spot_img
Friday, April 19, 2024
spot_img

Mewujudkan Masjid Ramah Disabilitas

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Mungkin ini adalah pemandangan lumrah di sekitar kita: ada orang sepuh atau dengan kelemahan anggota badan berjalan dengan tongkat, datang ke masjid ikut shalat berjamaah, tapi ia tampak terseok dan berhati-hati sekali masuk masjid karena akses masuk pintu masjid adalah beberapa anak tangga.

          Dan di dalam masjid, orang sepuh tersebut akan memilih tempat yang dekat jendela atau dekat dengan tiang, sehingga ia bisa bertumpu saat bangun dari ruku’ atau sujud. Mungkin saja itu adalah pilihannya sendiri atau memang tidak ada opsi kursi untuk shalatnya.

          Fenomena kurangnya keterjangkauan (accesibility) rumah ibadah bagi orang-orang dengan kelemahan fisik atau disabilitas masih belum menjadi perhatian banyak pengelola rumah ibadah. Para penyandang kelemahan atau disabilitas jadi mesti menyesuaikan mayoritas yang “normal.”

          Mungkin saja pengabaian tersebut bisa karena ketidaktahuan, atau memang para stakeholderterkait memilih untuk berfokus pada melayani kalangan mayoritas, yaitu yang mampu secara fisik. Sayangnya, hal tersebut merupakan sikap ableismsikap menilai semua orang mampu dan mesti mengikuti apa yang orang-orang “normal” lakukan.

Rumah Ibadah Fasilitas Publik

          Pasca meratifikasi CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), Indonesia telah mengamanatkan dalam UU No. 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas bahwa setiap penyandang disabilitas mesti terbebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan kesemena-menaan, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain.

          UU tersebut mengatur banyak sekali hak-hak dasar disabilitas dalam partisipasi publik. Salah satu hak yang diatur oleh UU tersebut adalah hak keagamaan. Dinyatakan secara eksplisit pada pasal 14: “memperoleh kemudahan akses dalam memanfaatkan tempat peribadatan;…”.

          Kita perlu bersepakat bahwa lumrahnya rumah ibadah adalah didirikan untuk umat atau komunitasnya, bukan untuk perseorangan. Institusionalisasi musala, masjid, atau gereja dan tempat ibadah agama lainnya menjadikan mereka mestinya asesibel bagi siapapun yang menjadi jemaahnya.

          Disabilitas sebagai bagian dari civil societyadalah kalangan yang kerap termarjinalisasi dalam urusan-urusan publik, baik secara langsung maupun dalam aspek penyediaan layanan yang asesibel bagi mereka.

Ajaran Agama yang Ramah Disabilitas

          Disabilitas dapat dilihat sebagai dua model: disabilitas sebagai problem medis – semata soal kecacatan saja, dan disabilitas sebagai problem sosial. Disabilitas sebagai problem medis dapat diselesaikan dengan tunjangan teknologi medis maupun digital yang sangat membantu masyarakat tunadaksa, tuli, maupun tunanetra.

          Alangkah demikian, meskipun peranti medis sudah sangat jauh lebih maju dibanding sekian dekade lalu, diskriminasi atau mungkin pengabaian terhadap disabilitas di masjid atau rumah ibadah lainnya adalah problem disabilitas sebagai problem sosial. Sebagaimana disinggung di atas, ada problem ableism atau “tuntutan atas normalitas” yang mesti diatur dalam pranata sosial yang inklusif terhadap disabilitas itu.

          Pranata sosial itu selain melalui perangkat hukum maupun undang-undang, dalam masyarakat muslim juga sangat memungkinkan terwujud lewat otoritas fikih, fatwa,atau dukungan ulama. Mengingat masyarakat muslim Indonesia memiliki kepatuhan, yang meskipun cukup dinamis, dengan para pemuka agama mereka, fatwa-fatwa non-diskriminatif amat diperlukan.

          Agama Islam sendiri mengajarkan untuk memerhatikan hak disabilitas secara setara. Kisah yang paling mudah dipahami dari Al Quran, adalah dalam asbabun nuzul surah ‘Abasa: Nabi Muhammad bermuka masam ketika kedatangan seorang sahabat tunanetra, yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum yang ingin turut berkumpul bersama Nabi. Allah langsung menegur sikap beliau yang “hanya” mengabaikan tunanetra tersebut.

          Di antara para kiai dan intelektual kiranya telah banyak yang berusaha memberi jalan keluar melalui bentuk dukungan fatwa atau penjelasan agama yang memadai pada disabilitas. Nahdlatul Ulama memiliki seperangkat fatwa disabilitas yang sebagiannya sudah dikompilasi dalam Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, dan Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa Fikih Difabel yang telah dibahas dalam Munas Tarjih ke-31 tahun 2020 lalu.

Dari Ajaran ke Penyediaan Akses

          Bicara kebutuhan penyandang disabilitas pada masjid atau rumah ibadah lainnya, selain adanya problem sosial dalam bentuk stigma dan diskriminasi yang mesti dihapuskan, juga memerhatikan beberapa hal. Arif Maftuhin dalam bukunya Masjid Ramah Difabel: Dari Fikih ke Praktik Aksesibilitasmenyatakan bahwa tempat ibadah yang aksesibel, setidaknya memiliki arsitektur, komunikasi, dan sikap komunitas yang tidak menghalangi anak-anak dan jemaah disabilitas untuk bisa sembahyang, belajar, dan memimpin jemaah.

          Setidaknya masjid sebagai fasilitas publik, perlu memperhatikan indikator aksesibilitas berikut: akses informasi dan komunikasi, akses dalam perjalanan menuju masjid, lingkungan dan bangunan di dalam masjid, perangkat yang asesibel untuk keperluan bersuci, serta fasilitas ibadah yang mendukung.

          Mungkin di antara contohnya: menyediakan akses masuk masjid yang berupa jalan sedikit melandai dibanding anak tangga, menyediakan kursi untuk jemaah yang tidak dapat sembahyang secara berdiri, bantuan pengayaan bahasa isyarat untuk para pengajar agama, handtraildi tempat wudhu dan kamar mandi, dan banyak lainnya. Tentu saja, hal ini hanya bisa dipahami dengan keberpihakan dan kehendak untuk mendengar kebutuhan para difabel.

          Pada akhirnya, kondisi cacat, sakit, ataupun disabilitas tidak menghalangi hak keagamaan seseorang. Dibutuhkan lebih dari sekadar apresiasi pada difabel, melainkan juga mesti ada dukungan sosial dan penyediaan akses yang berkeadilan. Semoga saja, dengan masjid yang lebih inklusif, lebih banyak lagi terwujud ruang publik yang demokratis lagi partisipatif.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img