.
Saturday, December 14, 2024

Mewaspadai Kampanye Politik Instan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Hari-hari ini, suhu kampanye politik kian memanas. Semarak kampanye senyatanya menandakan keinginan untuk melakukan perubahan kepemimpinan nasional, perbaikan kebijakan pemerintah, dan peningkatan kesejahteraan nasib rakyat.

Banyak jurus dilancarkan untuk mengonstruksi kampanye politik dalam sebuah masyarakat demokratis seperti Indonesia. Satu metafor yang sering dimunculkan dalam kampanye politik, yaitu perang, selain beberapa metafor lainnya. Bangsa ini rupanya meman gemar sekali memproduksi berbagai kiasan sebagaimana dilukiskan para jurnalis dan politisi.

Sebagai perang, kampanye politik, baik secara langsung maupun lewat media massa, mempertontonkan peristiwa-peristiwa yang menegangkan, menyebalkan, menjengkelkan, menyedihkan, absurd, ironis, menghibur, kocak, dan bahkan konyol. Realitas semacam ini tentu tidak hanya berlangsung di Indonesia, namun di negara-negara lain terjadi hal serupa.

Ragam cara mereka lakukan, mulai dari sekadar share link berita sampai ikut berkomentar. Saling menjelekkan lawan atau memuji kandidat yang didukung adalah hal normal. Tetapi bukan berarti boleh menggunakan segala cara dengan membuat berita palsu dan isu-isu murahan. Semua harus sesuai fakta yang ada.

Tatkala seseorang berkomentar tentang sesuatu, pada saat yang sama ia sebenarnya sedang menunjukkan kebodohan dirinya sendiri. Orang lain yang lebih tahu tentang sesuatu yang dikomentarinya akan menahan tawanya membaca kebodohan yang dituliskan.

Tak dapat dielak, di balik perang kampanye politik antar pendukung kandidat ada keterlibatan jurnalis dan reporter media massa. Merekalah justru sebagai sumber utama peperangan antar kandidat politik. Bahkan para wartawan dan reporter dapat pula membantu memenangkan sebuah ‘peperangan’ dengan menyiarkan berita yang tujuannya meningkatkan citra seorang kandidat.

Hingga derajat tertentu media massa mampu mempengaruhi khalayak untuk mengambil keputusan akhir dalam memilih kandidat yang akan dipilih. Itu sebabnya, para tim sukses kampanye harus bersikap santun terhadap wartawan dan bahkan bekerjasama dengan mereka demi mengendalikan peliputan berita yang dapat mendukung agenda pemenangan.

Media massa juga sanggup merekayasa kandidat yang pernah tersangkut korupsi digambarkan sebagai pahlawan antikorupsi; yang semulanya tidak pernah dekat dengan kehidupan rakyat dapat disulap sebagai sosok penuh empati dan pro rakyat kecil.         Bahkan untuk meningkatkan daya impresif, foto kandidat dibayang-bayangi tokoh besar seolah identik dengan kharisma tokoh itu, meskipun sebenarnya ia tidak memiliki kedekatan imajinatif maupun ideologi dengannya.

Politik Instan

Kendati kampanye politik sering diilustrasikan sebagai perang, iklan politik harus tetap rasional, tidak jauh dari kenyataan, dan tak perlu menawarkan solusi-solusi instan seperti lazimnya iklan produk. Bagaimanapun, iklan politik biasanya berbentuk berita yang dihasilkan dari suatu peristiwa yang direkayasa, terutama oleh para wartawan yang berpihak kepada kandidat tertentu. Akhirnya, kesenjangan antara citra yang diproyeksikan dalam iklan dan perilaku kandidat yang sebenarnya, kerap berlawanan.

Dalam kampanye pemilu (pemilu) 2024 ini, perang antar kubu tampak berlangsung dalam berbagai aspek, terutama dalam taktik, wacana, dan penggunaan teknologi komunikasi. Perang wacana sering berupa kampanye sloganistik yang memuji diri-sendiri dengan sifat-sifat seperti “sedikit bicara banyak kerja”, “berani mati untuk negeri”, “kita bisa maju bersama rakyat” dan sejenisnya.

Perang wacana terkadang melibatkan kampanye negatif, yaitu dengan merendahkan kandidat lain dengan sebutan “sosok etis dan retorik”, “manusia emosional”, “anak baru gede”, “blimbing sayur” dan sebagainya.

Para calon presiden dan wakil presiden pun telah mengerahkan seluruh perangkat teknologi komunikasi yang dimiliki demi mendongkrak kredibilitas dan elektabilitas mereka, meskipun sebagian wartawan dan lembaga media sosial terlihat gamang untuk bekerja sama dengan kandidat atau partai politik tertentu. Karena berisiko tinggi seperti dijadikan bahan olokan kaum netizen negeri +62 yang terkenal ganas dan sadis.

Salah satu fakta yang tak terbantahkan bahwa warga Indonesia yang berpendidikan menengah-bawah cenderung berorientasi ideologi, sedang mereka yang berpendidikan lebih tinggi cenderung berorientasi pada perubahan masa depan.

Dengan kata lain, masyarakat negeri ini sudah cerdas dan melek politik sejak sekian pemilu merasa dibohongi dan dizalimi. Sebagian besar masyarakat kini tak mudah lagi dibujuk secara politik lewat janji-janji belaka.

Sayangnya, belum semua partai politik memahami realitas tersebut. Terbukti, dalam berbagai iklan kampanye yang ditonjolkan hanya foto, nama capres-cawapres, nomor urut atau jika itu adalah iklan calon legislatif disertakan foto tokoh partai di belakangnya. Sementara informasi visi misi, gagasan, atau program-program partai terabaikan. Toh dalam visualisasi politik, gambar adalah entitas yang cukup impresif dibanding kata-kata.

Pemilu merupakan salah satu momentum penting untuk menentukan masa depan bangsa. Maka, penting bagi semua pihak untuk bersama-sama menjaga agar pemilu berjalan dengan sportif, jujur, dan adil. Masyarakat pemilih diharapkan lebih waspada dalam mengonsumsi informasi yang didapat serta menyaring berita apapun seselektif mungkin agar tidak terjebak dengan isu-isu penuh hoaks yang begitu marak merebak.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img