Jutaan masyarakat Indonesia menjalani tradisi mudik pada lebaran tahun ini dan memadati stasiun, terminal, pelabuhan hingga bandara. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, tradisi mudik selalu menyimpan kisah dan cerita unik. Mulai dari fenomena macet panjang di jalan, hingga tulisan-tulisan nyentrik di kendaran para pemudik. Kini, para perantau sudah kembali ke tanah rantau mereka. Idul fitri telah terlewati, momen bertemu keluarga telah usai. Terlepas dari hingar bingar tradisi mudik tersebut, sejatinya hakikat mudik memberikan banyak makna bagi manusia, tak terkecuali dalam aspek keimanan.
Pertama, mudik sebagai manifestasi pulang ke kampung halaman. Sebagai umat beragama, sudah pasti setiap manusia akan kembali ke asalnya. Dalam keyakinan ajaran agama Islam misalnya, kampung halaman umat Islam adalah akhirat dengan surga sebagai tujuan utamanya.
Relasi antara mudik sebagai perjalanan iman, tergambar dari beragam bekal yang harus disiapkan sebelum mencapai kampung halaman. Setiap pemudik, dengan beragam jenjang sosial mereka, biasanya membawa oleh-oleh untuk sanak kerabat di kampung halaman mereka.
Oleh-oleh dan bekal tersebut disiapkan jauh-jauh hari, bahkan sejak sebelum Ramadan. Ada yang membawa sandang, pangan, bahkan tukar uang baru untuk dibagi ke anak-anak kecil di kampung halaman.
Filosofi menyiapkan bekal untuk mudik, sejatinya perlu juga disiapkan bagi umat beragama yang meyakini bahwa akan ada hari setelah kematian, yaitu hari kebangkitan dan pembalasan. Jika bekal yang dibawa mudik ke kampung halaman sudah disiapkan secara matang, maka sudah seyogyanya bekal menuju kampung akhirat juga tak boleh alakadarnya disiapkan.
Manusia harus senantiasa berbuat baik, sebagai bekal utama menuju kampung akhirat. Sebab, apabila mudik masih memberikan momentum untuk balik ke perantauan, maka kampung akhirat tidak memungkinkan manusia untuk kembali lagi ke dunia. Kekal selamanya di sana.
Kedua, ada dimensi sosial dalam tradisi mudik. Bakti anak kepada orang tuanya, maupun suami kepada istrinya tergambar melalui tradisi mudik. Ribuan kilometer ditempuh untuk sekadar melepas rindu, yang kadang baru bisa bertemu setahun sekali.
Saling silaturahmi, memaafkan kesalahan kerabat dan tetangga, berbagi rezeki hingga sekadar saling bertukar kisah di antara sesama. Bunga rampai kisah tersebut terpigura indah dalam tradisi mudik, yang sekaligus menguatkan dimensi sosial, merajut ukhuwah demi meraih berkah.
Ketiga, tradisi mudik memutar roda perekonomian. Tempat wisata dan kuliner menjadi ramai dikunjungi wisatawan. Terlebih ada tradisi membayar zakat bagi umat Islam, yang terbagi setidaknya dalam dua hal. Yakni zakat fitrah untuk mensucikan jiwa dan zakat mal untuk mensucikan harta.
Zakat ini biasanya terbawa pula ke kampung halaman melalui tradisi mudik, terutama zakat mal. Dalam perspektif ini, ada perjalanan iman untuk saling membantu, antara si kaya dan si miskin. Distribusi rupiah sekaligus mengurangi beban negara, terutama di tengah gejolak sembako yang mahal.
Perjalanan mudik yang sangat fluktuatif, kadang macet dan kadang lancar, juga senapas dengan perjalanan iman seseorang, yang kadang naik dan kadang turun. Sehingga, perjalanan mudik dan balik, bukan hanya soal tradisi dan pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya, namun lebih dari itu sangat sarat akan makna.
Apabila dirangkum, perjalanan iman dalam tradisi mudik mencakup tiga aspek sekaligus, yakni hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesamanya dan dengan lingkungan. Sebab iman memang tak cukup hanya diakadkan dengan hati, tapi juga diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan perbuatan.
Ada kesalehan spiritual dan kesalehan sosial, yang terbentuk pada pribadi-pribadi penuh iman, yang melakukan perjalanan panjang, di darat, laut dan udara, untuk menunaikan tradisi tahunan bernama mudik.
Setali tiga uang, arus balik juga memberikan nuansa penuh makna. Banyak asa dan harapan dari keluarga yang ditinggalkan, bahwa kesuksesan di tanah rantau akan mengubah keadaan. Tak lain tak bukan tujuannya untuk memperbaiki kondisi perekonomian.
Tanah rantau seolah menjanjikan banyak kebahagiaan, berbalut kisah peluh kesah yang sering disimpan rapat, bagi para anak yang sedang berjuang untuk kebahagiaan kedua orang tuanya, bagi para suami yang sedang berjuang untuk kebahagiaan istri dan anak-anak tercinta mereka.
Dalam setiap perputaran roda kehidupan, ada harapan dan ujian yang datang, silih berganti dan terus berputar. Laksana iman, yang terus berputar sepanjang waktu, kadang naik dan kadang turun. Mudik dan balik sekali lagi bukan hanya sekadar tradisi, tapi menyimpan banyak arti, bagi mereka yang menyelami dalamnya makna kehidupan.
Ada perjalanan iman, yang tertaut dalam tradisi mudik dan juga balik. Sehingga, bagi siapa saja yang beriman, perjalanan mudik bukan hanya perjalanan fisik, tapi lebih dari itu mudik dan balik adalah perjalanan hati, untuk taat, untuk istiqomah dan konsisten dalam kebaikan.
Bukan pada siapa yang cepat dan akan sampai tujuan lebih dulu, tapi do’a-do’anya adalah semoga selamat sampai tujuan. Sama dengan perjalanan iman, semoga selamat sampai tujuan, khusnul khotimah. Sebab tiada balasan bagi kematian yang khusnul khotimah kecuali surgaNya yang kekal. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari perjalanan mudik dan balik dari kampung halaman.(*)