Merawat Kemerdekaan dan Demokrasi

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Setiap bulan Agustus, merah putih berkibar di sepanjang jalan diiringi pekik kemerdekaan yang menggema di berbagai pelosok negeri. 80 tahun sudah Indonesia merdeka. Kemerdekaan merupakan perjuangan panjang para pendiri bangsa dalam mengusir penjajah. Untuk memperingati itu semua, ritual kemerdekaan digelar sepanjang bulan. Mulai dari upacara bendera, parade karnaval, sampai lomba-lomba dan pentas seni.

          Namun, di balik riuhnya ritual tahunan yang digelar, kita perlu melakukan refleksi diri sebagai bangsa. Apakah cita-cita kemerdekaan sudah tercapai? Bagaimana kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia? Adakah keadilan sosial di negeri ini? Apakah demokrasi kita semakin kokoh atau justru menyisakan kesenjangan yang mencederai amanat konstitusi?   Pemimpin dan wakil rakyat terus berganti tiap lima tahun, tapi permasalahan bangsa tetap saja seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, dan lain sebagainya. Seperti lingkaran setan, kita terjebak pada masalah lama yang sama dan tak kunjung terselesaikan.

          Peringatan 80 tahun kemerdekan bukan sekadar momentum historis, melainkan titik balik untuk menilai sejauh mana cita-cita proklamasi telah diwujudkan. Momentum kemerdekaan ini menjadi relevan untuk mengoreksi diri kita sendiri sebagai bangsa menghadapi realitas sosial politik Indonesia saat ini dalam menghadapi gelombang tantangan yang komplek. Mulai dari polarisasi politik, sandera politik, kriminalisasi hukum, krisis kepercayaan, hingga penetrasi teknologi digital yang mengubah lanskap semua lini kehidupan masyarakat.

Kemerdekaan Proses yang Terus Hidup

          Kemerdekaan, dalam perspektif filsafat politik, bukanlah garis akhir yang dapat dicapai lalu dibiarkan membeku. Kemerdekaan adalah proses historis yang dinamis, membutuhkan perawatan, penguatan, dan pembaharuan agar tetap relevan dengan semangat zaman. Kemerdekaan suatu bangsa memerlukan kesepakatan imajinasi kolektif sebagai realitas intersubyektif.

          Benedict Anderson (1983) memandang bangsa sebagai imagined community, proses komunikasi politik yang lahir dari kesepakatan imajiner dan dipertahankan oleh masyarakat dalam praktik sosial, budaya, dan politik. Pandangan ini menganggap bahwa kemerdekaan tidak semata diukur dari lepasnya kendali kolonial, tetapi juga dari kemampuan bangsa menjaga kesadaran kolektif, membangun solidaritas, dan menjamin keterlibatan aktif warga dalam menentukan arah dan kebijakan bangsa.

          Tantangan terbesar dalam merawat kemerdekaan terletak pada keberanian mempertahankan nilai-nilai fundamental. Seperti kebersamaan, persatuan, gotong royong, keadilan, dan partisipasi publik. Di dalam menjaga dan merawat kemerdekaan, kita sepakat menganut sistem demokrasi.        Demokrasi, sebagai rumah bagi kemerdekaan, memerlukan ruang publik yang sehat, terbebas dari kooptasi kekuasaan, disuburkan oleh dialektika, dan terbuka terhadap kritik konstruktif. Tanpa itu semua, kemerdekaan berisiko mengalami degradasi makna, kemerosotan nilai, dan menjadi simbol seremonial tanpa esensi.

          Kemerdekaan akan terus hidup, hanya jika setiap generasi menjadikannya proyek bersama, bukan sekadar memori dan warisan yang dibiarkan layu dan usang. Kemerdekaan menuntut partisipasi aktif, keberanian mengoreksi arah, dan kesediaan menghidupkan sembali semangat  awal perjuangan kemerdekaan. Semangat yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok apalagi pribadi.

Merawat Demokrasi Indonesia

          Di usia 80 tahun Indonesia merdeka, bagaimana nasib demokrasi kita? Apakah demokrasi kita semakin matang dan dewasa atau justru terjebak pada sirkulasi persoalan lama yang sama? Awal reformasi dua dekade yang lalu, Indonesia kerap dielu-elukan sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

          Namun, kebanggaan ini mulai pudar; kualitas demokrasi kita masih dikategorikan sebagai flawed democracy oleh sejumlah indeks internasional. Prosedur demokratis memang berjalan seperti pemilu rutin digelar, partai politik berkompetisi, dan rakyat memilih. Tetapi esensi demokrasi seperti deliberasi publik, kompetisi yang sehat, kesetaraan akses politik, dan supremasi hukum di atas politik belum dijalankan sepenuhnya.

          Polarisasi politik menjadi tantangan paling nyata di masyarakat. Dampak yang diakibatkannya adalah segregasi sosial yang merusak semangat kemerdekaan, melemahnya social trust, dan ruang dialog yang menyempit. Demokrasi yang seharusnya menjadi arena dialog dan tukar gagasan berubah menjadi gelanggang serangan politik dan sandera politik.       Kebenaran obyektif kerap dikalahkan oleh suara buzzer politik yang dikendalikan elit kepentingan. Padahal, dalam perspektif John Rawls (1971), demokrasi memerlukan prinsip fairness; kesetaraan akses politik dan perlindungan hak-hak minoritas. Tanpa prinsip ini, demokrasi rawan jatuh ke dalam dominasi mayoritas yang rapuh.

          Jika kemerdekaan adalah warisan historis, maka demokrasi adalah cara kita mengelola warisan tersebut. Tantangan baru di era baru selalu menuntut respon adaptif yang berpijak pada nilai dasar Pancasila dan kebangsaan. Nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai musyawarah, dan nilai keadilan terus kita gaungkan dan laksanakan untuk menjaga kemerdekaan.

          80 tahun kemerdekaan mengajarkan bahwa demokrasi tidak otomatis kokoh hanya karena pernah diperjuangkan. Jean-Paul Sartre (1965) pernah berkata “freedom is what you do with what’s been done to you.” Kebebasan adalah bagaimana kita mengelola warisan yang kita terima. Akhirnya, tugas kita adalah memastikan kemerdekaan tetap relevan, hidup, dan dirasakan seluruh rakyat Indonesia.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img