spot_img
Monday, December 23, 2024
spot_img

Mudik dan Pamer Kemapanan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Berita menggembirakan untuk masyarakat Indonesia jelang Idul Fitri 2022. Tak hanya karena menyambut hari kemenangan umat Islam, pada lebaran tahun ini, mudik kembali diperbolehkan. Ini menjadi tahun pertama diperbolehkannya mudik di tengah pandemi virus Corona.

         Sebelumnya, pada Lebaran 2020 dan 2021, pemerintah melarang mudik. Larangan ini dilakukan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 yang beragam. Larangan mudik tersebut berupa peniadaan sarana transportasi ke beberapa daerah.

         Pengaturan transportasi ini berlaku untuk transportasi darat, laut, udara, dan perkeretaapian, khususnya kendaraan pribadi ataupun angkutan umum yang membawa penumpang.

         Pada awal Ramadan Presiden Joko Widodo mengumumkan diperbolehkan mudik dengan syarat-syarat tertentu. Bagi masyarakat yang ingin melakukan mudik, dipersilakan jika sudah mendapatkan dua kali vaksin dan sekali booster serta menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Jika calon pemudik belum mendapatkan vaksin booster, maka mereka wajib melakukan tes Covid-19.

         Pengumuman diperbolehkan mudik disambut suka cita masyarakat Indonesia. Warga pun sudah mengantre di tempat-tempat vaksin booster, memesan tiket perjalanan darat, laut, maupun udara. Di sampaing itu juga sudah mulai meramaikan dunia fashion dan kuliner untuk diborong ke kampung halamannya.

Asal Mula Mudik

         Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam. Alkisah, dahulu wilayah kekuasaan Majapahit begitu luas hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Kerajaan Majapahit pun menempatkan para pejabatnya di titik-titik kekuasaan mereka.

         Sampai pada suatu ketika, pejabat tersebut akan kembali ke pusat kerajaan untuk menghadap raja dan mengunjungi kampung halaman. Kebiasaan ini lantas dikaitkan dengan lahirnya fenomena mudik. Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri.

         Menurut dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Yuanda Zara, tradisi mudik ada sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. Kala itu, banyak masyarakat yang berbondong-bondong merantau ke Jakarta lantaran fokus pembangunan ada di ibu kota negara. Setelah beberapa tahun tinggal, para pendatang itu rindu pada kampung halaman mereka.

         Berangkat dari situ, muncul fenomena pulang ke kampung halaman secara masal dari para pekerja di Jakarta. Melihat ini, pemerintah pun memberikan perhatian serius. Tahun 1960-an jalur-jalur kereta api dari masa kolonial kembali dihidupkan di seluruh wilayah untuk memudahkan warga pulang ke kampung halaman.

Istilah Mudik

         Mudik (oleh KBBI disinonimkan dengan istilah pulang kampung) adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk pulang ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan. Misalnya menjelang Lebaran, Natal dan Tahun Baru, Idul Adha dan Hari besar Nasional.

         Meski sudah menjadi tradisi sejak lama, istilah “mudik” baru populer di tahun 1970-an. Menurut Silverio, sejak saat itu mudik dikenal sebagai tradisi yang dilakukan oleh perantau untuk kembali ke kampung halamannya dan berkumpul bersama keluarga, khususnya ketika Lebaran.

         Mudik banyak dilakukan oleh perantau di Jakarta yang mayoritas berasal dari Jawa. Sementara, bagi masyarakat Jawa sendiri, “mudik” diartikan sebagai mulih dhisik atau pulang dulu.  “Mudik menurut orang Jawa berasal dari kata mulih dhisik yang bisa diartikan pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah mereka menggelandang (merantau). Di sisi lain, masyarakat Betawi mengartikan mudik sebagai “kembali ke udik.” Dalam bahasa Betawi, “udik” berarti kampung.

         Saat orang Jawa hendak pulang ke kampung halaman, orang Betawi menyebut “mereka akan kembali ke udik.” Akhirnya, istilah ini mengalami penyederhanaan dari “udik” menjadi “mudik.” Sementara, menurut Yuanda Zara, istilah mudik mulai banyak digunakan di tahun 1980-an. Sebelum itu, masyarakat umumnya menggunakan istlah “pulang kampung”, “bersilaturahmi dengan keluarga besar”, “halal bi halal dengan keluarga di daerah”, dan sebagainya.

Esensi Mudik

         Mudik terjadi saat Ramadan atau jelang Lebaran tak terlepas dari hakikat Idul Fitri. Secara harfiah, Idul Fitri dimaknai sebagai kembali kepada fitrah atau kesucian. Mudik, pulang kampung, kemudian dianggap sebagai upaya untuk kembali ke asal-usulnya. Mereka ingin berjumpa dengan orang tua, handai taulan, dan melihat tempat di mana mereka tumbuh.

         Esensi mudik yang begitu dinantikan sebenarnya adalah berlebaran bersama keluarga besar di kampung halaman, mengobrol bersama (mengenang masa kecil dan menceritakan kehidupan selama di perantauan), makan bersama, pergi bersama, dan sebagainya.

         Telah menjadi budaya di kalangan masyarakat bahwa menjelang puasa Ramadan dan Idul Fitri, anak-anak, menantu, keluarga dan famili pergi berziarah ke kubur orang tua, kakek, nenek dan leluhur serta keluarga terdekat sambil mendoakan. Itu tidak mungkin dilakukan kalau tidak mudik.         

Bagi mereka yang berasal dari kampung maka dalam kesempatan Idul Fitri dilakukan ziarah ke kubur, selain silaturahim. Di samping itu, ketika berada di kampung halaman pemudik bisa melakukan reuni dengan sahabat lama, kegiatan ini sebagai ajang menyambung kembali tali silaturahmi dengan teman masa kecil bernostalgia, menghilangkan rasa kangen, dan melihat perubahan dan perkembangan teman masa kecil.

         Esensi mudik yang lain sebenarnya ingin menunjukkan alias pamer kemapanan kepada keluarga, tetangga, dan teman. Setelah sekian lama merantau ke ibukota atau ke kota lain, saatnya ketika mudik kembali ke kampung halaman. Mereka akan menunjukkan keberhasilan dan kesuksesan kepada para tetangga. Mulai dari keluarga harmonisnya, kendaraan pribadi, gaji yang telah diraihnya, jabatan yang didudukinya, dan lain-lain.

Mudik juga dapat dipandang sebagai bentuk kearifan lokal yang tidak terbatas pada golongan tertentu. Bahkan, seorang sosiolog Jerman, Andre Moller, dalam buku Ramadan di Jawa (2002) pernah berkomentar bahwa tradisi mudik sebagai fenomena khas dan unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia dalam menyambut datangnya Idul Fitri.

 Rakhmat Hidayat Pengajar Sosiologi Perkotaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dalam tulisannya berjudul esensi mudik di Republika.co.id (30/7/2013) menyebut kehadiran warga perantau di kampung halamannya yang sudah ditunggu-tunggu keluarga dan kerabatnya memiliki makna yang sangat mendalam.

Ini adalah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh pemudik. Selama 11 bulan para perantau bekerja keras di kota, saatnya mereka mudik untuk menyucikan diri. Keluarga adalah prioritas proses penyucian diri tersebut.

Kehangatan bersama keluarga menjadi momen yang sangat istimewa. Seolah tak bisa diwakili oleh kecanggihan teknologi apa pun. Tetangga, kerabat, teman kecil maupun teman sekolah juga memperkuat proses penyucian diri tersebut. Rasa kangen selama satu tahun terakhir dibalas dengan kedatangan para pemudik.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img