Usia mudanya, Mohammad Saleh bertaruh nyawa untuk bangsa. Saleh muda bergerilya selama dua tahun di Gunung Banyak Kota Batu. Kini usianya 97 tahun. Mantan anggota TRIP ini masih ingat masa-masa menjadi gerilyawan.
=======
MALANG POSCO MEDIA – Selang dua tahun mempertahankan kemerdekaan RI, Belanda atas dukungan Inggris kembali lagi berusaha menduduki Indonesia. Yakni pada 21 Juli 1947 lewat Agresi Militer Belanda.
Saat itu operasi militer Belanda dilakukan di Jawa dan Sumatra. Termasuk di Kota Batu juga menjadi sasaran Belanda dalam Agresi Militer Belanda yang berlangsung selama 1947 sampai 1949.
Mohammad Saleh (97) salah seorang veteran yang menjadi saksi hidup Agresi Militer Belanda selama 2 tahun di Kota Batu. Saleh bahkan ikut bertempur melawan pasukan Belanda di Kota Batu selama dua tahun.
Saat ditemui Malang Posco Media dirumahnya, Perum Batu Permai, Kelurahan Temas, Kota Batu, Saleh menceritakan sejarah perjuangan tentang Agresi Belanda di wilayah Kota Batu. Saat itu, ia berusia 20 tahun. Saleh tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP).
“Saya bergabung dengan TRIP. Saat itu masih sekolah jurusan teknik di Surabaya. Saya bergabung TRIP karena Belanda melakukan agresi kembali ke Indonesia tahun 1947,” cerita Saleh kepada Malang Posco Media.
Agresi Belanda ke Indonesia saat itu, salah satunya di Surabaya. Akibat agresi yang dibantu oleh Inggris di Surabaya tersebut, akhirnya tentara dipukul mundur. Sehingga hampir di setiap daerah di Jawa Timur seluruh tentara mencari tempat persembunyian.
“Termasuk saya yang bergabung di TRIP ikut bersembunyi di Gunung Banyak. Saat ini Gunung Banyak dikenal dengan Paralayang,” kenang Veteran yang menerima penghargaan Tanda Jada Pahlawan oleh Presiden RI Soekarno pada 17 November 1960 ini.
Ia mengingat tentara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia menggunakan senjata hasil rampasan dari Jepang yang menjajah Indonesia selama 3,5 tahun. Tepatnya sejak 1942 hingga 1945.
Jepang angkat kaki dari Indonesia karena pada bulan Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di dua kota Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Sehingga kesempatan tersebut membuat para founding father merencanakan Kemerdekaan RI.
“Saat itu TRIP dan tentara tepatnya pasukan Brawijaya waktu perang gerilya menggunakan senjata Jepang. Kami membuat pertahanan dan bertahan di Gunung Banyak,” bebernya.
Sewaktu perang gerilya melawan pasukan Belanda, Saleh dan para tentara biasanya menyerang saat malam hari. Penyerangan dilakukan di tempat pertahanan Belanda yang berlokasi di Jambe Dawe yang saat ini merupakan El Hotel Kartika Wijaya.
“Kami menyerang saat malam hari karena kami kalah persenjataan dan jumlah pasukan. Untuk senjata miliki Jepang yang kami rampas harus di kokang dulu sebelum menembak. Sedangkan milik Belanda sudah senjata otomatis,” kenangnya.
Sedangkan jumlah pasukan juga kalah banyak. Untuk tentara hanya ada satu kompi atau sekitar 100 orang. Sementara dari TRIP hanya 15 orang.
“Kalau TRIP dulu bergantian. Saya seminggu ikut gerilya di Gunung Banyak. Kemudian seminggu lagi pulang belajar diganti dengan TRIP lainnya,” ungkap bapak delapan anak ini.
Perang gerilya yang diikuti Saleh dilakukan selama dua tahun. Beruntung dia bersama rekan-rekannya yang ikut gerilya di Gunung Banyak selamat.
Berbeda dengan TRIP yang ikut gerilya di Kota Malang. Diungkap veteran kelahiran 16 Juli 1927 ini, banyak TRIP yang ikut gerilya di Kota Malang harus gugur saat baku tembak dengan Belanda.
Empat tahun setelah proklamasi, akhirnya Belanda mengakui dan sepenuhnya menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia. Tepatnya 27 Desember 1949, dilaksanakan upacara penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.
“Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) kepada Republik Indonesia Serikat di tahun 1949,” terangnya.
Dari hasil KMB di antaranya RIS dan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia-Belanda. Termasuk dengan permasalahan Irian Barat (Papua) akan dirundingkan satu tahun setelah pengakuan RIS.
“Setelah perang gerilya selesai itulah saya kembali sekolah. Kemudian saya masuk AURI tahun 1950. Karena orang teknik, bisa diterima Angkatan Udara bagian teknik penerbangan (montir),” paparnya.
Disekolahkan teknik udara ia memulai karir dengan pangkat sersan. Saat itu Saleh menjadi staf di Markas AURI di Perak Surabaya. Ia tergabung dengan AURI selama 25 tahun dengan pangkat terakhir pembantu letnan satu (Peltu).
“Setelah 25 tahun di AURI saya minta berhenti atau pensiun tepat di tahun 1975. Semua yang pensiun dari AURI dan tidak punya rumah diberi di Translok, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu,” ungkap Saleh.
Hingga saat ini rumah yang ditempati Saleh masih tetap ada. Namun Saleh memilih ikut anaknya yang berada di Kelurahan Temas karena usinya yang sudah senja. (eri/van)