Tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Di balik perayaan yang identik dengan pelaksanaan lomba, pentas seni, dan gelak tawa, masih tersimpan pertanyaan yang mendalam: apakah semua anak Indonesia telah mendapatkan ruang tumbuh yang layak, aman, dan setara?
Di tengah gempuran kemajuan zaman, anak-anak juga ikut menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Bukan hanya persoalan pendidikan formal, tapi juga tentang psikososial, tekanan digital, serta akses terhadap ruang bermain dan berekspresi yang semakin hari kian terbatas. Belum lagi bagi anak-anak dari kalangan kelompok rentan atau inklusi. Seperti anak-anak difabel, penyitas kekerasan, pejuang kanker, anak-anak dari keluarga yang termarginalkan, atau mereka yang hidup di wilayah konflik.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang tahun 2024 lalu telah tercatat ribuan kasus pelanggaran terhadap hak anak. Mulai dari kekerasan fisik dan psikis, eksploitasi ekonomi, hingga cyberbullying. Fakta ini menegaskan bahwa perlindungan terhadap anak masih menjadi pekerjaan rumah besar. Namun sebenarnya yang tak kalah penting adalah bagaimana anak-anak ini diberdayakan — bukan hanya sekadar dilindungi.
Pemberdayaan Bukan Sekadar Ajang Tampil
Pemberdayaan anak berarti kita memberikan kesempatan dan hak kepada setiap anak untuk menyuarakan pendapatnya, mengembangkan potensi yang dimilikinya, dan terlibat aktif di dalam lingkungan sosial masyarakat. Kini di berbagai daerah di Indonesia, gerakan komunitas sudah mulai dapat membuktikan bahwa anak-anak nantinya akan dapat menjadi agen perubahan — dengan catatan jika diberikan ruang.
Begitu pun dalam pembuatan berbagai program kreatif, anak-anak dapat terlibat dalam berbagai kegiatan. Seperti seni, literasi, hingga produksi konten edukatif. Di beberapa komunitas literasi, misalnya, anak-anak tak hanya dapat melakukan aktivitas membaca, tapi juga dapat menulis cerita mereka sendiri.
Bahkan di sejumlah panggung inklusi, anak-anak istimewa yang berkebutuhan khusus mampu tampil dengan percaya diri mengenakan busana adat, membacakan puisi, atau memainkan alat musik tradisional. Namun wacana inklusi bukan hanya soal memberikan ruang dan panggung saja.
Lebih dari pada itu, inklusivitas sejatinya adalah di saat masyarakat dapat melihat anak difabel sebagai individu yang utuh, bukan sekadar menjadi objek simpati. Mereka bukalah ikon kesedihan, bukan sebagai sumber konten viral yang sesaat, melainkan sebagai manusia muda yang layak dihargai seperti anak lainnya — yang memiliki hak yang sama untuk bermimpi, didengar, serta dihargai.
Ibu Berdaya, Anak Tumbuh Kuat
Pemberdayaan terhadap anak tak bisa kita lepaskan dari yang namanya ekosistem, yakni tempat di mana mereka tumbuh, khususnya keluarga. Peran orang tua—terutama seorang ibu— memiliki akses penuh terhadap pendidikan, keterampilan, dan penguatan peran di dalam keluarga, dan hal tersebut dampaknya terasa langsung pada anak.
Oleh sebab itu, program pemberdayaan perempuan, seperti pelatihan mompreneur dan kelas keterampilan keluarga, telah terbukti dapat meningkatkan kualitas kehidupan anak. Seorang ibu yang memiliki rasa percaya diri dan mampu hidup mandiri akan dapat melahirkan anak-anak yang lebih terbuka, percaya diri, serta memiliki mental yang tangguh untuk menghadapi masa depan.
Bukan Hanya Menyiarkan, Tapi Menyuarakan
Media memiliki kekuatan untuk memengaruhi opini publik, membentuk persepsi, dan menciptakan ruang diskusi. Oleh karena itu, media massa dan media sosial perlu lebih banyak lagi menampilkan narasi-narasi positif tentang anak-anak — bukan hanya sekadar sensasi atau eksploitasi emosional.
Konten yang bersifat edukatif dan ramah anak, cerita inspiratif dari berbagai komunitas, hingga ketersediaan ruang partisipasi bagi anak dalam diskusi publik harus diperluas. Anak-anak bukan lagi hanya sebagai objek dari kebijakan atau berita, namun mereka adalah subjek yang juga berhak menentukan arah masa depan mereka sendiri.
Menjadi Ruang Aman Bersama
Untuk itulah, Hari Anak Nasional bukan hanya menjadi milik institusi pendidikan atau lembaga pemerintah belaka. Hari Anak Nasional adalah hari milik seluruh bangsa Indonesiatanpa terkecuali. Dan hal ini menjadi momen tepat untuk merefleksikan: sudahkah lingkungan tempat anak-anak kita tinggal menjadi ruang aman bagi mereka bertumbuh?
Pemberdayaan terhadap anak tidak hanya lahir dari program formal semata, tetapi dari kesadaran kolektif: yakni dari cara guru mendengarkan setiap muridnya, dari bagaimana masyarakat menyambut kehadiran anak difabel tanpa adanya diskriminasi, hingga dari konten yang kita konsumsi dan kita bagikan di dunia maya.
Anak-anak bukan hanya sekadar pewaris masa depan, mereka adalah pembentuknya. Dan masa depan itu dimulai hari ini. Anak yang berdaya hari ini adalah pemimpin yang bijak esok hari. Mari bergerak bersama, menyemai harapan dari ruang terkecil hingga panggung terbesar.(*)