Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M.Si
Pasca runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat stigma negatif terhadap Islam muncul, bahkan menjadi semacam islamofobia di Amerika dan negara-negara Eropa. Islam dikesankan sebagai agama teroris atau minimalnya mentolelir perbuatan terorisme.
Impact Islamofobia tidak hanya marak di negara-negara Barat, namun juga ke seantero dunia termasuk ke Indonesia yang notabene negara Muslim terbesar di dunia. Lembaga-lembaga Islam, seperti pesantren dicurigai sebagai tempat kaderisasi radikalisme dan terorisme dan para santri dicurigai sebagai radikal dan teroris. Stigma seperti itu sangat merugikan pesantren dan para santri, seakan-akan pesantren dan kalangan pesantren di dalamnya termasuk para santri tidak didik nasionalisme atau cinta tanah air. Padahal, kalau kita napak tilas sejarah Indonesia merdeka, banyak sekali peran besar santri dalam mewujudkan Indonesia merdeka dan berkontribusi dalam mengisi kemerdekaan.
Istilah santri sendiri sempat menjadi pembicaraan tahun 1960 an, sejak diterbitkannya sebuah hasil penelitian seorang antropolog asal Amerika serikat bernama Clifford Geertz di sebuah daerah bernama Pare di Kabupaten Kediri yang kemudian diberi judul The religion of Java. Penelitian yang kemudian menjadi karya master piece nya berlangsung selama kurang lebih 1 tahun 4 bulan ini telah mengkategorisasi masyarakat “Jawa” menjadi santri, abangan dan priyayi. Santri dititik beratkan pada penggolongan masyarakat Jawa menurut tingkat ketaatan menjalankan ajaran ibadah agama Islam.
Padahal menurut Zamakhsyari Dhofier dalam “Tradisi Pesantren”, santri adalah murid yang mengikuti pelajaran di Pesantren, yang artinya santri merupakan salah satu elemen terpenting pesantren sehingga besar kecilnya sebuah pesantren salah satunya ditentukan dari banyak sedikitnya santri yang belajar di pesantren tersebut. Lebih jauh Ahmad Basso menerangkan bahwa santri atau menjadi santri (dados santri) melampaui pengertian nyantri di sebuah pesantren yaitu orang-orang yang mencari ilmu di pesantren atau juga yang mengamalkan dengan baik ajaran agama Islam sebagaimana dijelaskan Zamakhsyari Dhofier dan Geertz, namun identitas santri melekat seumur hidup artinya menjadi santri adalah juga berarti proses pembelajaran dan pengajaran yang tidak pernah berhenti seumur hidup, bahkan masyarakat sebagai pengikut Kyai dan memiliki prilaku seperti santri juga dikategorikan sebagai santri.
Di luar stigma negatif akibat stigma konspirasi global terhadap pesantren, perjalanan sejarah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran dan kontribusi pesantren beserta para santri baik dalam masa pra kemerdekan, masa kemerdekaan, maupun pascakemerdekaan.
Peran signifikan parasantri untuk Indonesia kemudian diapresiasi oleh Presiden Jokowi dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 mengenai penetapan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri Nasional. Tanggal itu merujuk pada resolusi Jihad yang diserukan KH. Hasyim Asy’ari kepada para santri untuk berjuang demi tanah air.
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang khas atau genuin dari Indonesia (Nusantara), jumlahnya tersebar di seluruh nusantara dan mayoritas berdiri sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pendirian pesantren di masa lalu didorong untuk mencerdaskan anak bangsa supaya punya kekuatan untuk keluar dari kolonialisme. Para santri di masa pra kemerdekaan dididik untuk anti kolonialisme, konon salah satu penyebab kebanyakan pesantren tidak mengajarkan Bahasa Penjajah (Inggris, Portugis, Belanda dan Jepang) dan ilmu umum adalah berdasarkan strategi anti kolonialisme dengan berpegang pada kaidah “mantasyabbaha bi qoumin fahuwa minhum” (barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dalam golongannya), sebagai bangsa yang anti kolonialisme, maka apa saja yang berbau kolonialis, seperti bahasa, cara berpakaian, budaya, ilmu dan sebagainya harus dihindari, maka kemudain muncul slogan-slogan seperti bahasa kafir, budaya kafir dan sebagainya.
