Malang Posco Media -Banyak istilah yang digunakan dalam mengenalkan peserta didik dengan lingkungan sekolah. Ada yang menggunakan istilah Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), ada juga yang menggunakan nama Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPD) dan yang paling sering kita dengar atau ingat adalah Masa Orientasi Sekolah (MOS).
Semuanya merupakan serangkaian kegiatan menyambut peserta didik baru di awal tahun pelajaran guna memperkenalkan kehidupan sekolah baik dari infrastruktur, kurikulum dan kebiasaan-kebiasaan pada masing-masing sekolah. Selain memperkenalkan iklim sekolah, kegiatan ini juga memiliki tujuan-tujuan penting lainnya bagi para peserta didik.
Yaitu mengenali potensi diri peserta didik baru, membantu beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya. Menumbuhkan motivasi dan semangat untuk sesegera mungkin bisa belajar efektif sebagai peserta didik baru. Mengembangkan interaksi positif antarsiswa (sebaya dan kakak kelas) dan warga sekolah lainnya. Serta menumbuhkan perilaku positif.
Antara lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati keanekaragaman dan persatuan, kedisiplinan, hidup bersih dan sehat untuk mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong.
Setiap peserta didik pasti memiliki karakter khas dan membawa karakter yang berbeda-beda. Perbedaan karakter tersebut yang mencirikan keunikan setiap individu. Keunikan setiap individu dapat dilihat dari beberapa aspek. Di antaranya adalah agama, etnis, gender, bahasa, nilai dan warisan budaya. Keenam aspek tersebut pasti berbeda sesuai dengan budaya daerahnya. Misalnya budaya peserta didik asli Malang dengan budaya peserta didik dari luar Malang. Keberbedaan tersebut pasti akan mempengaruhi tingkah laku peserta didik jika berada dalam satu kelompok. Keberbedaan tingkah laku tersebut jika tidak disadari sejak awal oleh masing-masing peserta didik akan berdampak negatif. Salah satu bentuknya bisa berupa tindakan bullying. Dampak dari bullying sering kita dengar dan sering kita baca di berbagai sumber. Korban korban bullying (victim) akan mengalami di antaranya kesehatan fisiknya menurun, sulit tidur, dan luka ringan hingga parah. Dampak psikis dari korban bullying (victim) antara lain munculnya psychological well-being yang rendah, perasaan tidak bahagia secara umum, self-esteem rendah, perasaan marah, sedih, tertekan dan terancam ketika berada pada situasi tertentu. Bahkan anak yang menjadi korban bullying akan cenderung melampiaskan kemarahannya kepada orang lain (Sle & Rigby, 2007). Sehingga akan memunculkan pemikiran bahwa sekolah bukn tempat yang nyaman bahkan sebaliknya.
Kasus bullying karena kurang kesadaran multibudaya mungkin masih sering dijumpai melalui aktivitas siswa yang saat bertemu dan berinteraksi dengan temannya mencoba menirukan logat dan dijadikan sebagai bahan bercandaan. Bahkan ada yang memberikan komentar negatif terhadap teman lainnya dengan mengkritik logat bahasa teman, mencela warna kulit, kurang respect terhadap lawan jenis, dan kurang menghargai adanya keanekaragaman budaya, padahal mereka mengenakan almamater yang sama.
Contoh di atas merupakan salah satu contoh dari sekian banyak contoh lain dalam dalam kehidupan selama di sekolah. Sehingga perlu adanya usaha untuk menyadarkan atas keberbedaan budaya tersebut.
Kesadaran multibudaya (multicultural awareness) secara umum diartikan sebagai sikap dan keyakinan, pengetahuan dan keterampilan yang mengekspresikan kesadaran dan penghargaan dimiliki dengan berbagai macam latar belakang budaya mereka (Sue, Arredondo and McDavis: 2003).
Selanjutnya (Sue, dkk, 2003) melukiskan karakter atau indikator kesadaran multibudaya antara lain. Pertama, selalu berproses untuk meningkatkan kesadaran akan asumsi pribadinya mengenai perilaku manusia, nilai-nilai, bias dan keterbatasan individu. Kedua, secara aktif terus berusaha memahami pola pikir yang dilatar belakangi kekhasan budaya orang lain tanpa disertai negative judgment.
Ketiga, secara aktif berusaha mengembangkan dan melaksanakan strategi intervensi yang sesuai dan relevan dengan budaya konselinya. Dari ketiganya terpilah dimensi-dimesi kesadaran multibudaya yaitu; (a) keyakinan dan sikap, (b) pengetahuan dan (c) keterampilan ( Sue & Sue dalam Muslihati, 2013).
Memulai untuk menumbuhkan kesadaran pada masing-masing peserta didik bukan sesuatu yang mudah. Perlu adanya perjalanan panjang dan dengan pembiasaan yang secara terus menerus. Namun hasil yang bisa didapat di kemudian hari adalah munculnya kesadaran diri, berlanjut nantinya dan akan diikuti oleh terbentuknya kesadaran akan kebudayaan.
Diri masing-masing inividu akan mulai terbiasa bahwa saat berinterakasi memerlukan kepekaan jika setiap manusia itu berbeda dengan ditandai adanya perbedaan berbagai ras, seksisme, dan status sosial di dalamnya, kesadaran akan pebedaan individual, kesadaran akan adanya kelompok-kelompok budaya lain dan keanekaragamannya.
Hal lain yang didapatkan dengan adanya kesadaran diri tersebut, individu akan lebih respect dengan adanya multikulturalisme. Banyak hal dan manfaat dari memahamkan diri terhadap pentingnya memunculkan kesadaran multibudaya atau dengan pendidikan yang membahas mengenai pentingnya sikap saling toleransi antar individu terutama antar siswa.
Sosialisasi dan pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja dan nyata untuk mengembangkan sikap saling toleransi dan respect demi memunculkan sikap sadar akan multikulturalisme. Salah satu bentuk pendidikan yang sedang dijalankan di sekolah adalah masa pembentukan karakter.
Di dalamnya bisa memuat kegiatan-kegiatan yang positif yang melibatkan banyak aktivitas interaksi dengan orang lain. Kegiatan tersebut bisa berbentuk cinema edukasi dengan menampilkan cuplikan short film yang memuat bagaimana cara bertutur kata, tidak membeda-bedakan antar peserta didik, adab bertemu dengan teman, guru dan seluruh civitas sekolah. Atau bahkan bisa melalui kegiatan yang berbasis praktik dan role playing dengan siswa bisa langsung berperan di dalamnya.
Tak cuma disampaikan, namun perlu juga diaplikasikan dalam kegiatan selama di skeolah. Setelah diaplikasikan kemudian perlu untuk dibiasakan. Sehingga secara psikologis benar-benar tertanam pada masing-masing peserta didik. Bukan hanya fokus kepada siswa, tetapi semua komponen sekolah perlu terlibat. Mulai dari kepala sekolah dan tim manajemen sebagai pemangku kebijakan juga pendidik dan tenaga kependidikan sebagai role model.
Bukan hanya sekolah sekolah yang bersistem regular yang diuntungkan. Sekolah-sekolah yang berbasiskan asrama juga akan sangat diuntungkan jika peserta didiknya memiliki kesadaran multikulturalisme. Karena seluruh aktivitas berpusat di sekolah mulai bangun hingga tidur. Sekolah akan menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan karena perbedaan dianggap sesuatu yang wajar dan perlu dihargai.(*)