenaran baru sesuai dengan standar orang perorang.

Itulah yang menyebabkan media kehilangan trust. Gelombang tsunami itu menyapu dengan cepat. Tapi, setelah itu orang sadar bahwa mereka membutuhkan informasi terpercaya, untuk memandu kehidupan dalam dunia siber highway yang serba cepat dan menindas.

Itulah yang dilakukan MPM. Koran ini menjual trust kepada pembacanya. Koran ini membangun bonding, hubungan psikologis dan spiritual dengan pembacanya. Itulah kuncinya, mengapa dalam usia yang masih balita, MPM menjadi ‘’Lebih Hebat.’’ (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img