spot_img
Monday, December 23, 2024
spot_img

Merekonstruksi Pendidikan, Membangun Moral

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Menjadi guru merupakan pekerjaan mulia. Kemuliaan itu terletak pada peranan dan tanggung jawab segitiga emas yang diembannya. Yakni, (1) menyampaikan ilmu pengetahuan (tranfer of knowledges), (2) mewariskan nilai-niali luhur (transfer of values), dan (3) mewariskan keterampilan dan keahlian (transfer of skill). Ketiga dimensi tersebut diharapkan akan melahirkan anak-anak bangsa yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual dalam menghadapi era digitalisasi dan menyiapkan Generasi Indonesia Emas tahun 2045.

Di samping itu, keprofesionalitasan seorang guru dalam menunaikan tugas sangat penting bagi peserta didik dalam mendidik, membimbing, dan memotivasi agar mereka pandai, bermoral, dan bermanfaat bagi masyarakat. Untuk menjadi seorang pendidik yang baik, seorang pendidik hendaknya memiliki karakter yang baik pula. Karakter yang baik seorang pendidik memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan moral anak didik ke depan.

Itulah yang belum banyak disadari dan dimengerti oleh sebagian besar para pendidik. Indikatornya, mereka hanya menyampaikan ilmu pengetahuan saja tanpa memberikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam mata pelajaran yang diajarkan, bahkah menjauhkan dari aspek spritual. Sehingga para lulusannya secara akademik nilainya baik, tetapi mereka sering melakukan pelanggaran moral dan spiritual.

Hal ini terbukti banyaknya kasus penggunaan narkoba, perkelahian, penyalahgunaan medsos, pergaulan bebas, sadisme, dan lain-lain terjadi di sekitar kita dan pelakunya para pelajar. Bahkan ada yang sampai tega membunuh orang tuanya sendiri. Lalu ini salah siapa?

Dilihat dari perspektif pendidikan, sebenarnya profesi pendidik memiliki tanggung jawab moral untuk mengantarkan anak didik menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan, beradab, dan berbudi luhur. Untuk mencapai tujuan tersebut, guru mempunyai peranan sangat penting.

Oleh karena itu, dalam PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional dan UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disyaratkan guru harus memiliki kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Keempat kompetensi tersebut harus terintegrasi, tidak boleh terpisah-pisah sebagai bingkai kompetensi guru.

Menipisnya Moral

Salah satu fenomena yang patut kita renungan bersama adalah menipisnya nilai-nilai moral terutama di kalangan pelajar. Gejala melupakan sikap rasional menjadi gaya hidup yang berorientasi pada pertanyaan, apa yang dapat saya lakukan? Dan mengabaikan sikap moral dan etis yang berorientasi pada, apa yang baik untuk dilakukan?. Bahkan sikap religius yang mempertanyakan, apa yang halal dilakukan?

Ada beberapa faktor penyebab menipisnya moral para pelajar kita. Pertama, kurangnya teladan bagi siswa di lingkungan mereka. Baik di sekolah maupun lingkungan sekitar mereka tinggal. Disadari atau tidak, setiap tingkah laku guru baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun kehidupan sosial menjadi inspirasi tersendiri bagi mereka.

Kelelahan pelajar dalam mencari tokoh teladan (guru, orang tua, dan masyarakat) menimbulkan sikap frustrasi yang kemudian menimbulkan berbagai kompensasi mencari “kenikmatan” di luar. Kedua, dunia pendidikan kita selalu mengkultuskan aspek intelektual daripada nilai moral dan agama. Banyak siswa yang berprestasi di bidang akademik namun sering melakukan hal-hal yang melanggar moral dan agama.

Ketiga, melemahnya sanksi sekolah terhadap siswa yang melanggar. Baik pelanggaran moral, agama, sosial. Orang menganggap enteng dengan pelanggaran tersebut. Keempat, pengaruh negatif budaya dari luar yang tidak sesuai dengan budaya kita. Termasuk tontonan internet yang tidak mendidik dan cenderung merusak tatanan moral menjadi menu setiap hari.

Merekonstruksi Peranan dan Tanggung Jawab Guru

Tugas dan peranan guru profesional adalah menyampaikan ilmu pengetahuan (tranfer of knowledges) mewariskan nilai-niali luhur (transfer of values) dan mewariskan keterampilan dan keahlian (transfer of skill). Dengan ketiga dimensi tersebut di atas diharapkan akan melahirkan anak-anak bangsa yang kamil. Paling tidak dapat meningkatkan kualitas pikir-nalar, kualitas moral–religius, kualitas kerja–pengabdian, dan kualitas hidup dunia–akhirat.

Namun cita-cita untuk melahirkan anak-anak bangsa menjadi insan yang kamil tidaklah semudah membalikkan telapan tangan. Membutuhkan keyakinan dan niat yang kuat, aktualisasi yang istiqomah (ajeg), kerja sama yang sinergis dari berbagai pihak, dukungan moral orang tua–masyarakat. Dan doa kepada Tuhan.

Arus globalisasi yang menyeret kita ke kubangan kenikmatan sesaat, menjelma menjadi kesengsaraan struktural dan horizontal yang bersifat materialistis terus menguntit kita. Maka upaya untuk menyelamatkan anak-anak didik dapat dilakukan dengan memberikan ruang dan kemampuan untuk mengembangkan kehidupan spritualistik sebagai imbangan kehidupan materialistis. Kehidupan spritual itu dapat dikemas dalam “pembiasaan” secara dini, melakukan amal baik yang kontinyu, membiasakan perilaku sopan santun, membudayakan akhlakul karimah, dan mengembangkan kepekaan sosial.

Peran dan tanggung jawab guru memegang kunci strategis dalam mengembangkan dirinya menjadi guru yang efektif. Oleh sebab itu, seharusnya meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang kurang mendukung pembelajaran yang berorientasi pada menyampaikan ilmu pengetahuan, mewariskan nilai-nilai moral, dan mewariskan keterampilan dan keahlian.

Sudah saatnya mulai sekarang, guru mengganti dengan kebiasaan-kebiasaan yang mengarahkan dirinya menjadi guru efektif. Oleh karena itu dibutuhkan intervensi pemerintah, masyarakat, dan kemauan guru sebagai subjek. Akan tetapi yang sangat menentukan guru itu sendiri. Betapa pun hebatnya usaha pemerintah apabila guru tidak memiliki kemauan dan kompetensi yang memadai usaha pendidikan tidak akan berhasil secara optimal.

Pekerjaan rumah yang harus dijawab adalah, sudahkah kita menyinergikan ketiga dimensi segitiga emas di atas? Jawaban itu akan terlihat dari produk pendidikan di masa mendatang. Semakin baik atau sebaliknya semakin buruk. Semua itu akan menjadi bahan renungan kita bersama sebagai tanggung jawab moral. Sekali lagi, guru dituntut menjawab tantangan-tantangan zaman ke depan dan menjadi agen perubahan. Tentu, perubahan yang lebih baik, positif, dan maslahah. Sebab perubahan adalah keniscyaan. Wallahu ‘alam bisshowab.

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img