Di kampus, sekolah, dan sejumlah tempat umum, saya lihat banyak yang tak bisa lepas dari gadget. Kebanyakan orang merunduk sambil sibuk berselancar di dunia maya lewat beragam platform media sosial (medsos) mereka. Tak sedikit pengguna medsos tak bisa lepas dari candu dunia digital. Tak sedikit orang diperbudak algoritma digital. Mereka tak bisa merdeka dari aneka konten receh yang dapat memicu munculnya pembusukan otak (brain rot).
Dalam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) yang ke 80 tahun ini, patut kita renungkan munculnya aneka penjajahan gaya baru. Salah satu penjajahan gaya baru itu adalah penjajahan digital. Bentuk kasat matanya adalah brain rot, akibat konsumsi medsos yang receh dan tak berkualitas. Dampak dari penjajahan digital ini sesungguhnya sangat serius dapat merusak masyarakat.
Istilah brain rot mencerminkan kondisi mental yang memburuk karena terlalu sering mengonsumsi konten-konten dangkal, repetitif, dan impulsif. Aktivitas digital seperti scroll tanpa henti di TikTok, doom scrolling di Twitter (X), atau candu terhadap video-video reaction, prank, dan gosip selebritas yang tak ada habisnya. Akibatnya, otak tak diberi ruang untuk berpikir kritis dan kontemplatif.
Dalam semangat kemerdekaan kali ini, sudah saatnya kita mendeklarasikan “Merdeka dari Brain Rot”. Mari kita bebaskan pikiran dari jebakan konten instan. Rayakan kemerdekaan dengan cara yang lebih substansial seperti dengan membaca buku, berdiskusi tentang sejarah bangsa, mendukung kreator lokal yang membawa nilai positif, atau ikut berlomba menciptakan konten yang mencerdaskan.
Terjajah Algoritma
Apa gunanya merayakan kemerdekaan jika pikiran kita terjajah algoritma. Apa artinya merah putih berkibar gagah, jika generasi mudanya larut dalam video-video absurd yang tak mendidik. Tentu tak berarti bahwa semua konten medsos itu buruk. Tak sedikit memang konten yang edukatif, inspiratif, bahkan membangkitkan semangat kebangsaan. Namun, kemerdekaan digitalmenuntut kesadaran melek digital dengan kemampuan untuk memilah dan memilih.
Penjajahan baru dalam wujud brain rot tak lahir dari ruang hampa. Logika algoritma platform digital dirancang untuk menciptakan keterikatan maksimal (maximum engagement), bukan kedalaman berpikir. Aneka konten yang memicu emosi cepat, baik berupa tawa, marah, atau rasa penasaran instan, akan terus muncul tanpa akhir. Di sinilah potensi “pembusukan” itu. Ini bukan bentuk penyakit fisik, tetapi degradasi kapasitas intelektual dan emosional manusia.
Logika algoritma medsos mendorong penggunanya untuk terus scrolling. Aplikasi seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts dirancang agar kita ketagihan. Aneka platform itu menyodorkan konten-konten yang mudah dicerna, cepat dinikmati, dan bikin ketagihan. Tapi, seperti makanan cepat saji (junk food), konsumsi berlebihan akan menimbulkan efek buruk tak hanya di perut, tapi juga di otak.
Cara kerja algoritma digital inilah yang menjadikan aneka konten receh tak mendidik terus mencekoki pengguna medsos tanpa punya daya untuk menolaknya. Keperkasaan algoritma ini menjadikan para pengguna medsos hanya jadi budak teknologi digital. Alih-alih menggunakan teknologi untuk menambah ilmu pengetahuan, yang ada justru terjadi pembusukan otak yang menjadikan pengguna teknologi tumpul dalam menggunakan otaknya.
Lawan Brain Rot
Idealnya, segala bentuk penjajahan harus dilawan. Penjajahan gaya baru berwujud brain rot tak bisa dibiarkan terus beraksi. Literasi digital adalah salah satu senjata melawan terjadinya brain rot. Literasi digital yang tak hanya soal keamanan siber atau hoaks, tapi juga soal kesehatan mental. Brain rot adalah ancaman yang pelan namun pasti. Ia membuat kita mudah lupa, gampang bosan, malas berpikir, dan terjebak dalam arus hiburan tanpa arah. Jika ini terus terjadi, kita sedang menyiapkan generasi yang merdeka secara formal, tapi terjajah secara mental.
Bagaimana masa depan Malang Raya dan Indonesia secara luas jika generasi mudanya larut dalam konten-konten viral tapi kosong makna. Apa gunanya akses internet cepat dan ponsel canggih, jika digunakan untuk menyaksikan video receh tanpa jeda. Kita sedang menghadapi bahaya besar yakni generasi digital yang canggih secara teknologi, tapi tumpul secara intelektual. Tentu tak semua konten medsos itu buruk. Banyak pula kreator yang menyebarkan edukasi, inspirasi, hingga semangat nasionalisme lewat konten digital.
Dalam semangat 80 tahun kemerdekaan Indonesia, mari kita maknai ulang kata “merdeka.” Bukan hanya merdeka dari penjajahan kolonial, tapi juga merdeka dari brain rot. Merdeka dari candu konten dangkal. Merdeka dari algoritma yang memperbudak. Merdeka dari kebiasaan rebahan sambil scrolling yang menguras waktu.
Jika dulu para pahlawan mengangkat senjata melawan penjajah, kini kita harus mengangkat kesadaran melawan penjajahan gaya baru. Jangan sampai kita menjadi generasi yang merdeka secara politik, tapi terjajah secara digital.
Kemerdekaan itu bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga masa depan. Jika para pejuang pendahulu kita bertaruh nyawa untuk membebaskan tanah air dari penjajahan, kini giliran kita menjaga agar kebebasan itu tak tercemari oleh beragam penjajahan gaya baru. Sudahkah kita benar-benar jadi orang yang merdeka atau masih jadi budak dari screen gadget di genggaman kita sendiri?(*)