Oleh: Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UMM
Tragedi Kanjuruhan menyisakan sejumlah narasi tentang peristiwa memilukan itu. Tak semua narasi benar. Tak sedikit narasi yang viral di media sosial (medsos) justru yang keliru. Ada narasi yang dibuat oleh mereka yang memang benar-benar mengetahui tentang Arema dan saat kejadian mereka sedang berada di lapangan hijau Stadion Kanjuruhan. Namun, tak sedikit narasi yang dibuat oleh mereka yang hanya merasa paling mengetahui Arema. Mereka hanya sok tahu, bukan mengetahui yang sebenarnya.
Sejumlah orang yang merasa paling tahu itu selanjutnya membuat analisa yang cenderung ngawur dan mengunggahnya di laman-laman medsos. Hal inilah yang bikin situasi tambah keruh. Banyak orang yang tak pernah nonton permainan Arema di stadion, bahkan di layar televisi juga jarang, tiba-tiba mereka merasa sok tahu tentang Arema. Mereka membangun narasi sesukanya yang tak bersumber fakta. Parahnya, justru narasi-narasi yang tak kredibel itu justru yang mampu mempengaruhi opini publik.
Para pengamat abal-abal itu membuat analisa yang tak semua benar. Para netizen yang merasa paling tahu Arema itu membuat narasi layaknya pengamat sepak bola kawakan. Padahal mereka tak paham sejarah, culture, dan banyak hal yang melingkupi Arema. Munculnya para komentator amatiran itu justru dapat memicu informasi melaju semakin gaduh dan kisruh.
Data jumlah korban jiwa tragedi Kanjuruhan simpang siur. Berbagai analisa faktor pemicu kerusuhan juga muncul beragam versi. Semua narasi itu bercampur dan beredar viral di medsos. Antara informasi yang benar dan ngawur tak mudah dipilih dan dipilah. Hingga tak jarang justru banyak orang mempercayai analisa yang keliru dan diyakini sebagai yang benar. Sementara informasi yang benar justru diragukan akurasinya.
Tak sedikit informasi diproduksi dan diunggah oleh mereka yang sejatinya tak mengerti sepak bola. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang berkomentar banyak hanya berbekal narasi sepotong yang beredar lewat medsos. Kemunculan para pengamat dadakan itu cukup meresahkan karena dapat membangun opini publik yang keliru dan sesat. Hal ini dapat membuat penyelesaian masalah ini semakin rumit.
Maha Benar Netizen
Era internet dan medsos saat ini menjadikan komunikasi berlangsung terbuka. Lewat medsos misalnya, siapa saja bisa membuat, mengunggah dan memviralkan narasi apa saja. Identitas sang produsen informasi juga bisa disamarkan. Banyak orang berkomentar di medsos dan merasa dirinya yang paling tahu dan paling benar. Hingga ada ungkapan maha benar netizen dengan segala unggahannya.
Mencari kebenaran di era pasca kebenaran (post truth) saat ini juga tak gampang. Kebenaran yang sesungguhnya justru sering samar dan diragukan karena narasi yang benar itu justru kalah dengan narasi keliru yang viral. Viralitas itulah yang saat ini banyak digunakan sebagai ukuran kebenaran padahal belum tentu sesuatu yang viral itu sebagai sesuatu yang benar. Di sinilah netizen dan para pengguna medsos berkontribusi turut mengaburkan kejernihan informasi yang benar sesuai fakta.
Dalam tragedi Kanjuruhan, banyak orang yang merasa paling mengerti tentang Arema. Padahal sejatinya mereka hanya pengamat gadungan yang tak punya kapasitas kepakaran di bidang olahraga itu. Tak sedikit orang mencoba menganalisa dan membuat opini dengan pendekatan yang beragam. Tak jarang opini mereka yang tendensius dan tak bersandar fakta. Bahkan ada yang menganalisis dengan teori konspirasi. Beragam analisis menjadi banjir informasi di medsos yang membuat publik tersandera pada situasi kesimpangsiuran.
Riuhnya beragam narasi dari banyak pakar sepak bola abal-abal tak terlepas dari fenomena lahirnya media baru (new media) saat ini yang memungkinkan siapa saja bisa mengaku seorang pakar. Seorang yang sesungguhnya benar-benar ahli di bidangnya akan terkalahkan oleh orang biasa yang tak punya kemampuan sebagai ahli. Orang biasa tersebut dengan mudah mendapatkan informasi lewat medsos, Google, dan beragam mesin pencari (search engine) digital. Melalui bantuan “Mbah Google” beragam informasi dengan cepat bisa didapat.
Matinya Pakar
Fenomena ini oleh Tom Nichols, seorang profesor di US Naval War College, disebut sebagai era matinya kepakaran. Nichols (2017) dalam bukunya “The Death of Expertise” menjelaskan bahwa matinya kepakaran merupakan sebuah kondisi ketika semua orang bisa merasa mengetahui semua hal walaupun sejatinya mereka tak memiliki keahlian dan kompetensi. Munculnya pakar-pakar karbitan ini turut menjadikan informasi tragedi Kanjuruhan menjadi semakin keruh. Kekeruhan ini cukup mengganggu masyarakat dalam menemukan informasi yang jernih.
Tom Nichols, lebih lanjut menyatakan bahwa matinya kepakaran menjadi sebuah keniscayaan. Perkembangan teknologi, terutama smartphone dan medsos telah membuat setiap orang bisa menjadi atau merasa dirinya pakar. Ilmu pengetahuan dan teknologi tak lagi didominasi hanya oleh orang-orang pintar sekelas doktor dan profesor saja. Para pakar yang dulu menjadi rujukan banyak orang karena ilmu dan keahliannya kini tinggal kenangan. Siapa saja sekarang bisa jadi pakar.
Tak sedikit unggahan dari para pengamat sepak bola abal-abal menjejali masyarakat dengan informasi yang tak kredibel. Kenyataan ini tentu bisa menjadi bencana baru dan bisa lebih berbahaya dari tragedi yang sedang terjadi. Menjadi bencana apalagi kalau masyarakat tak punya kemampuan menyeleksi informasi yang masuk melalui beragam gadget mereka.
Ulah para pengamat gadungan yang mengunggah aneka narasi menyesatkan semakin menjadikan informasi terkait tragedi ini melebihi dari realitas yang sesungguhnya. Hiperrealitas informasi bisa dipicu oleh beragam komentar dari para pakar amatiran dan narasi netizen yang ngawur.
Hiperealitas telah menciptakan kemustahilan informasi (information impossibility), kesimpangsiuran dan ketidakpastian makna. Melalui media massa dan medsos sejatinya situasi buruk hiperrealitas ini bisa diredam. Tragedi pilu dunia sepak bola tanah air banyak muncul dalam narasi yang tak semuanya benar. Media mustinya dapat mengembalikan pemahaman masyarakat agar mampu membedakan secara jernih mana realitas, representasi atas realitas, simulasi, dan hiperrealitas. (*)