Rizki Izzah Naditasari, S.Pd, Guru Muda Bertalenta di SRMA 22 Malang
Di antara sejumlah tenaga pendidik terpilih di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 22 Malang, nama Rizki Izzah Naditasari, S.Pd mencuat dengan kisah perjalanan yang tak biasa. Ia membekali diri dan punya misi besar selama menjadi guru SRMA.
MALANG POSCO MEDIA – Usianya masih muda. Yakni 26 tahun. Namun perjuangan dan dedikasinya selain menjadi model dan penari, mengajar di SRMA 22 yang beralamat di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Jawa Timur, Jalan Kawi Kota Malang ini, bukan sekadar pilihan karier. Melainkan panggilan jiwa yang berlabuh setelah menempuh jalan panjang penuh rintangan.
Perjalanan Izzah dimulai pada tahun 2016, saat ia memutuskan merantau dari Bondowoso ke Kota Malang untuk mengejar gelar S1 Pendidikan Seni Tari dan Musik. Namun, semangatnya untuk berbagi ilmu tak bisa menunggu ijazah. Sebelum resmi menjadi guru, ia sudah mengasah bakat puluhan siswa sebagai pelatih ekstrakurikuler tari di 13 lembaga pendidikan. Mulai dari TK hingga universitas.
“Waktu itu, pagi sampai sore saya mondar-mandir antar sekolah. Kadang di TK mengajak anak-anak bermain gerak, siangnya ke SMP ngajar tari tradisional, malamnya latihan dengan mahasiswa,” uajar Izzah kepada Malang Posco Media, Minggu, (20/7) kemarin.
Di balik kesibukannya mengajar, Izzah juga mengeksplorasi dunia kreatif yang lain seperti freelance makeup artist dan model. Ia kerap terlibat dalam berbagai sesi foto, acara, hingga proyek kecantikan.
Dunia rias dan modeling menjadi ruang baginya untuk mengekspresikan diri secara bebas. Ini sekaligus melatih keterampilan interpersonal yang sangat membantunya saat mengajar.
“Bagi saya, seni itu luas. Lewat makeup dan modeling, saya belajar kepercayaan diri, estetika, bahkan manajemen waktu. Dan itu semua akhirnya memperkaya cara saya mengajar di kelas,” ujarnya sambil tersenyum.
Izzah bercerita, saat itu ia merupakan guru honorer, sebagai perantauan tak cukup menopang kebutuhan. Dengan tekad kuat dan tahan banting, Izzah merambah dunia kreatif sebagai freelance model dan makeup artist. Filosofinya sederhana, yakni Kejar karir oke, kejar pendidikan juga harus oke.
“Saya percaya, mengejar karir dan pendidikan harus seimbang. Saat mengajar, saya juga mengambil Program Profesi Guru (PPG) pada 2023,” ujarnya.
Ketika kabar tentang rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk SRMA 22 Malang beredar, ia langsung tergerak dan lolos.
Selain itu, visi SRMA memberikan akses pendidikan berkualitas bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera sejalan dengan prinsip hidupnya.
“Saya ingin berkontribusi lebih dari sekadar mengajar. Di sini, kami membentuk generasi yang tak hanya pintar, tapi juga mandiri,” tuturnya.
Sebagai guru Seni dan Budaya, Izzah punya misi khusus. Yakni menjadikan tari sebagai media pemberdayaan. Ia mengajar dengan memadukan teknik tari tradisional dengan nilai-nilai kearifan lokal, seperti gotong royong dan ketekunan.
“Seni bukan hanya gerak estetis. Melalui tari, siswa bisa mengeksplorasi identitas, belajar kerja sama, dan menemukan kepercayaan diri,” imbuhnya.
Bagi Izzah, setiap gerakan tari yang diajarkannya merupakan simbol perjuangan. Harapannya, keterampilan seni yang diajarkan bisa menjadi bekal siswa untuk berkarya secara mandiri, bahkan menciptakan lapangan kerja.
“Saya ingin siswa paham bahwa seperti menari, hidup butuh disiplin dan konsistensi. Mereka harus yakin bahwa kemiskinan bukan takdir,” tegasnya.
Dedikasinya tak berhenti di kelas. Kedepan Izzah ingin lebih aktif mendorong siswa tampil di acara komunitas, mengasah kepercayaan diri sekaligus membangun jaringan.
“Suatu hari, saya ingin lihat mereka menjadi agen perubahan di lingkungannya, menginspirasi orang lain untuk bangkit,” ucapnya.
Meski SRMA 22 masih dalam tahap awal, ia optimistis program ini akan menjadi pemutus siklus kemiskinan yang efektif. Menurutnya, pendidikan dan seni bisa menjadi peran untuk lebih berkembang lagi, seperti tarian yang ia ajarkan. Hidup adalah rangkaian gerak dinamis antara mengasah diri, berbagi ilmu, dan terus melangkah, meski di atas jalan terjal.
Dia berharap, semoga semakin banyak siswa yang terbantu, dan bisa memberikan yang terbaik
“Kemiskinan bukan akhir cerita. Setiap anak berhak menari dalam panggung kehidupan yang lebih baik,” pungkasnya. (hud/van)