Malang Posco Media – Sejak dimulainya era industri dari industri 1.0 pada abad 18 hingga industri 4.0 awal abad 21 telah banyak memberikan kemudahan dalam aktivitas kehidupan manusia. Misalnya ketika era indutri 1.0, Inggris mulai melakukan pengembangan mesin uap untuk memudahkan dalam meningkatkan produksi barang terutama bahan tekstil untuk pakaian ataupun produksi pangan di bidang pertanian.
Di tengah perkembangan tersebut sampai kita dipertemukan dengan dunia internet maupun kecerdasan buatan (artificial intelligence) di abad 21, terdapat sisi lain yang juga memunculkan kondisi yang berseberangan dengan fasilitas dan kemudahan yang ada, yakni kondisi lingkungan hidup menjadi lebih terancam. Salah satu masalah terbesar saat ini adalah pencemaran lingkungan akibat dari gas beracun seperti karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), nitrogen monoksida (NO), sulfur dioksida (SO2) dan juga akibat dari pencemaran logam-logam berat seperti timbal (Pb), cadmium (Cd), nikel (Ni), tembaga (Cu), arsen (As), merkuri (Hg) dll. Selain itu, polutan lain yang seringkali ada namun tanpa disadari adalah partikel mikroplastik yang berasal dari limbah plastik pada produk harian manusia.
Umumnya, plastik sering digunakan karena memiliki tingkat ketahan yang baik terhadap lingkungan. Akan tetapi plastik memiliki sifat non-biodegradable sehingga hanya dapat terurai melalui proses pelapukan, sinar-UV, fotodegradasi maupun gesekan-gesekan mekanis, yang akhirnya menghasilkan plastik dengan ukuran mikro atau yang sekarang kita sebut sebagai mikroplastik.
Mikroplastik merupakan salah satu polutan yang sedang menghantui kesehatan manusia. Limbah yang memiliki ukuran serat partikelnya kurang dari 5 mm ini seringkali hadir dalam bentuk yang tidak kasat mata dan umumnya terbagi menjadi beberapa jenis bahan kimia penyusun yang berbahaya bagi manusia. Mengutip Rakib, dkk (Mei, 2022) dalam jurnal Nature Scientific Reports bahwa umumnya plastik dapat dibuat dengan berbagai jenis polimer di antaranya adalah Polietilen (PE), polipropilen (PP), polistirena (PS), polivinilklorida (PVC), polietilen tereftalat (PET), dan resin poliuretan (PUR); dan serat poliester, poliamida dan akrilik (PP&A). Berbagai macam polimer berbahaya tersebut selalu digunakan sebagai bahan penyusun dalam produk konsumsi manusia sehari-hari seperti bahan komestik, cat, maupun di lingkungan industri rumah tangga.
Bahaya Mikroplastik
Baru-baru ini telah diketahui bagaimana mikroplastik sebenarnya telah masuk dalam makanan dan minuman kita. Tentu hal ini sebenarnya tidak mengagetkan kita, karena banyaknya produk penghasil mikroplastik sangat bertebaran di lingkungan sehari-hari. Sebut saja misalnya galon isi ulang, botol dan gelas berkemasan plastik; yang mana ketika berbenturan dengan benda lain atau terkena sinar matahari dalam proses distribusi sehingga dapat menyebabkan proses terbentuknya mikroplastik. Lebih jauh lagi misalnya pada beberapa sumur kota atau bahkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang masih menggunakan air sungai atau air sumur sebagai sumbernya, maka sangat besar kemungkinan bahwa limbah rumah tangga maupun sampah-sampah yang tidak terorganisir dengan baik dari lingkungan dapat membentuk endapan mikroplastik kemudian terakumulasi pada sumur maupun sungai yang akan digunakan sebagai air konsumsi masyarakat lewat PDAM.