Beberapa pesantren justru melakukan strategi yang berbeda semisal Pondok Modern Gontor yang justru mengajarkan bahasa penjajah (Inggris), memakai celana dalam pembelajaran dan kelas-kelas yang menggunakan bangku dan meja sebagaimana sekolah-sekolah yang didirikan kaum penjajah.
Dalam suatu naskah Buton, Sulawesi Tenggara ditemukan naskah-naskah berbahasa Melayu dan Belanda dengan huruf Arab pegon. Para santri mengamalkan dan menguasai bahasa penjajah (Eropa) bukan untuk dikomunikasikan dan dipakai dalam tulis menulis, akan tetapi dipakai sebagai jalan menuju kepada dunia pengetahuan dan peradaban orang-orang Eropa, selain juga ingin mempelajari ideologi-ideologi sekuler, lalu dilihat relevansinya dengan semangat kebangsaan mereka, setelah itu mereka mengukuhkan karakter berbangsa dan juga dekolonisasi sebagai bukti nasionalisme dan cinta tanah air Masa kemerdekaan adalah masa-masa para santri berperan baik dalam jalur diplomasi politik dan diplomasimaupun militer. Pada jalur Politik, tokoh tokoh pergerakan tergolong kaum santri seperti K.H. Abdul Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Mohamad Roem, Abukusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim dan lain sebagainya beberapa juga tergabung dalam anggota BPUPKI.
Di bidang militer lahir lasykar Pembela Tanah Air pada bulan November 1943 lalu diikuti oleh kelahiran lasykar Hizbullah beberapa minggu kemudian. Kedua badan kelasykaran ini meskipun dibentuk awalnya untuk membantu Jepang, namun kedua badan kelasykaran tersebut menjadi cikal bakal BKR/TKR yang merupakan institusi militer pertama di republik Indonesia danyang menjadi persamaan kedua badan kelasykaran tersebut adalah keterlibatan kaum santri di dalamnya.
Keterlibatan kaum santri berikutnya adalah dalam mempertahankan kemerdekaan. Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah bentuk keterlibatan nyata para santri dalam menjaga dan mempertahankan tanah airnya dari penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia dengan jargonnya “hubbul wathoni minal iman”, makanya wajar kalau kemudian Presiden Joko Widodo menetapkan waktu pencetusan Resolusi Jihad menjadi Hari Santri Nasional.
Keterlibatan pesantren bersama para santrinya dapat diamati melalui proses pendidikan di Pesantren maupun output lulusan pesantren dalam kiprahnya di masyarakat. Setiap santri dituntut belajar sepanjang hayat baik saat di Pesantren maupun setelah keluar dari pesantren. Tuntutan itu menjadikan para santri menjadi pembelajar dalam hidupnya dan masyarakatnya. Masyarakat adalah ujian sebenarnya dari kualitas seorangsantri, santri berasal dari masyarakat dan akan kembali ke masyarakat.
Kiai Saifuddin Zuhri menulis dalam bukunya Guruku orang-orang dari pesantren, sebagai berikut “Para santri adalah anak-anak rakyat, amat paham tentang arti kata rakyat, paham benar tentang kebudayaan rakyat, tentang keseniannya, agamanya, jalan pikirannya, cara hidupnya, semangat dan cita-citanya, suka dukanya, tentang nasibnya, dan segala liku-liku hidup rakyatnya, santri lahir dari sana, demikian mereka hidup dan lalu mati pun di sana pula. Sebab itu, para santri dan kiai sangat paham tentang arti hidup dalam penjajahan.”
K.H. Imam Zarkasyi, salah satu Trimurti (pendiri) Pondok Modern Gontor pernah mengatakan kepada para santri-santrinya, kesuksesan para santri adalah ketika ia mampu membangun kampungnya (menjadi Kiai kampung). Inilah bentuk nasionalisme kaum santri yang sebenarnya ketika ia kembali ke kampung halamannya dan membangun kampungnya. Dimanapun ia berada ia bisa bermanfaat bagi keluaraga, masyarakat nusa bangsa dan agama. (*)