MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Rahmah Dwi Nor Wita Imtikhanah, S.Pd, M.Sc. Kepala Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 22 Kota Malang membawa visi yang melampaui sekadar kegiatan belajar-mengajar.
Baginya, sekolah ini bukan lembaga amal, melainkan sebuah lokomotif pemberdayaan untuk transformasi finansial dan sosial bagi anak-anak yang termarjinalkan. Ia ingin sekolah ini menjadi sekolah yang humanis.
Hal tersebut disampaikan oleh Wita, sapaan akrabnya. Kamis, (14/8) saat ditemui di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Jawa Timur Malang. Menurutnya, visi humanis yang diusung sederhana namun mendalam, yakni membuat 75 siswa angkatan pertama merasa nyaman, dihargai, dan dimanusiakan.
“Bahwa mereka juga berhak untuk bersekolah, mengenyam pendidikan, berhak untuk hidup, dan berhak untuk sukses,” ujarnya. Sebelum di SRMA 22 ini, Wita mengajar di SMA Negeri 5 Malang. Untuk pengalaman, ia lama berkecimpung di dunia kesiswaan.
Selain itu, ia juga mengambil master di bidang sosial pendidikan. Dua hal itu sedikit banyak membantu untuk membentuk pola pikir mengenai pendidikan di sekolah rakyat.
SRMA 22 Malang, yang gedungnya dibangun oleh Kementerian PUPR adalah program baru yang menyasar anak-anak dengan latar belakang khusus. Wita menjelaskan, tantangan terbesarnya adalah tidak adanya model peran (role model) yang bisa dijadikan acuan.
“Ini berbeda dengan SMK, berbeda dengan sekolah biasa, berbeda dengan sekolah asrama. Yang kita hadapi adalah anak-anak spesial yang membutuhkan kasih sayang lebih,” imbuhnya.
Meski demikian, mantan pengajar di SMA Negeri 5 Malang ini tidak gentar. Ia percaya pada soliditas tim pengajar yang telah melalui seleksi ketat oleh Kementerian Sosial, di mana empati menjadi kriteria utama.
Berbekal latar belakang pendidikan magister di bidang sosial pendidikan dan pengalaman panjang di dunia kesiswaan, Wita menolak model sekolah yang bersifat top-down. Ia mengusung konsep pendidikan partisipatif, di mana program sekolah dirancang berdasarkan aspirasi dan kebutuhan siswa.
“Kalau ditanya apa ekstrakurikulernya di SRMA 22 ini, saya belum bisa menjawab. Saya akan meminta anak-anak dulu, mereka mau apa. Program akan kita adakan sesuai keinginan mereka,” imbuhnya.
Lebih jauh, Wita memimpikan SRMA 22 sebagai sekolah yang transformatif. Transformasi yang dimaksud memiliki dua pilar utama. Pertama, transformasi ekonomi. Para siswa dididik untuk memiliki keterampilan yang dapat mengangkat derajat finansial keluarga mereka.
Kedua, transformasi sosial. Dengan naiknya status ekonomi, diharapkan status sosial para siswa dan keluarganya di tengah masyarakat juga ikut terangkat. “Bagaimana mereka bisa merubah nasib keluarganya menjadi lebih baik,” pungkasnya.(hud/lim).