Demonstrasi berujung kericuhan dan situasi tak terkendali yang terjadi di banyak daerah beberapa waktu lalu harus menjadi momentum untuk memperbaiki relasi antara negara dan rakyatnya. Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Ada beragam persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang terakumulasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita hingga akhirnya meletus menjadi ekspresi perlawanan.
Sejatinya fenomena demonstrasi besar-besaran yang meluas di berbagai daerah itu bukan sekadar ekspresi spontan rakyat. Hal ini adalah akumulasi kekecewaan dan rasa frustrasi yang lama terpendam. Seperti gunung berapi terus ditekan, pada akhirnya magma keresahan meledak. Hal yang sama terjadi ketika pengibaran bendera One Piece menjadi viral beberapa waktu lalu. Fenomena itu perlu dibaca sebagai bentuk ekspresi keresahan kolektif terhadap berbagai situasi kebangsaan. Ia tidak lahir dari ruang hampa, ada akumulasi perasaan frustrasi, kejenuhan, pesimisme, bahkan sinisme publik terhadap kondisi bangsa yang penuh banyak masalah.
Dalam kacamata teori sosial-politik, situasi ini dapat dibaca melalui konsep “anomie” yang diperkenalkan Émile Durkheim. Anomie adalah suatu keadaan ketika norma-norma sosial kehilangan pegangan, masyarakat berada dalam kebingungan arah, dan ikatan kepercayaan terhadap institusi runtuh.
Rakyat menjadi terasing, sebab mereka tidak cukup punya ruang untuk mengartikulasikan keresahannya. Karena itu, chaos harus dibaca bukan sekadar soal kericuhan fisik, tetapi juga cermin dari krisis legitimasi terhadap organ-organ negara.
Jika ditarik lebih jauh, keadaan ini seperti yang digambarkan Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan. Hobbes pernah menggambarkan kondisi state of nature sebagai situasi ketika tidak ada otoritas yang dipercaya, maka manusia menjadi serigala bagi sesamanya, manusia melawan manusia, homo homini lupus.
Apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini memang bukan berarti bahwa negara runtuh sepenuhnya, namun kepercayaan terhadap negara semakin tergerus. Ketika kepercayaan rakyat pada pemerintah dan penyelenggara negara lainnya semakin tergerus, maka jalanan menjadi arena perebutan makna kekuasaan.
Ironisnya, pemerintah justru merespons gelombang demonstrasi dengan cara lama. Mulai dari pengerahan aparat TNI dan Polri dan penutupan beberapa akses media sosial. Padahal, Michel Foucault sudah mengingatkan bahwa kekuasaan bukan hanya menindas, tetapi juga memproduksi resistensi. Semakin keras negara menekan, semakin keras pula perlawanan yang muncul. Inilah yang menjelaskan kenapa demonstrasi yang awalnya damai bisa berubah menjadi anarkis.
Menyalahkan rakyat semata tentu tidak adil. Mereka datang dengan tuntutan keadilan sosial, penolakan terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak, kritik terhadap sikap penyelenggara negara yang nirempati, serta keinginan agar suara mereka didengar. Maka jalan raya menjadi ruang publik terakhir untuk bersuara, ketika kanal-kanal demokrasi formal mandek, parlemen tidak mewakili, partai politik sibuk dengan kepentingan elit, dan media arus utama penuh framing kepentingan penguasa.
Pertanyaannya, bagaimana agar peristiwa seperti itu tidak terulang lagi di masa mendatang? Sebab, peristiwa itu menggambarkan seakan Indonesia tengah menulis ulang babak sejarahnya, seperti yang pernah terjadi tahun 1998, tentu dengan situasi dan kondisi yang berbeda.
Pertama, pemerintah harus mengakui bahwa ada masalah serius di negeri ini. Akar persoalannya adalah ketidakadilan ekonomi, ketimpangan sosial, hingga kebijakan yang mengabaikan aspirasi rakyat. Pemerintah harus bekerja keras untuk memperbaiki hal itu.
Kedua, demokrasi sejati tidak hanya berhenti pada kotak suara lima tahunan, tetapi juga hidup dalam perjumpaan sehari-hari antara negara dan rakyatnya. Pemerintah harus membuka mata dan telinga. Jika rakyat bicara dengan teriakan, itu artinya suara mereka tak pernah benar-benar didengar. Dibutuhkan ruang dialog lintas elemen untuk duduk bersama memikirkan penyelesaian masalah.
Ketiga, elite politik harus sadar dan berhenti bermain-main dengan kekuasaan dan rakyat. Di saat rakyat berteriak karena perut lapar dan masa depan suram, elit justru sibuk berjoget dan tidak punya empati. Kontradiksi semacam inilah bahan bakar utama lahirnya gerakan massa.
Keempat, demonstrasi bisa menjadi saluran aspirasi, tetapi tanpa organisasi yang rapi dan visi yang jelas, ia mudah diprovokasi dan tergelincir menjadi anarki tanpa arah. Karena itu, organisasi masyarakat sipil perlu komitmen untuk menjaga agar nyala demokrasi melalui parlemen jalanan tetap bermartabat dan terarah, tanpa disusupi “penumpang gelap.”
Chaos memang bisa menjadi pintu perubahan, tetapi sejarah juga mengingatkan bahwa chaos yang tidak dikelola bisa berujung pada kekerasan tak berkesudahan. Ini adalah momentum dan undangan untuk berpikir tentang mau dibawa ke mana bangsa ini.
Sudah 80 tahun kita merdeka, dan kita masih saja berada di persimpangan. Peristiwa ini kiranya perlu menjadi titik balik untuk memperbaiki relasi negara-rakyat, membangun keadilan sosial yang nyata, dan menegakkan demokrasi substantif. Tanpa itu, cita-cita untuk mewujudkan Indonesia Emas akan makin jauh dari harapan.(*)