Tuesday, August 26, 2025

Merenungi Kembali Keberagamaan dan Kemerdekaan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

JIKA kita amati kehidupan kaum muslim Indonesia belakangan ini, boleh jadi kita bingung mengatakannya. Apakah kehidupan umat Islam—sebagai penganut agama mayoritas—selama ini menggembirakan atau justru memprihatinkan. Sebab dari satu sisi, kehidupan keberagamaan terlihat begitu hebat di negeri ini.

Kitab suci al-Quran tidak hanya diperdengarkan di masjid, di musala, atau di rumah-rumah, tetapi juga dilomba-lagukan dalam MTQ-MTQ. Lafal-lafalnya ditulis indah dalam lukisan kaligrafi. Begitu halnya nilai-nilai dan ajarannya, juga kerap dijadikan bahan khutbah. Didiskusikan di seminar-seminar dan mimbar-mimbar dakwah. Juga sering dikutip oleh beberapa politisi muslim pada saat kampanye atau rapat-rapat partai.

Secara ‘ritual’ kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah, hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Tidak ada musalla, apalagi masjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan.

Jumlah orang yang naik haji setiap tahun terus meningkat, hingga selain ada ketetapan quota, Departemen Agama perlu mengeluarkan peraturan pembatasan. Setiap hari orang berumrah menyaingi mereka yang berpiknik ke negara-negara lain. Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius.

Sisi Gelap Keberagamaan

Namun, marilah kita tengok sisi gelap dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung di atas, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai agama yang seolah menjadi benda-benda asing yang tak dikenal oleh umatnya sendiri.

Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri. Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para shahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan-kepentingan terselubung dan ketamakan.

Selain hal-hal di atas, korupsi terus merajalela dari tingkat kelurahan sampai ke pusat. Sementara bilangan orang miskin dan angka pengangguran seakan berlomba dengan jumlah para koruptornya Berdasarkan data yang dirilis Timesprayer per 3 Maret 2025, jumlah penduduk Muslim di negeri ini diperkirakan mencapai 244,7 juta jiwa dari total populasi 281,3 juta.

Jumlah penduduk muslim yang besar itu pada saat yang sama bisa menghadirkan kebanggaan sekaligus keprihatinan. Bangga, sebab hingga hari ini posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia masih belum tergantikan. Prihatin, karena di dalam negara dengan penduduk muslim terbesar itu kejahatan publik seperti korupsi menempati ranking tertinggi di Asia Tenggara bahkan termasuk negara-negara terkorup di dunia.

Lantas, di manakah peran Islam dalam urat nadi keberagamaan bangsa Indonesia sehingga nilai-nilai luhur yang dikandungnya tak lagi mampu menghadirkan kejujuran. Belum lagi nasib hukum negeri ini yang tidak kalah mengenaskan. Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran kerap kali berlaku tidak benar. 

Gila kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan seperti baju all size yang bisa dipakai oleh siapa pun yang menginginkan, tidak peduli potongan dan bentuk badannya.

Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tetapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan.

Jangan-jangan selama ini—kendati kita selalu menyanyikan ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”—hanya badan saja yang kita gemukkan. Jiwa kita keringkan. Daging saja yang kita cekoki berbagai makanan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan?

Renungan Kemerdekaan

Pada suasana kemerdekaan tahun ini, ada ruang refleksi setidaknya merenungi tindak laku maupun tutur kita yang telah kita perbuat. Memutar memori atas capaian-capaian yang sudah terwujud. Mengoreksi diri sambil menyusun agenda yang akan dijalankan di masa mendatang.

Delapan dekade perjalanan kemerdekaan bukanlah titik final, melainkan pintu gerbang menuju era baru yang akan membangun wajah Indonesia emas ke depan. Masa ini adalah momen penting yang akan menguji sejauh mana kepemimpinan berkomitmen, berani mengambil keputusan strategis, dan mampu menepati janji yang telah diikrarkan.

Pertanyaan besarnya, akankah negeri yang religius ini bergerak mantap menuju kejayaan, atau kembali terjebak dalam problem sosial keagamaan yang tak ada ujungnya? Rakyat telah menyerahkan amanah dengan penuh harapan. Kini giliran pemerintah membuktikan kepercayaan tersebut melalui aksi nyata yang konsisten, kepemimpinan yang berpijak pada nurani, serta upaya mengembalikan arah perjalanan bangsa sesuai cita-cita luhur para pendiri: mewujudkan Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.

Renungan atas kemerdekaan seharusnya tidak berhenti pada seremoni tahunan yang penuh simbol, melainkan diwujudkan dalam kerja nyata yang menyentuh persoalan sehari-hari rakyat. Kemerdekaan sejati baru terasa ketika setiap warga dapat hidup bermartabat, mendapatkan hak-hak dasarnya, serta terbebas dari ketidakadilan struktural yang selama ini membelenggu.

Selain itu, semangat kemerdekaan juga harus ditafsirkan ulang dalam konteks globalisasi dan perkembangan teknologi. Indonesia dituntut untuk tidak hanya menjaga kedaulatan politik, tetapi juga kemandirian ekonomi, pangan, energi, dan digital. Hanya dengan demikian cita-cita luhur kemerdekaan yang diwariskan para pendiri bangsa dapat diwujudkan menjadi kenyataan: Indonesia yang berdaya saing, sejahtera, dan dihormati di kancah dunia.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img