spot_img
Monday, June 16, 2025
spot_img

Menyelisik (Kembali) Belenggu Beras dan Terigu

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Beras dan terigu selalu menjadi topik menarik sekaligus sensitif. Keduanya bukan lagi sekadar komoditas pangan, namun juga komoditas politik (political goods). Tata kelola dan kebijakannya cenderung populis untuk menghindari dampak sosial dan politik, apalagi hingga muncul krisis dan kekacauan akibat aksesibilitas yang rendah.

          Catatan sejarah menunjukkan bahwa lonjakan signifikan harga bahan makanan pokok pada tahun 1966 dan 1998 turut berkontribusi terhadap memburuknya krisis ekonomi, sosial, dan politik, yang pada akhirnya memicu runtuhnya pemerintahan dan pergantian kepemimpinan nasional.

          Nyatanya, hingga hari ini, mayoritas penduduk Indonesia masih sangat bergantung pada beras dan terigu sebagai sumber utama energi dalam pola makan hariannya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada September 2022 mengonfirmasi hal itu. Disebutkan tingkat partisipasi konsumsi beras mencapai 98,35 persen. Artinya, hampir seluruh rumah tangga di Indonesia mengonsumsi beras.

          Tepung terigu, bahan utama mi instan, roti, kue, dan gorengan, yang 100 persen berasal dari impor, juga dikonsumsi masyarakat Indonesia dalam jumlah sangat signifikan, yakni 46,3 gram per kapita per hari (Badan Pangan Nasional/Bapanas, 2023), setara dengan hampir 20 persendari konsumsi beras. Konsumsi dan impor terigu juga terus meningkat, menjadikan situasi ini semakin mengkhawatirkan.

          Mi instan jadi contoh paling relevan sebab Indonesia mencatat konsumsi yang amat tinggi, mencapai 14,54 miliar porsi pada 2023, menurut World Instant Noodles Association (WINA). Dengan rata-rata 54 porsi per kapita per tahun, Indonesia bahkan telah melampaui China yang hanya 30 porsi per kapita, meski total konsumsinya lebih besar.

Perspektif Pola Pangan Harapan

          “Kenyang Gak Harus Nasi, Sehat dengan Pangan Lokal”, merupakan salah satu “tagline” utama Bapanas. Dari perspektif nutrisi, faktanya tingkat konsumsi energi padi-padian (beras, terigu, dan jagung) sebagai sumber karbohidrat cenderung masih terlalu tinggi, mencapai 56,7 persen dari target angka kecukupan energi (AKE) sebesar 50 persen. Di sisi lainnya, konsumsi umbi-umbian (singkong, ubi jalar, kentang, sagu) justru baru mencapai 2,7 persen AKE dari 6,0 persen target (Bapanas, 2023).

          Padahal selama ini, kebijakan pangan nasional yang mengacu pada Pola Pangan Harapan (PPH) masih menunjukkan bias beras dan terigu, di mana proporsi padi-padian mencapai 50 persen, sementara umbi-umbian, termasuk sagu di dalamnya, hanya 6 persen. Selain itu, pangan hewani 12 persen, minyak dan lemak 10 persen, sayur 6 persen, kacang-kacangan 5 persen, gula 5 persen, buah 3 persen, dan lain-lain 3 persen.

          Memang, tidak pernah mudah meningkatkan konsumsi umbi-umbian, jenis makanan pokok sumber karbohidrat yang kian terkesan lekat dengan kemiskinan, bahkan tergolong barang inferior. Makanan yang permintaannya menurun ketika kualitas hidup konsumen meningkat. Artinya hanya dibeli saat pendapatan rendah, dikurangi atau bahkan ditinggalkan saat kesejahteraan naik. Mengapa disebut inferior? Bukan karena kualitas rendah, tapi karena status konsumsinya menurun seiring kenaikan penghasilan.

Perspektif Kesehatan

          Dalam jangka panjang, berlebihan dalam konsumsi pangan sumber karbohidrat, terutama beras dan terigu, yang memiliki indeks glikemik yang tinggi, jelas tidak baik bagi kesehatan. Karenanya banyak timbul penyakit tidak menular (PTM) atau non-communicable diseases (NCDs) seperti jantung koroner, stroke, hipertensi, gangguan ginjal kronis,  dan diabetes tipe-2. Tidak mengherankan angka prevalensi PTM di Indonesia terus meningkat.

          Umbi-umbian jelas lebih baik dari sisi nilai indeks glikemik, belum lagi kandungan antioksidannya. Laku “ngrowot”, mengonsumsi lebih banyak “polo kependem” sebagai sumber karbohidrat, sudah lama ditinggalkan banyak orang Indonesia. Belum lagi, berdasarkan hasil Susenas (2024), 46 persen masyarakat Indonesia kekurangan asupan protein, meskipun rata-rata konsumsi per kapita telah mencapai 61,70 gram per hari, sedikit di atas rekomendasi Permenkes No. 28 Tahun 2019 sebesar 57 gram per hari.

          Konsumsi protein hewani di Indonesia masih amat rendah dibanding negara ASEAN dan maju, seperti Malaysia 159 gram, Thailand 141 gram, Amerika Serikat 267 gram, dan Inggris 192 gram per kapita. Padahal, protein sangat penting untuk tumbuh kembang anak serta menjaga kesehatan dan kebugaran hingga lanjut usia.

          Keanekaragaman konsumsi pangan menjadi kunci jawaban penting agar kita terlepas dari belenggu beras dan terigu. Bahkan sejatinya penganekaragaman konsumsi pangan telah menjadi amanat Undang-Undang, yaitu UU No. 18/2012 tentang Pangan, Pasal 60 Ayat 1 dan 2.

          Untuk mendorong peralihan dari pola konsumsi berbasis beras dan terigu ke pangan lokal, dibutuhkan komitmen politik yang sangat kuat, dukungan anggaran yang memadai, serta kebijakan menyeluruh dari hulu ke hilir. Kebijakan tersebut harus konsisten dan berkelanjutan, bukan sekadar imbauan simbolis seperti program “one day no rice.”

          Salah satu langkah nyata untuk mendukung diversifikasi pangan adalah dengan menerapkan kebijakan fiskal yang tegas. Seperti menaikkan tarif impor gandum yang saat ini hanya 5 persen—termasuk yang terendah di dunia. Sebagai perbandingan, China mengenakan tarif 71 persen, Thailand 40 persen, dan Turki 82 persen.           Pendapatan negara dari bea ini bisa dimanfaatkan untuk subsidi produk pangan lokal, seperti tepung mocaf dari singkong, yang saat ini kurang kompetitif dan nyaris mati suri akibat belenggu harga terigu impor yang jauh lebih murah.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img