spot_img
Tuesday, May 6, 2025
spot_img

MK Mendadak Berubah, Hakim Konstitusi Nilai Sikap Paman Gibran Aneh

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Jalan Mulus Anak Jokowi Masuk Bursa Cawapres

MALANG POSCO MEDIA-Mahkamah Konstitusi (MK) jadi sorotan. Itu setelah memutuskan kepala daerah bisa menjadi capres-cawapres 2024 meski belum berusia 40 tahun. Keputusan ini dianggap jadi karpet merah Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang juga putra Presiden Jokowi masuk bursa cawapres.

Hakim Konstitusi Saldi Isra salah satu yang menganggap keputusan MK aneh. Dia membeber sikap  MK  berubah ketika Ketua MK Anwar Usman menghadiri Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Untuk diketahui, Anwar merupakan paman dari  Gibran Rakabuming Raka.

-Advertisement-

Isra membeber RPH memutus perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023  pada 19 September 2023 lalu dihadiri dirinya dan sejumlah Hakim Konstitusi. Yakni Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, dan M Guntur Hamzah. Saat itu  Ketua MK Anwar Usman tidak hadir.

 Hasil dari RPH saat itu putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 ditolak. Lalu tetap memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang.

Kemudian, pembahasan putusan perkara 90-91/PUU-XXI/2023 dihadiri sembilan hakim konstitusi, termasuk Anwar Usman.

Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi salah satu hakim yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Ketika menyampaikan poin-poin pendapat berbeda, Saldi mengakui aneh luar biasa. Ia menyebut putusan tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar. Dia mengklaim MK  berubah pendirian dalam sekejap.

“Sejak saya menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” kata Saldi di Gedung MK RI, Jakarta, Senin (16/10) kemarin.

MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh perseorangan bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.

Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Sementara itu, MK menolak gugatan uji materi Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.

Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda (Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023) dan sejumlah kepala daerah (Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023) yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.

“Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023, mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” kata dia.

Saldi kembali membeber, mahkamah memang pernah berubah pendirian dalam memutus suatu perkara. Namun tidak pernah terjadi secepat ketika memutus Perkara Nomor 90 yang diklaimnya terjadi dalam hitungan hari.

Perubahan itu, kata dia, tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya. Namun juga didasarkan pada argumentasi yang kuat setelah mendapat fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.

“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” ucap dia.

Sementara itu Wakil Ketua MPR RI Dr Ahmad Basarah  SH  MH mengungkapkan putusan  yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman bertentangan dengan sikap enam Hakim MK atau Hakim Konstitusi.

Menurut Basarah, MK memutuskan perkara kontroversial yang lebih nampak aspek politiknya ketimbang aspek hukum konstitusi. Yakni mengenai pengujian ketentuan syarat umur capres dan cawapres yang diatur UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Dia mengatakan  bila dicermati secara detail putusan tersebut, maka terdapat persoalan mendasar. Persoalan tersebut berkaitan dengan amar putusan.

Bahwa amar putusan MK yaitu berusia paling rendah 40  tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

 Terhadap amar putusan tersebut, empat  Hakim Konstitusi  menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Mereka  menolak permohonan tersebut. Empat Hakim Konstitusi yang menolak yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo.

Selain itu, terdapat dua  Hakim Konstitusi yang oleh putusan disebut memiliki concurring opinion atau alasan berbeda. Yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh. (ntr/sua/van)

-Advertisement-.

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img