MALANG POSCO MEDIA- Putusan MK terkait uji materil Pasal 169 huruf q UU Tahun 2017tentang Pemilu terkait batas usia minimal capres dan cawapres dianggap kontradiktif. Tidak hanya itu, dikhawatirkan implikasinya menimbulkan multitafsir.
Pendapat tersebut disampaikan analis Politik dan Tata Hukum Negara Universitas Negeri Malang (UM) Dr Nuruddin Hadi.
Meskipun batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun, tetapi putusan MK juga menyatakan kandidat dibawah usia 40 tahun tapi berpengalaman mengemban jabatan yang dipilih lewat pemilu, termasuk kepala daerah boleh diusung secagai capres maupun cawapres.
“Ini kontradiktif. Pertama dia menolak gugatan soal batas usia capres-cawapres, tetap minimal 40 tahun tetapi kemudian yang pernah menduduki jabatan kepala daerah boleh. Secara substansi itu kontradiktif,” beber Nuruddin.
Ia memandang secara hukum ketatanegaraan, putusan MK ini membingungkan dan ambigu. Karena apa yang dibahas awal substansinya adalah syarat batas minimal pencalonan. Yang di awal ditolak akan tetapi memiliki tambahan.
Dimana pada isu yang beredar, tokoh seperti Gibran Rakabuming Raka kemudian memenuhi syarat untuk dicalonkan.
“MK harusnya konsisten di putusan nomor 90 menolak (soal batasan usia minimal 40 tahun) tapi di no 91 justru diterima. MK menambah, usia minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah. Ini kami di tata hukum negara juga dibuat bingung dan menimbulkan perdebatan,” jelasnya.
Implikasi yang bisa terjadi adalah multitafsir. Di sini, KPU RI nanti yang bisa memegang peran. Jika KPU menafisirkan batas usia minimal 40 tahun, lanjut Nuruddin maka yang berusia belum 40 tahun dicalonkan bisa gugur.
Tidak hanya itu partai-partai politik pun akan dibuat gusar saat ini. Dikarenakan takut mengambil langkah akibat putusan MK yang ambigu tersebut.
“Efeknya adalah penafsiran nanti. Jika KPU punya tafsiran berbeda akan repot. Apa mampu nanti KPU menafsirkan putusan MK ini? Karena putusan itu kontradiktif dengan substansinya untuk bahas batas usia capres-cawapres,” kata mantan anggota Bawaslu dan KPU Kota Malang ini.
Ia juga khawatir akan opini publik terhadap MK kedepan. Opini sudah beredar bahwa MK digunakan sebagai “alat politik” bagi sebagian kalangan untuk kepentingan sendiri. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kepercayaan publik termasuk kepercayaan akan poltik di Indonesia. (ica/van)