.
Friday, November 22, 2024

Menyoal Paradigma dan Peta Jalan Pangan Lokal  

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Saat ini, dalam perbincangan atas paradigma dan persoalan konsumsi pangan lokal di Indonesia, paling tidak terdapat dua isu utama yang terus mengemuka. Yaitu belum terwujudnya kemandirian pangan (food resilience) dan rendahnya preferensi masyarakat terhadap pangan lokal sumber karbohidrat nonberas.

Isu pertama ditandai dengan konsumsi pangan yang tidak sepenuhnya bersumber produksi dalam negeri. Kondisi ini sudah mirip dengan apa yang dikatakan penulis dan filsuf terkenal Kahlil Gibran hampir seabad yang lalu dalam The Garden of The Prophet (1933), “Pity the nation that wears a cloth it does not weave and eats a bread it does not harvest.” Kasihan bangsa yang tidak mandiri, menggantungkan pangan dari produksi bangsa lain dan bukan pangan lokal hasil panennya sendiri.

Isu kedua tergambar dari bergesernya pilihan konsumen dari pangan lokal ke pangan olahan terutama yang berbasis terigu secara signifikan. Sehingga peta jalan diversifikasi pangan lokal sumber karbohidrat nonberas akan semakin terjal.

Importasi Pangan

Kekhawatiran di atas bukan tanpa sebab.  Badan Pusat Statistik (BPS) di 2020 menyebutkan, Indonesia telah mengimpor kedelai 2,5 juta ton (setara 83 persen kebutuhan nasional) senilai lebih dari Rp 10 triliun. Kemudian, impor gula 5,5 juta ton (setara 92 persen kebutuhan nasional) senilai lebih Rp 25 triliun.  Belum lagi impor biji gandum yang merupakan bahan baku tepung terigu sebanyak 10,3 juta ton (100 persen kebutuhan nasional) senilai lebih dari Rp 30 triliun. Meskipun relatif sedikit, ternyata masih ada impor beras 0,356 juta ton senilai lebih dari Rp 2 triliun.

Sementara itu, di tahun 2021, untuk periode Januari hingga Juni saja, BPS mencatat tingginya impor susu (umumnya dalam bentuk padatan susu atau milk solid) mencapai nilai lebih dari 6 triliun rupiah (kurs Rp 14.400/US$) untuk 150 ribu ton susu. Angka ini setara dengan hampir 80 persen kebutuhan padatan susu nasional.

Harus dipahami bersama, bahwa isu stabilitas pangan merupakan isu strategis yang secara terus-menerus mewarnai dinamika perkembangan ekonomi serta politik negara kita. Persoalan seperti ini sejatinya mudah dimengerti, sebab  pangan  menjadi  salah satu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup.

Oleh karena itu inefisiensi produksi pangan di dalam negeri harus diselesaikan secara tuntas dari fundamental akar masalah. Hal ini sangat penting agar kita terhindar dari ketergantungan akut terhadap impor pangan dan supaya kemandirian pangan segera terwujud, serta tidak menjadi paradoks tragis bagi sebuah negeri agraris seperti Indonesia.

Pangan Olahan Versus Pangan Lokal

Terdapat dua kutub paradigma pangan dilihat dari bagaimana pangan disiapkan, yaitu pangan olahan (ultra-processed food) dan pangan utuh (whole food) atau pangan alamiah (unprocessed food).  

Saat ini pangan olahan sudah masuk kategori hyper-palatable food, pangan olahan dengan kombinasi aneka rasa, tekstur, dan aroma yang sanggup menciptakan citarasa yang sangat nikmat dan menggugah selera. Akibatnya aktivitas makan menjadi sangat menyenangkan dan tidak terkontrol jumlah asupannya dan menyebabkan adiksi. Diduga, pangan olahan adalah salah satu sebab meningkatnya prevalensi obesitas di Indonesia karena kandungan tinggi gula, garam, dan lemak tidak sehat.

Untuk pangan alamiah yang umumnya berasal dari pangan lokal, kita harus mampu belajar dari sejarah. Merujuk pada buku Gastronomi Indonesia, Garjito et al. (2019), bahwa sebelum abad ke-19, masyarakat Jawa sudah mengenal kegiatan yang disebut “ngrowot”, yaitu sebuah aktivitas mengonsumsi umbi-umbian atau pala kependhem serta sayuran baik yang segar, dikukus, ataupun direbus terlebih dahulu.

