Oleh: Oman Sukmana
Guru Besar FISIP dan Ketua Program Doktor Sosiologi
Universitas Muhammadiyah Malang
Beberapa waktu lalu, masyarakat dikejutkan oleh pernyataan salah satu anggota Komisi II DPR RI yang mengusulkan agar politik uang (money politic) di Indonesia dilegalkan saja. Sebagaimana dirilis dari sumber berita Kompas.Com (edisi 16/5/2024), Hugua, salah satu anggota Komisi II DPR RI dari fraksi PDI-P dalam acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan unsur pemerintah lainnya, menyampaikan pandangannya agar soal politik uang dilegalkan dan dibuat aturan resminya. Pandangan Hugua ini sebanarnya sebagai cerminan keputusasaan, kejengkelannya, dan mungkin juga rasa frustrasi terkait semakin merebaknya budaya politik uang dalam kegiatan Pemilu di Indonesia, baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada.
Kejengkelan seorang Hugua terkait praktik politik uang dalam fenomena politik Indonesia memang sangatlah beralasan. Menurut Abdurrohman (2021) Politik uang merupakan salah satu masalah serius dalam praktik Pemilu di Indonesia, mulai dari praktik Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur, Bupati/Walikota, Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) Provinsi, Kabupaten/Kota, maupun praktik Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Maka, tidaklah mengherankan apabila temuan dan laporan mengenai praktik politik uang selalu mewarnani dalam setiap laporan pelanggaran Pemilu.
Secara umum, politik uang (money politic) didefinisikan sebagai sebuah upaya mempengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Politik uang adalah salah satu bentuk suap, oleh karena itu praktik politik uang (Money politics) adalah merupakan bentuk penyuapan agar seseorang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih atau menjalankan haknya untuk memilih tertentu pada saat pemilihan umum melalui imblan uang atau barang.
Pada hakekatnya Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan perwujudan dari demokrasi. Pemilu menjadi sarana sirkulasi elit politik yang absah (legitimate). Oleh karena itu, negara demokrasi menyelenggarakan pemilu, baik di tingkat nasional maupun daerah yang memilih pejabat baik legislatif maupun eksekutif.
Demokrasi dan pemilihan demokratis sebagai kondisi yang akan menentukan keberlangsungan penyelenggaraan Negara. Pemilu memiliki makna sebagai prosedur untuk memindahkan kedaulatan rakyat kepada kandidat tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan politik. Namun, salah satu penyakit politik dan penyimpangan hukum yang menodai citra pesta demokrasi adalah politik uang. Bahhkan politik uang bukan sekadar penyimpangan, melainkan kebangkitan peradaban kotor budaya politik Indonesia.
Oleh karena itu, meskipun kita risau dengan fenomena praktik politik uang dalam Pemilu namun usulan agar praktik politik uang dalam Pemilu dilegalkan adalah sebuah usul yang sesat pikir. Alih-alih memperbaiki kualitas demokrasi, justru malah akan semakin memperparah dan bahkan akan menjadi antitesa demokrasi.
Praktik politik uang merupakan pelanggaran dalam pemilu yang tidak hanya mengabaikan prinsip berdemokrasi, tapi juga telah mengabaikan muatan etika dan moralitas dalam demokrasi sendiri, sehingga ujung dari problema ini adalah tidak adanya aspek yang jujur dan adil (jurdil) sebagaimana asas yang paling mendasar dalam sistem demokrasi (Hawing & Hartaman, 2021).
Memang, fenomena uang tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial masyarakat khususnya masyarakat modern. Adalah Georg Simmel, seorang filsuf dan sosiolog asal Jerman yang menyoroti femonena modernitas melalui pemikirannya tentang filsafat uang (the Philosophy of Money). Dalam pandangan Simmel, dunia modernitas ditandai dengan semakin merebaknya kekuatan uang dalam mengatur kehidupan sosial.
Dalam masyarakat modern uang sebagai bentuk khusus nilai, yang berdampak terhadap dunia batin manusia dan kebudayaan obyektif secara keseluruhan. Terdapat kaitan antara uang dan komponen-komponen kehidupan lainnya, seperti pertukaran, milik, kerakusan, sinisme, kebebasan individu, gaya hidup, kebudayaan, nilai kepribadian, dan sebagainya.
Menurut Georg Simmel, pertukaran ekonomi dapat dipahami sebagai bentuk interaksi sosial, dimana ketika transaksi moneter (uang) menggantikan barter maka terjadi perubahan penting dalam bentuk interaksi antara para pelaku sosial. Dalam masyarakat modern uang sebagai suatu yang bersifat impersonal, dimana hubungan antar individu diwarnai oleh perhitungan kalkulatif untung-rugi yang dinilai dalam bentuk uang.
Manusia modern telah menjadikan uang sebagai tujuan itu sendiri, padahal uang sebetulnya hanya merupakan sarana untuk mempermudah interaksi sosial. Selanjutnya Georg Simmel berpandangan bahwa dampak ekonomi uang adalah reduksi nilai-nilai manusia menjadi nilai uang.
Dalam masyarakat modern, segala sesuatu akan bernilai sosial jika menghasilkan nilai uang. Oleh karena itu, dalam masyarakat modern terjadi apa yang disebut komodifikasi realist social, relasi-relasi sosial antar manusia menjadi komoditas yang diperjual-belikan untuk mendapatkan nilai uang.
Fenomena politik sebagai salah satu dari realitas sosial kehidupan manusia pada akhirnya juga tidak terlepas dari proses komodifikasi. Dalam perspektif sosiologi politik, gejala politik dalam realitas sosial adalah sebagai upaya individu atau kelompok manusia untuk memperoleh posisi, status, dan wewenang tertentu dalam mengatur dan mengendalikan orang lain.
Dalam pandangan Vilfredo Pareto, seorang sosiolog politik asal Prancis, suatu masyarakat ditandai oleh tiga kelompok kelas, yakni kelompok kelas elit yang berkuasa yang jumlahnya sedikit, kelompok elit yang tidak berkuasa, dan sebagian besar kelompok masyarakat umum yang tidak memiliki kekuasaan.
Kelompok elit yang berkuasa, tentu saja memiliki posisi, status, dan wewenang tertinggi untuk mengatur kehidupan masyarakat umum. Upaya elit untuk memperoleh posisi, status, dan wewenang tertinggi dalam masyarakat, juga tidak terlepas dari proses pertukaran sosial melalui transaksi uang. Dalam konteks demokrasi, Pemilu pada dasarnya adalah proses politik untuk menentukan elit politik dalam masyarakat, maka dalam Pemilu akan terjadi proses pertukaran sosial.
Teori pertukaran sosial, sebagai salah satu perspektif teori Sosiologi, dapat digunakan untuk menjelaskan dan memahami fenomena politik uang dalam Pemilu. Asumsi Teori Pertukaran Sosial adalah bahwa manusia merupakan mahluk yang rasional, yang selalu memperhitungkan untung-rugi. Kalkulasi untuk-rugi dalam proses pertukaran sosial adalah dinilai oleh uang. Itulah sebabnya mengapa politik uang selalu melekat dalam proses Pemilu.(*)