Sesaat setelah perilisan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang disiarkan lewat channel Youtube Kemdikbud RI, beberapa grup whatsapp yang saya ikuti banyak yang membagikan hasil PISA lengkap dengan narasi kenaikan peringkat yang dianggap terbaik sepanjang sejarah Indonesia mengikuti PISA.
Kemudian ada juga yang membagikan siaran pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdibudristek) nomor: 697/sipers/A6/XII/2023 dengan judul “Peringkat Indonesia pada PISA 2022 naik 5-6 Posisi dibanding 2018.”
Kenaikan peringkat PISA ini seolah telah menjadi prestasi tertinggi sehingga patut dirayakan insan pendidikan di seluruh negeri. Merayakan kenaikan peringkat PISA boleh-boleh saja, akan tetapi juga harus dibarengi dengan narasi yang objektif dan komprehensif terhadap hasil PISA itu sendiri.
Narasi yang disampaikan jangan hanya dominan pada perolehan peringkat Indonesia yang mengalami peningkatan. Apalagi peningkatan itu dikaitkan dengan keberhasilan program-program Kemdikbud yang telah dilakukan era saat ini.
Hal tersebut membuat perolehan skor PISA yang mengalami penurunan seolah tertutup dengan kenaikan peringkat yang diperoleh Indonesia. Padahal kita semua juga tahu jika kenaikan peringkat itu tidak berbanding lurus dengan kenaikan skor PISA kita. Terlebih skor yang diperoleh Indonesia mengalami penurunan dari hasil PISA 2018. Sehingga jika kita sepakat untuk berbenah, maka sudah seharusnya kenaikan peringkat ini tidak selayaknya dinarasikan secara berlebihan.
Alangkah lebih baiknya jika fokus utama ditujukan pada perolehan hasil skor PISA. Karena skor itulah yang sebenarnya jauh lebih penting digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan kita. Setidaknya, skor ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan refleksi terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan di sekolah saat ini dan nanti.
Tidak Boleh Terbuai
Narasi indah tentang kenaikan peringkat PISA ini jangan sampai membuat insan pendidikan terbuai. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi murid di Indonesia.
Hasil diskusi dengan beberapa guru di sekolah maupun yang berbeda daerah menunjukkan jika menuntun murid untuk cakap literasi bukanlah perkara mudah untuk saat ini. Tidak sedikit teman yang mencurahkan keluh kesahnya karena harus berhadapan dengan murid yang belum dapat membaca secara lancar meskipun sudah berada di kelas 7 SMP.
Sedangkan kemampuan membaca itu sendiri adalah dasar literasi murid. Jika kemampuan membaca masih sangat rendah, apakah mungkin memperoleh data otentik tentang kualitas murid?
Jawaban atas pertanyaan tersebut sejatinya juga menjadi renungan kita bersama terhadap hasil survei selama ini. Apakah itu survei lingkungan belajar dan karakter yang setiap tahun dilakukan oleh kemdikbud melalui Asesmen Nasional maupun survei-survei lain yang menggunakan responden murid.
Di satu sisi data menunjukkan angka yang baik terhadap iklim belajar, akan tetapi di sisi lain kita masih disuguhi oleh berita perundungan maupun kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan.
Hal tersebut terjadi tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Bisa karena murid malas untuk membaca soal survei atau memang murid belum dapat membaca secara baik. Sehingga yang terjadi adalah “asal” jawab soal saja. Jika ini yang terjadi, maka sudah pasti data yang diperoleh juga data yang kurang otentik.
Jujur, ketika menekankan kepada murid untuk membaca soal sebelum mereka menjawabnya, itu juga bukan perkara yang mudah. Tidak jarang menjumpai murid yang baru 10 menit masuk ruangan ujian atau asesmen mereka sudah tertidur. Lebih ekstrim lagi dalam waktu 10 menit sudah ada murid yang selesai mengerjakan soal ujian atau asesmen.
Untuk itu jangan sampai narasi semu tentang hasil PISA ini malah membuat guru berhenti berinovasi dan berjuang. Pendidikan adalah investasi masa depan yang hasilnya tidak dapat dilihat langsung hari ini. Jangan sampai kelalaian hari ini menyebabkan cacat generasi di masa mendatang.
Bukan Tolok Ukur
Hasil PISA 2022 ini memang belum dapat mengukur secara komprehensif kualitas pendidikan kita. Hal tersebut disebabkan periode survei dilakukan setelah kebijakan pembelajaran jarak jauh. Sehingga hasil PISA ini memang lebih tepat jika digunakan alat ukur ketangguhan pendidikan nasional menghadapi pandemi Covid 19.
Jika melihat perbandingan skor penurunan PISA dengan negara lain di dunia, maka strategi Kemdikbudristek selama pelaksanaan pembelajaran jarak jauh boleh dikatakan lebih baik karena mampu menekan terjadinya learning loss dibanding dengan negara lain.
Jadi, terlalu dini jika saat ini kita harus berpuas diri. Jauh lebih baik kita harus bermawas diri. Mencari tahu titik mana yang harus segera dibenahi. Saat ini yang dibutuhkan adalah akselerasi, bukan menciptakan berbagai macam narasi. Seolah program telah mampu meningkatkan masalah literasi, padahal itu masih perlu aksi dan bukti.(*)