spot_img
Wednesday, April 16, 2025
spot_img

Motif Trump dan Masa Depan yang Menantang

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Ada dua perkembangan pasca keputusan perang tarif Trump (America First) mengindikasikan bahwa motif Trump memang ingin mengevaluasi seluruh perjanjian perdagangan bilateral (untuk keuntungan AS, dan mengatasi kemerosotan sosial ekonomi kelas menengah bawah yang makin serius di negerinya sendiri). Pertama penundaan tarif, lalu re negosiasi dengan Canada dan Mexico. Hanya terhadap negeri China, Trump tetap kaku dan frontal melalui pengenaan tarif > 100 persen.

          Kebijakan ekonomi dan perdagangan yang diusung oleh mantan Presiden AS Donald Trump, terutama melalui kebijakan “America First”, memang memiliki beberapa tujuan strategis, baik secara ekonomi maupun geopolitik. Motif dasarnya Trump menginginkan perlindungan ekonomi AS dan kelas menengah bawah.

-Advertisement- HUT

          Di samping itu telah terjadi defisit perdagangan AS yang membengkak, terutama dengan China serta kemerosotan lapangan kerja di sektor manufaktur AS, yang memengaruhi kelas menengah bawah. Dengan mengenakan tarif (misalnya pada baja, aluminium, dan produk China), Trump ingin memaksa perusahaan kembali berinvestasi di AS (“reshoring”). Melindungi industri domestik dari persaingan “tidak adil.” Serta memperkuat posisi tawar AS dalam negosiasi ulang perjanjian perdagangan.

          Ada perbedaan pendekatan dalam menjalankan strategi “America First”, yaitu fleksibel dengan sekutu, tetapi tetap keras pada China. Trump menggunakan tarif tinggi (>100 persen pada beberapa produk) untuk memaksa China bernegosiasi ulang (misalnya, terhadap Perjanjian Dagang Fase-1 2020), di samping untuk memperlambat pertumbuhan ekonomi China dengan membatasi ekspor teknologinya (seperti sanksi terhadap Huawei).

Penataan Ulang Tata Kelola Ekonomi Dunia.

          Pemerintah AS melalui Trump menginginkan penataan ulang Tata Kelola Ekonomi Dunia yang lebih ‘justified’ untuk keuntungan AS. Trump ingin mengembalikan dominasi AS dalam sistem perdagangan global dengan cara: Memperlemah multilateralisme (misalnya, ancaman keluar dari WTO).

          Kedua, mendorong perjanjian bilateral yang lebih menguntungkan AS. Ketiga, membentuk aliansi ‘baru’ dengan UE untuk menghadapi China (meski UE juga sering berselisih dengan AS). Keempat, menggunakan tekanan ekonomi sebagai alat geopolitik (misalnya, sanksi dan tarif).

          Namun, strategi ini memang kontroversial dan sangat beresiko, karena risiko perang dagang bisa merugikan ekonomi global. Ketergantungan AS pada rantai pasok China menyulitkan decoupling (pemisahan atau pengurangan ketergantungan antara dua atau lebih entitas). Serta respon China yang tidak mudah menyerah.

Proyeksi Kebijakan AS-CHINA-UE

          AS (di bawah Biden-Demokrat atau Trump-Republik) akan tetap tegas pada China, meski dengan metode berbeda (Biden lebih multilateral, Trump lebih unilateral). China akan terus mengurangi kergantungan pada ekspor ke AS dengan memperkuat pasar domestik dan mitra baru (ASEAN, Afrika, Timur Tengah).

          UE akan berusaha ‘netral’, tetapi semakin waspada terhadap dominasi China (misalnya, regulasi ketat pada investasi asing). Negara berkembang (termasuk Indonesia) bisa mendapat keuntungan dari diversifikasi rantai pasok, tetapi juga terjepit dalam persaingan AS-China.

