MALANG POSCO MEDIA – Pegiat media sosial Nikita Mirzani ribut dengan presenter Najwa Shihab gegara pernyataan Najwa yang mengkritisi polisi. Dalam sebuah tayangan video Najwa mengatakan bahwa publik tidak perlu takut terhadap polisi yang menakut-nakuti dengan pasal-pasal. Selama kita yakin bahwa kita benar, tidak perlu takut kepada gertakan polisi. Kita juga bisa belajar mengenai pasal-pasal. Begitu kata Najwa.
Tiba-tiba Nikita membuat unggahan menyerang Najwa. Nikita mempertanyakan apakah Najwa pernah dikecewakan oleh polisi. Nikita juga mengatakan bahwa Najwa sekarang menjadi pengritik keras polisi dan rezim Jokowi karena pernah mengalami retak hati.
Retak hati Najwa, kata Nikita, karena Najwa kecewa setelah gagal menjadi menteri. Kata Nikita, Najwa berharap menjadi menteri pendidikan pada masa kepresidenen Jokowi yang kedua. Tapi, ternyata Jokowi lebih memilih Nadiem Makarim ketimbang Najwa.
Nikita juga mengatakan semoga Najwa bisa menjadi menteri pada kabinet presiden mendatang. Tapi, Nikita mempertanyakan mengapa Najwa begitu berambisi terhadap kekuasaan untuk menjadi menteri. Bukankah lebih baik menjadi presenter berita bisa mewawancarai pejabat manapun.
Nikita muncul sebagai pembela polisi yang dalam bulan-bulan terakhir ini citranya sedang remuk gegara kasus Ferdy Sambo. Publik tahu ternyata Nikita mempunyai hubungan dengan Ferdy Sambo. Hal itu terlihat dari beredarnya chat pribadi Nikita dengan Ferdy Sambo. Dalam chat itu Nikita menceritakan kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang dialaminya dari mantan suaminya. Dari chat itu tergambar bahwa Nikita punya hubungan yang cukup dekat dengan Ferdy Sambo.
Karena itu serangan Nikita terhadap Najwa bisa dimaklumi. Mungkin Nikita merasa gerah karena Sambo diserang oleh Najwa. Karena itu Nikita mengambil inisiatif untuk menyerang balik Najwa. Masih belum jelas, apakah serangan itu inisiatif pribadi Nikita atau inisiatif pihak lain yang menjadi sponsor.
Dalam banyak unggahannya Nikita memang terlihat mempunyai jalur informasi yang cukup valid kepada polri. Sebagai selebritas media sosial yang terkenal Nikita bisa saja dipakai untuk membela dan memperbaiki citra Polri yang sedang hancur-hancuran.
Salah satu yang disampaikan Nikita adalah soal generalisasi Najwa terhadap institusi Polri. Pada bagian akhir videonya Nikita mempertanyakan mengapa Najwa menyerang Polri sebagai institusi dan tidak menyebut oknum polisi dalam kasus Sambo.
Najwa belum bereaksi terhadap serangan Nikita. Netizen banyak yang membela Najwa dan memintanya tidak merespons Nikita. Banyak netizen yang menyerang balik Nikita yang disebut pansos, panjat sosial, mencari popularitas dengan menyerang Najwa.
Nikita lebih banyak menyerang Najwa secara pribadi. Cara berargumen yang menyerang pribadi semacam ini disebut sebagai ad hominem. Dalam ilmu logika, cara berargumen ad hominem berada pada posisi paling bawah, dan sekaligus menunjukkan kualitas intelektual yang rendah bagi orang yang memakai argumen itu.
Argumen ad hominem yang ditunjukkan Nikita menunjukkan kelas intelektualnya yang sangat berbeda dengan Najwa. Karena itu banyak yang menyarankan kepada Najwa supaya tidak merespons Nikita karena dua sosok itu memang beda kelas.
Di bagian akhir video yang berdurasi 1,37 menit itu Nikita memberi saran kepada Najwa supaya tidak melakukan generalisasi terhadap Polri dalam kasus Sambo. Seharusnya Najwa memakai diksi oknum untuk menyebut polisi yang melakukan kesalahan.
Sangat mungkin Nikita tidak paham mengenai istilah oknum dan latar belakang kemunculannya. Dulu di masa Orde Baru, setiap berita kekerasan yang dilakukan aparat, media sering menunjuk pelakunya sebagai “oknum.” Akibatnya, pertanggungjawaban lembaga atas kesalahan anggotanya seringkali luput dari perhatian. Tidak heran kemudian jika permasalahan serupa terus berulang pada institusi yang sama karena tak ada perbaikan institusional.
Kebiasaan media menggunakan diksi “oknum” untuk menjelaskan kesalahan individu dalam institusi bisa ditilik sejak Orde Baru. Orde Baru membudayakan diksi itu, terutama untuk kalangan wartawan.
Dengan menyuburkan kekebalan institusi, kepentingan publik akan lembaga aparat negara yang sehat, transparan, dan akuntabel akhirnya. Tidak akan ada reformasi yang menyeluruh di level institusi. Kasus Sambo harusnya menjadi pintu masuk bagi reformasi total di level institusi Polri. Tapi, dengan oknumisasi, maka reformasi akan mandek karena penyelesaiannya berhenti pada level oknum.
Era media sekarang sudah berubah dengan munculnya media sosial yang melahirkan para selebritas dan influencer. Kebiasaan oknumisasi masih tetap berlaku di media mainstream, dan sekarang disusupkan kepada para aktivis media sosial.
Kasus Ferdy Sambo jelas tidak bisa disebut sebagai kasus oknum, karena jaringan kejahatannnya sudah meluas sampai ke lini-lini penting institusi Polri. Upaya oknumisasi yang dilakukan Nikita Mirzani akan sia-sia, karena publik sudah jauh lebih cerdas ketimbang Nikita. (*)