.
Thursday, November 21, 2024

Netizen Cerdas, Kritis dan Berempati

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Dewi Ratna Mutu Manikam
Pengelola Taman Bacaan “Mutiara Ilmu”,
tinggal Rampal Celaket Kota Malang

          “Media bukan hanya cermin realitas, tapi juga pembentuk persepsi publik. Kita harus bijak memilah informasi dan tidak terjebak dalam narasi yang dikonstruksi.” Kutipan dari dari Prof. Dr. Idi Subandy Ibrahim ini menggema dalam lanskap media kontemporer. Di era digital yang serba cepat ini, informasi melesat, nyaris tanpa jeda dalam kehidupan kita. Berita, gosip, dan opini bercampur aduk, seringkali sulit dibedakan satu sama lain.

          Media, dengan kekuatannya yang luar biasa, tak hanya merefleksikan realitas, tapi juga aktif membentuknya. Setiap headline, setiap angle pemberitaan, bahkan setiap kata yang dipilih, turut mewarnai cara kita memandang dunia. Namun, di balik kemampuannya menginformasikan, media juga menyimpan potensi untuk memanipulasi.

          Dalam pusaran informasi yang tak henti ini, kita, sebagai konsumen media, dituntut untuk lebih dari sekadar pasif menerima. Kita harus menjadi pemilah yang cerdas, pemikir yang kritis, dan penafsir yang bijak. Tantangannya bukan lagi sekadar mendapatkan informasi, tapi bagaimana menyaring dan memaknainya dengan benar.

          Dalam gemerlap dunia hiburan, kita seringkali terpesona oleh kilau bintang-bintang layar kaca. Mereka bak kunang-kunang di malam gelap, menarik perhatian dengan cahaya yang tak pernah redup. Namun, di balik sinar yang menyilaukan itu, tersembunyi bayang-bayang kelabu yang tak jarang luput dari pandangan mata. Inilah realitas dunia selebritas yang kerap kali menjadi santapan media dan publik, memicu kontroversi dan skandal yang mengguncang jagat maya.

          Kita hidup di era di mana informasi mengalir bagai air bah, membanjiri setiap celah kehidupan kita. Media sosial, berita daring, dan platform digital lainnya berlomba menyajikan cerita demi cerita, tak jarang dengan bumbu sensasi yang menggugah selera. Di tengah hiruk-pikuk informasi ini, kita, para netizen, seringkali terjebak dalam pusaran narasi yang dikonstruksi, tanpa sadar telah menjadi boneka dalam permainan framing media.

          Ambil saja kasus yang menimpa Sean “Diddy” Combs, raja hip-hop Amerika yang kini tersandung tuduhan kekerasan seksual. Berita ini menyebar bagai api dalam sekam, membakar reputasi yang telah dibangun selama puluhan tahun. Media berlomba mengulas setiap detail, mengupas setiap sudut kehidupan sang musisi.

          Publik pun terpecah, ada yang mengecam, ada pula yang membela. Namun, di tengah hiruk-pikuk ini, kita harus bertanya: sudahkah kita melihat kasus ini dari berbagai perspektif? Ataukah kita hanya menelan mentah-mentah apa yang disajikan media?

          Di belahan bumi yang lain, di negeri kita tercinta, kontroversi lain tengah bergulir. Kali ini, sorot kamera tertuju pada sosok Nikita Mirzani dan anaknya. Drama keluarga yang seharusnya menjadi urusan privat, kini menjadi tontonan publik. Media dan netizen berlomba memberikan komentar, menghakimi tanpa tahu seluk-beluk yang sesungguhnya. Kita lupa bahwa di balik sosok selebritas, ada manusia dengan segala kompleksitas hidupnya.

          Lantas, bagaimana kita sebagai netizen harus menyikapi fenomena ini? Apakah kita akan terus menjadi penonton pasif yang hanya bisa menelan bulat-bulat apa yang disajikan? Ataukah kita akan bangkit menjadi konsumen media yang kritis dan bijak?

          Pertama, kita perlu menyadari bahwa media, meski berperan penting dalam menyampaikan informasi, juga memiliki kepentingan tersendiri. Rating, klik, dan engagement menjadi tujuan utama yang tak jarang mengorbankan objektivitas. Oleh karena itu, kita harus selalu waspada terhadap framing yang dilakukan media.          Setiap berita, setiap artikel, bahkan setiap komentar di media sosial, perlu kita telaah dengan kritis. Jangan mudah terprovokasi oleh judul bombastis atau klaim sensasional. Selami lebih dalam, cari sumber-sumber terpercaya, dan bangun pemahaman yang utuh sebelum membentuk opini.

          Kedua, kita perlu mengembangkan empati. Selebritas, meski hidup di bawah sorot lampu, tetaplah manusia dengan hak privasi dan martabat yang harus dihormati. Sebelum menghakimi, cobalah untuk sejenak menempatkan diri kita di posisi mereka.

          Bagaimana rasanya jika setiap detail kehidupan kita dikuliti di depan publik? Bagaimana jika setiap kesalahan kita disorot dan dibesar-besarkan? Dengan mengembangkan empati, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi setiap kontroversi dan skandal.

          Ketiga, kita harus aktif dalam membentuk narasi. Jangan biarkan media dan segelintir pihak mendominasi wacana. Suarakan pemikiran kritis kita, bagikan perspektif yang berbeda, dan ajak orang-orang di sekitar kita untuk tidak mudah terjebak dalam narasi tunggal. Media sosial bisa menjadi alat yang ampuh untuk ini, asalkan kita menggunakannya dengan bijak dan bertanggung jawab.

          Keempat, edukasi diri dan orang lain tentang literasi media adalah kunci. Pahami bagaimana media bekerja, bagaimana algoritma platform digital memengaruhi apa yang kita lihat, dan bagaimana berita diproduksi. Dengan pemahaman ini, kita bisa lebih cerdas dalam mengonsumsi dan menyebarkan informasi.

          Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa kita, sebagai publik memiliki kekuatan untuk menentukan arah narasi. Setiap klik, setiap komentar, setiap share yang kita lakukan adalah suara yang turut membentuk wacana publik. Gunakan kekuatan ini dengan bijak. Jadilah agen perubahan yang mempromosikan diskusi yang sehat, bukan perpecahan.

          Dalam panggung layar kaca yang penuh kilau dan bayang ini, kita bukan sekadar penonton. Kita adalah partisipan aktif yang memiliki peran penting dalam menentukan arah cerita. Mari kita bangun kesadaran kolektif untuk menjadi netizen yang cerdas, kritis, dan berempati. Dengan begitu, kita bisa menciptakan ruang publik yang lebih sehat, di mana kebenaran dan keadilan bisa bersinar lebih terang dari sekadar sensasi sesaat.

          Jadilah cahaya yang menerangi sudut-sudut gelap, membongkar manipulasi, dan menyuarakan kebenaran. Karena pada akhirnya, narasi yang kita pilih untuk dipercaya dan disebarkan akan membentuk realitas yang kita hidupi bersama.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img