Beberapa waktu yang baru lalu, brain rot menjadi salah satu istilah yang berseliweran dan ramai dibahas di dunia maya. Bahkan ia ditahbiskan sebagai Oxford Word of the Year 2024. Sebuah artikel menarik bertajuk “If You Know What ‘Brainrot’ Means, You Might Already Have It”. Ditulis oleh Jessica Roy di harian The New York Times (13/6/2024).
“Jika kamu mengetahui makna ‘brain rot’, bisa jadi kamu sudah mengalaminya.” Jessica Roy adalah seorang penulis yang pindah dan tinggal di Paris, kota yang ia pilih untuk menghindari brain rot, sebuah ironi mengingat ia telah menghabiskan puluhan tahun berkecimpung di dunia media digital.
Namun, bukan berarti jika kita belum paham makna brain rot secara serta merta kita belum terkena dampak dari sindrom tersebut. Lantas, apa pentingnya memahami fenomena infobesitasdan apa hubungannya dengan brain rot?.
Konten Dangkal
Dalam budaya internet, brain rot merujuk pada konten daring yang dianggap bernilai rendah atau kurang berkualitas, serta potensi dampak negatifnya terhadap psikologis dan kognitif. Dalam cakupan yang lebih luas, istilah ini juga merujuk pada dampak negatif dari penggunaan media digital secara berlebihan, terutama konsumsi hiburan singkat dan doomscrolling, yang sengaja dirancang melalui algoritma media sosial (medsos) dan nyatanya memiliki dampak besar terhadap kesehatan mental.
Doomscrolling merupakan kebiasaan terus-menerus menggulir berita atau konten konyol, terutama di medsos, meskipun hal itu dapat memperburuk suasana hati atau meningkatkan kecemasan. Kebiasaan ini menurunkan kemampuan berpikir kritis, sebab informasi mengalir secara cepat dan bersifat sangat dangkal.
Menghabiskan berjam-jam tanpa sadar menggulir konten ringan, hiburan receh, dan berkualitas rendah di media sosial dapat berbahaya, karena berisiko melemahkan kemampuan kognitif, menurunkan tingkat intelektualitas seseorang, dan merusak fokus sehingga terjadilah brain rot (Binswanger, 2024).
Menghentikan Infobesitas
Salah satu ciri utama zaman pasca-kebenaran (post-truth) adalah kondisi di mana opini publik lebih dibentuk dan ditentukan oleh emosi, pendapat, dan keyakinan pribadi ketimbang fakta objektif. Keadaan di mana masyarakat mulai “dibanjiri” oleh informasi yang tidak terkelola dengan baik, menyebar tanpa didahului dengan proses kurasi, validasi, moderasi, apalagi verifikasi, sering disebut dengan infobesitas atau information overloaded.
Saat ini setiap orang bisa berbicara dan menjadi produsen wacana serta bebas menyebarkannya. Baik melalui akun medsosnya ataupun dengan “mendompleng” melalui komen panjang di akun-akun lain yang populer dengan puluhan juta pengikut.
Masyarakat luas akhirnya kesulitan membedakan mana informasi yang benar atau yang manipulatif. Kesulitan yang berakibat sebagian masyarakat juga malah ikut menyebarkan informasi yang sebenarnya salah dan menyesatkan, baik sengaja (disinformasi), atau tidak memiliki kesengajaan (misinformasi).
Seorang jurnalis senior cum sastrawan, Bre Redana, memberikan sebuah ilustrasi menarik terkait situasi yang menandakan matinya kepakaran (the death of expertise). “Sekarang, kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya.” Sebuah gambaran sederhana di mana informasi bisa sangat mudah diproduksi, random baik kualitas dan isinya hingga mendorong terjadinya information overloaded.
Salah satu “obat mujarab” infobesitas adalah dengan membaca buku, menulis, meneliti serta menganalisis informasi. Kebiasaan yang sudah banyak ditinggalkan masyarakat. Teknologi, termasuk medsos, memang menawarkan kecepatan, namun membaca buku dan menulis mampu memberikan kedalaman.
Untuk menghindari banjir informasi dan mampu mengolahnya secara kritis, penting untuk mengambil langkah-langkah seperti menggunakan media sosial secara selektif, memastikan sumber informasi kredibel, membandingkan informasi dari berbagai sumber, serta mengembangkan sikap skeptis yang sehat dengan berpegang pada logika dan fakta objektif.
Seruan untuk Para Pakar
Sejatinya banyak juga pihak yang tidak sependapat dengan Tom Nichols, penulis buku terkenal The Death of Expertise atau Matinya Kepakaran. Jagad maya masih kekurangan tulisan dari para pakar, terutama artikel ilmiah populer yang mudah dipahami masyarakat. Banyak dari tulisan tersebut masih tersembunyi di platform-platform penerbit berbayar sehingga sulit diakses dan menggunakan bahasa teknis yang susah dimengerti oleh orang awam.
Jadi, kepakaran bukan atau belum mati. Tulisan para pakar masih kurang tersebar luas karena belum dikemas secara populer. Meski demokratisasi informasi bermanfaat, jika kebablasan, dapat memicu infobesitas yang mampu menenggelamkan informasi berbasis data dan fakta objektif dari para pakar. Dalam hal ini, ibarat perang, para pakar kalah dalam jumlah produktivitas informasi. Para pakar perlu aktif menulis di jagad maya demi menjaga kesehatan akal di era digital. Otoritas ahli harus ditegakkan agar tidak tersaingi oleh pendengung. Dengan begitu, “diet informasi” tetap seimbang, bebas dari junk information dan infobesitas. Seperti halnya gizi untuk tubuh, informasi berkualitas juga penting bagi kesehatan fisik dan mental.(*)