spot_img
Thursday, February 6, 2025
spot_img

Merdeka dari Efek Dorito Pangan Ultra-olahan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Sunardi Siswodiharjo
Anggota Perhimpunan Ahli Teknologi
Pangan Indonesia (PATPI)

          Tidak kurang para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI juga turut merasakan keresahan masyarakat atas maraknya kasus cuci darah yang menimpa anak-anak di Jakarta. Diduga konsumsi berlebihan makanan ultra-olahan yang tidak sehat menjadi salah satu sebabnya. Bahkan DPR sudah membentuk Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Produk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji dengan Kandungan Gula, Garam, dan Lemak (GGL).

          Lantas, mengapa masyarakat luas, termasuk anak-anak, sangat sulit menghindari kelompok makanan ultra-olahan? Di manakah letak bahayanya? Ikhtiar apa saja agar terbebas dan merdeka darinya?

          Tidak hanya di Indonesia saja, nyatanya kegelisahan di atas juga sudah menjadi perhatian para pakar di banyak negara. Bahkan, Marion Nestle, Profesor Emeritus bidang gizi dan kesehatan masyarakat di Universitas New York, dengan lantang mengungkapkan bahwa makanan ultra-olahan (ultra processed foods/UPF), yang saat ini beredar sangat luas dan dikonsumsi masyarakat dunia, sengaja diformulasikan agar sangat lezat dimakan, begitu menggugah selera, sehingga membuat orang ingin terus mengonsumsinya (hyperpalatable).

          UPF umumnya kurang bergizi, diproduksi dengan bahan-bahan tambahan pangan yang dihasilkan secara industri seperti pewarna, perisa, dan pemanis.  (“Regulating the Food Industry: An Aspirational Agenda” di American Journal of Public Health, 2022).

          UPF merupakan makanan kelompok keempat hasil penggolongan produk makanan berdasarkan tingkat dan tujuan pengolahan makanan yang diterapkan sesuai dengan NOVA Classification System (Monteiro et al., 2019). Beberapa contoh utama golongan ini adalah minuman ringan berkarbonasi, burger, keripik berperisa, sereal anak-anak, nuget ayam, minuman dan jus manis, mie instan, serta sebagian besar es krim komersial.

          Persoalan semakin kompleks sebab UPF ini dipasarkan secara luas dan agresif, kemasan menarik, praktis, harga terjangkau, margin keuntungan tinggi bagi produsen. Selalu tersedia di gerai ritel modern, warung, maupun gerai cepat saji di seluruh pelosok Indonesia, sehingga aksesnya teramat mudah.

          Sementara itu, tiga golongan makanan lainnya relatif aman, berturut-turut yaitu (1) makanan tanpa pengolahan (unprocessed) atau alami (natural foods), (2) bahan kuliner olahan (processed culinary ingredients), dan (3) makanan olahan (processed foods) yaitu produk yang menggunakan kelompok kedua yang ditambahkan ke makanan kelompok pertama.

Efek Dorito

          Mark Schatzker dalam bukunya “The Dorito Effect: The Surprising New Truth About Food and Flavor” (2015), menggambarkan Efek Dorito sebagai dorongan yang kuat serta keinginan untuk terus mengonsumsi makanan ringan yang sangat enak namun cenderung tidak nutritious, seperti keripik Doritos.

          Tampaknya produsen makanan sudah berhasil menciptakan produk yang sangat “kaya rasa” dan adiktif, dijelaskan dengan frasa “addictively delicious, you can’t eat just one.” Menggunakan kombinasi garam, gula, lemak serta bahan tambahan pangan, misalnya perisa (flavor) serta penguat rasa monosodium glutamat (MSG). Efek inilah yang dapat membuat orang sulit untuk berhenti makan setelah memulai. Perisa telah digunakan untuk “menjebak” lidah konsumen dan meningkatkan ketergantungan pada makanan ultra-olahan.

          Setidaknya terdapat dua sebab utama mengapa Efek Dorito bisa terjadi. Pertama, terjadinya manipulasi dan evolusi rasa. Teknologi Gas Chromatography-Mass Spectrometry/GC-MS terkini mampu mendeteksi dan menganalisis komponen flavor, hasilnya digunakan untuk meniru atau bahkan mensintesa perisa “alami” baru dari bahan-bahan kimia (natural identical flavor).  Makanan modern, termasuk UPF, sering kali dirancang untuk memaksimalkan kepuasan lidah semata, tanpa memperhatikan nilai gizinya.

          Sebab kedua, munculnya ketidakseimbangan nutrisi dan rasa makanan, sesuatu yang sudah dimiliki makanan alami. Rasa buatan sanggup mengacaukan sinyal alami tubuh, sehingga mendorong konsumen makan lebih banyak. Mampu mengubah preferensi makanan serta kebiasaan makan, sehingga lidah merasakan makanan alami yang sehat jadi hambar.

Vote with your fork

          Survei Kesehatan Indonesia (2023) menyebutkan prevalensi obesitas sentral (abdominal) pada penduduk umur ≥ 15 tahun sudah mencapai hingga 36,8 persen. Satu di antara pelajaran bernilai dari pandemi Covid-19 adalah urgensi untuk mengurangi konsumsi UPF, yang telah dibuktikan oleh banyak riset dapat meningkatkan asupan kalori secara berlebihan dan menyebabkan obesitas.

          Membatasi konsumsi makanan ultra-olahan merupakan strategi yang efektif untuk pencegahan dan penanganan obesitas, sejalan dengan riset Hall et al. (2019), “Ultra-Processed Diets Cause Excess Calorie Intake and Weight Gain.” Konsumsi UPF berlebihan juga meningkatkan risiko penyakit kronis tidak menular seperti diabetes dan hipertensi yang memperberat kerja ginjal. Dalam jangka panjang berpotensi menyebabkan gagal ginjal serta cuci darah.

          Salah satu langkah fundamental untuk menghadapi meluasnya UPF adalah mengadopsi gerakan “Vote with your fork”, bertujuan untuk mendorong individu lebih memilih makanan yang lebih alami, rasa autentik, bergizi, dan bukan UPF. Memilih jenis makanan untuk konsumsi, merupakan hak serta keputusan penting yang dimiliki setiap orang.

          Gerakan seperti ini hanya akan berhasil bila literasi dan kesadaran gizi masyarakat sudah mumpuni. Untuk mencapainya, negara bisa mengintensifkan edukasi publik melalui iklan layanan masyarakat tentang pangan sehat. Bila perlu melibatkan para influencer yang punya puluhan juta pengikut di media sosialnya, tentu lebih dulu dibekali dengan narasi yang tepat.

          Selain itu, negara harus hadir dan segera “menegakkan” PP Nomor 28/2024 tentang Kesehatan. Lalu aturan tentang label peringatan (sangat sehat hingga sangat dihindari) di bagian depan kemasan produk UPF. Selanjutnya, penerapan cukai minuman berpemanis, yang sudah tertunda delapan tahun, tepatnya sejak 2016.

          Sebagai konsumen, setidaknya kita bisa mulai aksi dari diri sendiri. “Vote with your fork”, akhiri Efek Dorito dengan memilih makanan dan hidup yang lebih sehat!.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img