Aktivitas tersebut bertujuan untuk memperbaiki kesehatan dengan cara meningkatkan konsumsi serat serta menyeimbangkan asupan gizi. Mengonsumsi pangan dari kelompok umbi-umbian, salah satunya berupa ubi, menurut pengetahuan modern sangat berarti untuk kesehatan karena mengandung senyawa-senyawa yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh tubuh manusia.

Misalnya senyawa fungsional berupa antioksidan untuk penangkal radikal bebas yang mampu menghambat penyakit degeneratif seperti beta-karoten dan antosianin. Garut adalah contoh populer ubi yang bisa mengatasi masalah pencernaan, menjaga agar tubuh lebih sehat karena kandungan fosfor, kalsium, zat besi, vitamin C, vitamin A, riboflavin dan niasin.

Bangsa yang masih mengasup pangan tradisionalnya atau khasanah kuliner alamiahnya yang sehat, terbukti jauh dari penyakit. Jepang dan Korea adalah buktinya, angka harapan hidup mereka sangat tinggi. Apa lacur, fakta menunjukkan pangan lokal terutama kelompok umbi-umbian, semakin tersisih dan lebih lekat dengan kesan inferior dan kemiskinan.

Sebagian besar preferensi masyarakat saat ini adalah pangan hasil olahan industri, yang umumnya dikuasai secara monopoli oleh kekuatan dan modal besar pengendali ekonomi pasar. Bahkan di Amerika, pangan olahan sudah mencapai 70 persen dari total bahan pangan yang dikonsumsi.

Jalan Terjal Pangan Lokal

Rendahnya preferensi atau kesukaan menjadi salah satu ancaman terbesar dalam usaha dan Peta Jalan Diversifikasi Pangan Lokal Sumber Karbohidrat Nonberas 2020 – 2024 yang telah digemakan oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan RI. Tantangan besar lain yang tidak kalah pentingnya, misalnya ketersediaan bahan baku pangan lokal masih terbatas serta harga yang kurang kompetitif.

Turunnya konsumsi beras ternyata tidak dibarengi dengan kenaikan konsumsi pangan lokal lain semisal jagung, sorgum, sagu atau bahkan makanan kelompok umbi-umbian, tetapi justru linier dengan naiknya konsumsi terigu. Hal tersebut menjadi salah satu indikasi kegagalan road map atau peta jalan diversifikasi pangan lokal nonberas yang selama ini dijalankan pemerintah.

Literasi gizi di masyarakat yang masih sangat rendah semakin memperparah kondisi rendahnya preferensi pangan lokal. Sangat mudah membuktikannya, yakni ketika sarapan pagi dengan roti empuk dan havermout dianggap lebih sehat dan keren ketimbang sarapan pecel komplet ataupun lotek yang dianggap tidak praktis, kuno, dan kampungan. Padahal secara nutrisi yang terjadi adalah sebaliknya.

Kegagalan peta jalan pangan lokal juga bisa disebabkan terutama oleh besarnya kekuatan dana industri pangan olahan berbasis terigu. Faktanya, budget iklan mereka  sangat besar, sama sekali tidak berimbang dengan anggaranpelaksanaan program dan kampanye diversifikasi pangan lokal sumber karbohidrat nonberas oleh pemerintah yang masih mengandalkan dana dari APBN dan APBD.

Lebih parah lagi belum adanya institusi atau lembaga pemerintah yang cukup powerful yang secara khusus bertanggung jawab dalam menghubungkan proses terbentuknya preferensi pangan lokal di hilir (generating demand) serta memiliki kewenangan yang besar untuk mengatur terjadinya proses produksi di hulu (supply). Selama ini, preferensi dan karakter konsumen diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa intervensi yang cukup bermakna. Kita bisa mencontoh Jepang dengan program school lunch berbahan pangan lokal untuk mengenalkan pangan lokal sejak awal melalui sekolah agar preferensinya meningkat.

Jadi, jangan heran selama paradigma dan preferensi belum bisa dipulihkan, maka selama itu pula peta jalan diversifikasi pangan lokal semakin terjal, tanpa hasil signifikan bahkan kembali mengalami kegagalan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img