spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

Modernitas: Kesepian dalam Keramaian

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Silvia Ramadhani
Mahasiswa Magister Sosiologi
Universitas Muhammadiyah Malang

          Teknologi menjadi aktor utama dalam perkembangan dunia dalam berbagai sisi akhir-akhir ini. Keberadaanya membuat kita terus berlomba bahkan dengan bayangan. Bagaimana tidak, dewasa ini begitu banyak manusia yang gagal mengenali dirinya lantaran ingin terlihat sama seperti “yang seharusnya.” Suatu pencapaian yang muncul dengan kesepakatan bersama. Anak zaman sekarang identik menyebutnya dengan FOMO.

          FOMO atau Fear of Missing Out adalah rasa tidak nyaman hingga stres yang dirasakan oleh seseorang ketika jauh dari media sosial. Hal ini lekat dengan generasi Z, Alpha, juga generasi milenial bahkan sebagian generasi baby boomers. Perasaan takut tertinggal dari hal-hal terbaru, membuat generasi digital yang akrab dengan media sosial harus selalu dekat dengan smarthphone mereka.

          Fenomena yang terjadi ini, tampaknya telah lama disampaikan Anthony Giddens saat mengkritisi  modernitas. Ia menyampaikan bahwasannya dunia modern membawa serta “pengucilan pengalaman”, yakni proses seseorang melakukan penyembunyian, yang memisahkan kehidupan sehari-hari dari fenomena. Pengecualian ini memberikan rasa aman dalam kenyataan, namun di sisi lain menciptakan ruang “hampa tersendiri.”

          Hal yang terjadi kemudian adalah sulitnya seseorang menerima dirinya saat menjadi berbeda dengan orang lain. Hal ini ditegaskan Giddens pula, bahwa modernitas telah memunculkan ancaman besar berupa kehampaan makna pribadi. Tak heran jika semakin hari, semakin banyak orang yang merasa “kesepian.” Padahal berbagai hiruk pikuk sosial di sekitarnya seperti tidak pernah berhenti. Utamanya di media sosial. Tak pelak, teknologi kembali menjadi kambing hitam.

          Meski diklaim mempermudah hidup manusia, nyatanya teknologi tak lagi dianggap sebagai “penolong”, tapi justru aktor utama dalam menyelesaikan berbagai tanggungjaawab dalam hidup. Lihat saja bagaimana seluruh aspek pekerjaan manusia diambil alih. Mulai dari tugas sederhana ibu untuk membangunkan tidur anak, sekretaris pribadi yang mengingatkan berbagai agenda, hingga tukang cuci baju. Jika disebutkan satu persatu, tentu hampir semua aspek tak lepas dari teknologi.

Semakin Ramai Semakin Kesepian

          Di dunia modern, isu kesehatan mental semakin ramai dibicarakan. Ironis, saat hingar bingar dunia ada di genggaman, pada saat yang sama justru banyak individu merasa kesepian. Tak pelak, beragam kasus bunuh diri terjadi pada sosok yang tengah dalam usia produktif di mana akses terhadap berbagai kemudahan terbuka lebar. Kerlap-kerlip dunia tak lagi jadi barang yang istimewa, namun kenyataannya bagi banyak ekspektasi yang terlalu tinggi, semuanya justru terasa menyiksa.

          “Keramaian” di dunia maya, perdebatan yang tak pernah berhenti hingga kesempatan untuk saling menghakimi seperti arus sungai yang begitu mudahnya mencari jalan. Sayang, tak semua menemukan cela. Beberapa di antaranya hanya terbentur lelah. Silau akan gemerlap, yang ternyata hanya dekorasi semata. Bukan hanya rumput tetangga yang terlihat hijau, hampir semua rumput orang dipandang sejuk dan subur. Padahal, boleh jadi di antaranya adalah rumput sintetis yang fungsinya hanya sebagai penghias semata.