Pada kasus yang lain, seperti yang ditulis oleh Cordova, dkk (2021) dalam jurnal Chemosphere bahwa Kota Jakarta dapat menghasilkan sampah organik dan plastik hingga 8000 ton per hari. Lebih lanjut pada jurnal Marine Pollution Bulletin, Purwiyanto, dkk (Januari, 2022) juga melaporkan bahwa endapan mikroplastik di atmosfer Kota Jakarta dapat terbentuk dengan laju pengendapan rata-rata 15 partikel pada setiap meter persegi di tiap satu detiknya dan dengan ukuran sekitar 300-500 µm. Sehingga akumulasi partikel mikroplastik baik dari udara maupun air sangat memungkinkan untuk terjadi. Dan tentu hal serupa juga sangat mungkin terjadi di berbagai daerah lainnya seperti Bandung, Bogor, Surabaya, Sidoarjo, dan Malang.
Penyebaran mikroplastik sudah sangat mengancam keberlangsungan hidup ekosistem yang ada, baik di lautan maupun di darat dan bahkan juga manusia sendiri. Sebab polutan mikroplastik memiliki potensi toksisitas yang sangat tinggi sehingga dapat mempengaruhi sistem metabolisme dalam tubuh makhluk hidup. Sebagai contoh kecil, Riani dan Cordova dalam jurnal Marine Pollution Bulletin (Februari, 2022) melaporkan bahwa sedimen dan ikan pasir di Lampung dan Sumbawa telah terkontaminasi oleh polutan mikroplastik sebanyak 89%. Sehingga dari sini, ikan-ikan yang hidup di laut dan mungkin yang kita konsumsi sehari-hari juga telah terkontaminasi oleh mikroplastik.
Maka dari itu, bukan tidak mungkin lagi keberadaan polutan mikroplastik tidak hanya mengancam ekosistem darat maupun laut, akan tetapi juga dapat mengancam keberlangsungan kehidupan manusia itu sendiri. Sebagaimana dilansir dari Jawapos.com (28/3/2022) bahwa sekitar 17 dari 22 orang pendonor terdeteksi mikroplastik dalam darah mereka. Hal serupa dituliskan oleh Damian Carrington pada kolom The Guardian (6/4/2022) bahwa 11 dari 13 orang yang menjalani operasi ditemukan mikroplastik di dalam paru-parunya. Dan yang menjadi poin besarnya adalah ternyata sumber partikel mikroplastik yang sering ditemukan itu adalah plastik kemasan sekali pakai.
Titik Balik
Keadaan yang mengkhawatirkan ini sudah seharusnya kita cari solusinya. Lingkungan tidak bisa dibiarkan terus dicemari oleh polutan tak kasat mata seperti mikroplastik ini. Tentu segala lini harus sama-sama bergerak secara kolektif, baik pemerintah maupun masyarakat biasa.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan mungkin dapat menerbitkan aturan yang dapat membatasi penggunaan plastik sekali pakai. Kemudian pemerintah juga harus melakukan pengontrolan secara rutin terhadap industri-industri yang memproduksi plastik maupun industri yang memiliki bahan penyusun yang sama dengan plastik seperti pada industri pakaian. Sehingga dengan itu, laju persebaran distribusi barang berbahan plastik dan tekstil dapat dipetakan dengan baik.
Di sisi lain, sebagai masyarakat umum tentunya harus meningkatkan kesadaran dalam menggunakan plastik terutama pada plastik kemasan sekali pakai. Bahkan seharusnya sudah bisa dimulai dengan beralih kepada produk-produk yang berbahan dasar organik, yang pada saat selesai penggunaan dapat dilakukan pengomposan dengan mudah. Selain itu, juga tidak untuk saling mengingatkan dan mengedukasi di antara sesama masyarakat untuk menerapakan konsep daur ulang sampah (Reuse, Reduce, dan Recycle) maupun dengan gerakan menanam pohon atau tumbuhan hijau sekitar halaman rumah masing-masing. Dengan ini, paling tidak kita bisa meminimalisir sebaran polutan berupa mikroplastik di lingkungan kita masing-masing. (*)