Posisi Rusia

          Rusia telah mengambil sikap yang cukup hati-hati dan strategis dalam menanggapi perang tarif Donald Trump serta ketegangan perdagangan AS-China. Berikut beberapa aspek utama dari pendekatan Rusia. Pertama, sikap netral tetapi memanfaatkan peluang. Rusia secara resmi tidak memihak dalam konflik perdagangan AS-China, tetapi melihatnya sebagai peluang untuk memperkuat hubungan ekonomi dengan China sekaligus mencari celah di pasar global.  

          Kedua, Moskwa mengritik proteksionisme AS, tetapi tidak terlibat langsung dalam perang tarif.  Ketiga, Memperdalam kerja sama dengan China. Keempat Rusia diversifikasi ekonomi dan mencari pasar baru. Rusia berusaha mengurangi ketergantungan pada pasar AS dengan memperluas ekspor ke Asia, Timur Tengah, dan Eropa.

          Kelima, sanksi AS terhadap Rusia telah membuat Moskwa lebih agresif dalam mencari mitra dagang baru, termasuk di tengah ketegangan AS-China.

Indonesia Harus Bagaimana?

          Untuk mencapai visi Indone sia Emas 2045 di tengah dinamika ekonomi global yang penuh ketidakpastian seperti perang dagang AS-China, ketegangan geopolitik, dan perlambatan ekonomi dunia, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis.

          Pertama, memperkuat ketahanan ekonomi domestik dengan mendorong industrialisasi dan hilirisasi sumber daya alam (misalnya nikel, bauksit, CPO) untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah. Di samping itu perlu serius meningkatkan produktivitas sektor manufaktur dengan teknologi digital (Industri 4.0) dan investasi di R&D. Lembaga BRIN perlu lebih determinatif. Selaras dengan itu Indonesia harus pula serius memperkuat UMKM (terutama manufaktur) melalui akses pembiayaan, pelatihan digital, dan integrasi ke rantai pasok global.

          Kedua, diversifikasi pasar ekspor dan mitra dagang. Indonesia harus mampu mengurangi ketergantungan pada AS dan China dengan memperluas pasar ke Uni Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan India.  Indonesia perlu mempercepat ratifikasi perjanjian dagang (seperti IEU-CEPA dengan Uni Eropa dan RCEP) untuk akses pasar lebih luas.

          Ketiga, meningkatkan pemanfaatan ekonomi digital (e-commerce, fintech) untuk ekspor jasa dan produk kreatif. Keempat, investasi di infrastruktur dan SDM unggul. Kelima, kebijakan fiskal dan moneter yang responsif perlu dilakukan melalui insentif fiskal untuk industri strategis (EV-electric vehicle, farmasi, teknologi hijau). Stabilitas makroekonomi perlu dijaga dengan mengendalikan inflasi dan nilai tukar rupiah, di samping reformasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani UMKM.

          Keenam, Indonesia segera mengevaluasi dan melakukan justifikasi pengelolaan geopolitik dan kerja sama global. Netralitas aktif dalam perang dagang AS-China, sambil memanfaatkan peluang relokasi industri (China, dan negara industri lainnya).     Ketujuh, kepemimpinan Indonesia di ASEAN dan G20 perlu dimanfaatkan untuk memperkuat posisi tawar dalam tata ekonomi global.

          Kedelapan, menghadapi krisis energi masa depan, transisi energi dan ekonomi hijau perlu dilakukan melalui investasi besar-besaran di EBT (matahari, angin, hidro) sehingga mengurangi impor BBM. Kesembilan, penguatan demokrasi dan tata kelola merupakan masalah krusial yang harus segera diperbaiki secara menyeluruh. Memerangi korupsi dan tradisi birokrasi lambat untuk menarik investasi asing.

          Pada akhirnya Indonesia perlu bertransformasi dari ekonomi berbasis komoditas, ke ekonomi berbasis inovasi, sambil memanfaatkan ketegangan global sebagai peluang. Dengan reformasi struktural, investasi SDM, dan diplomasi ekonomi yang lincah, target menjadi 5 besar ekonomi dunia di 2045 bisa tercapai. Semoga.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img