          Kesialuan dalam dunia modern ini, yang lalu menjadi asal mula munculnya banyak hal yang tak seharusnya. Giddens menyampaikan salah satunya terdapat dalam hubungan murni, di mana situasi ketika agar tetap bertahan hidup, relasi sosial dimasuki oleh hal-hal yang dapat diambil dari masing-masing orang dari kedekatan terus-menerus dengan orang lain, dan yang akan terus dipertahankan jika kedekatan tersebut dipandang kedua belah pihak mampu memberikan kepuasan yang cukup untuk mereka dapat bertahan di dalamnya.

          Dalam dunia modern, sangat sulit menjalin hubungan tanpa simbiosis mutualisme. Setiap orang “bertukar” kebaikan dengan yang lainnya, atau lebih tepat dapat dikatakan bertukar “keuntungan.” Dalam hubungan murni tersebut juga, keintiman ditandai dengan komunikasi emosional dengan diri sendiri dan orang lain dalam konteks kesetaraan seksual dan emosional. Keintiman seperti ini, mengarah pada demokratisiasi bukan hanya pada hubungan antar-pribadi secara umum, namun juga tatanan  makro-institusional.

          Sayangnya, seiring berjalannya modernitas yang terus semakin cepat, hubungan intim dalam masyarakat tersebut dilakukan dalam konteks terlepas dari isu etika dan norma yang lebih besar. Banyak hal kemudian terjadi di luar “nilai-nilai” dalam masyarakat yang semakin memudar.

          Hal yang sungguh disayangkan, karena nilai-nilai ini tak hanya mengikis “budaya baik” yang hidup sebelumnya, tapi juga menghadirkan “normalisasi salah” terhadap kejahatan-kejahatan pribadi maupun bersama di masayarakat.

Menjadi Tradisional Kembali

          Mengimbangi berbagai gempuran dan tekanan dalam modernisasi, “menjadi tradisional kembali” tampaknya dapat menjadi salah satu “opsi.” Menjadi tradisional kembali dalam arti mencoba menelusuri dan memaknai, juga bisa jadi menjalani kembali hal-hal yang telah lama ditinggalkan dan tergantikan oleh teknologi.

          Misalnya saja, memainkan permainan tradisional engklek atau engkel untuk menggantikan smartphone. Engkel, mengajarkan kita tentang kemampuan bersabar menunggu antrean, melihat kekuatan dan kelemahan lawan, mengatur keseimbangan, hingga investasi untuk masa depan yang memudahkan (di akhir permainan, bagi yang telah menyelesaikan putaran, berhak memilih sawah atau kotak yang akan jadi milknya dan tidak boleh diinjak lawan. Di kotak ini, sang pemilik bisa menapakkan kedua kaki).

          Menjadi tradisional kembali, juga bisa dengan mengistirahatkan smartphone. Pergi ke rumah saudara yang jauh dari jangkauan sinyal, makan masakan desa, berkumpul dan berbincaang bersama di teras rumah, hingga pergi ke pusat kota menggunakan angkutan umum seperti becak hingga angkot. Rangkaian kegiatan yang mengajarkan banyak hal tentang kebersamaan, cinta kasih, dan juga perjuangan orang lain yang tengah berkorban untuk keluarganya.

          Menjadi tradisional kembali, bisa dilakukan sesekali untuk memecah jemu di antara medernitas. Menumbuhkan kembali semangat, dan tentu saja menghapus kesepian. Menjadi tradisional kembali, sesekali, memberikan arti kepada diri sendiri, bahwa hidup sesungguhnya tak redup.      Cahaya terang banyak di depan sana, namun sayangnya “nafsu untuk menjadi lebih baik yang tidak terencana”, kerap menjadi boomerang yang membawa bencana.

          Mari merangkul modernitas dengan tetap menegaskan batas. Hidup akan lebih berarti, jika kita mau sesekali kembali melihat apa yang sesungguhnya menjadi cita-cita hati nurani.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img