Beberapa bulan ini, sekolah-sekolah marak dan gencar beraksi no backpack day.Tentunya hal ini bukan tanpa tujuan. Diadopsi dari negara Amerika, ketika konsep ini nyaris diterapkan membuahkan tepuk tangan meriah karena mampu menghapus kesenjangan sosial antarpelajar. Benarkah demikian?
Dilansir dari Suara.com (2022), gerakan ini diinisiasi oleh seorang filantropis remaja bernama Mongai yang suatu ketika mengikuti ibunya ke negara tertinggal karena ibunya adalah aktivis HIV. Ia kerap ikut dengan ibunya dan menyadari banyak kesenjangan yang terjadi di masyarakat.
Mongai pun terketuk hatinya untuk melakukan kampanye ini. Ia menyadari masih banyak anak yang tidak bisa membawa tas ransel. Masih banyak pula anak yang menggunakan kresek dan alat lainnya hanya untuk membawa buku ke sekolah. Keprihatinan Mongai kemudian muncul dan menginisiasi gerakan tersebut.
Nah, konsep ini sempat dicoba di salah satu kelas sekolah boarding. Sebenarnya hanya bagian dari bentuk turut mengekspresikan diri dari tren yang belakangan viral ini. Namun, ternyata ketika diterapkan, justru hal ini punya efek positif di kalangan siswa.
Sepakat memang, ini semua akan memicu kreativitas siswa. Bagaimana tidak? Mereka diminta untuk membawa barang-barang keperluan sekolah dan perlengkapannya di hari itu tanpa tas. Ada yang membawa paperbag, kresek, timba, kardus, dibungkus kerudung segi empat, dan masih banyak keunikan yang lain-lain.
Hal ini selaras dengan profil pemimpin peradaban dunia yang menuntut siswa untuk piawai dalam berkreasi dan memunculkan ide unik dalam membawa barangnya ke sekolah.
Tak hanya itu, hal ini juga memberi dampak pada siswa untuk semakin percaya diri. Mengapa tidak? Mereka belajar untuk menanggalkan tas-tas brandedmereka dan menggantinya salah satunya dengan kresek.
Mereka berusaha mengelola rasa malu dengan baik. Berani untuk di-bully, “Ih, pakai kresek..” dan hanya dibalas dengan senyuman. Dalam artian, bukan masalah bagi orang lain (si penghina) bila mereka berpenampilan no branded karena tak merugikan siapapun. Justru mereka pede, mereka merasa unik, dan ini memang patut dicoba!
Setuju dengan Satiadarma dalam bukunya Dasar-dasar Psikologi Olahraga (2000), rasa percaya diri dapat memberi dampak positif pada seseorang. Jika seseorang memiliki rasa percaya diri yang tinggi, ia akan lebih mudah mengendalikan dirinya di dalam suatu keadaan yang menekan. Ia dapat menguasai dirinya untuk bertindak tenang dan dapat menentukan saat yang tepat untuk melakukan suatu tindakan.
Dengan memiliki rasa percaya diri yang tinggi, seorang individu akan lebih mudah memusatkan perhatiannya pada hal tertentu tanpa merasa terlalu khawatir akan hal-hal lainnya yang mungkin akan merintangi rencana tindakannya.
Individu dengan rasa percaya diri yang tinggi cenderung untuk mengarahkan tindakannya pada sasaran yang cukup menantang, karenanya juga ia akan mendorong dirinya sendiri untuk berupaya lebih baik.
Sedangkan mereka yang kurang memiliki rasa percaya diri yang baik cenderung untuk mengarahkan sasaran perilakunya pada target yang lebih mudah, kurang menantang, sehingga ia juga tidak memacu dirinya sendiri untuk lebih berkembang.
Individu dengan rasa percaya diri yang tinggi tidak mudah patah semangat atau frustrasi dalam berupaya meraih cita-citanya. Ia cenderung tetap berusaha sekuat tenaga sampai usahanya membuahkan hasil.
Sebaliknya mereka yang memiliki rasa percaya diri yang rendah akan mudah patah semangat dan menghentikan usahanya di tengah jalan ketika menemui suatu kesulitan tertentu. Individu dengan rasa percaya diri yang tinggi cenderung terus berusaha untuk mengembangkan berbagai strategi untuk memperoleh hasil usahanya.
Ia akan mencoba berbagai strategi dan berani mengambil risiko atas strategi yang diterapkannya. Sebaliknya mereka yang memiliki rasa percaya diri yang rendah cenderung tidak mau mencoba strategi baru, dan cenderung bertindak statis.
Dengan rasa percaya diri yang tinggi, seorang individu akan menjadi lebih tenang, ulet, tidak mudah patah semangat, terus berusaha mengembangkan strategi dan membuka berbagai peluang bagi dirinya sendiri. Akibatnya, hal ini akan memberikan kesempatan pada dirinya untuk memperoleh momentum atau saat yang tepat untuk bertindak. Tanpa rasa percaya diri yang tinggi, usaha individu menjadi terbatas, peluang yang dikembangkannya juga menjadi terbatas, sehingga momentum untuk bertindak menjadi terbatas pula (Satiadarma, 2000).
Konsep ini diikatakan juga akan menghapus kesenjangan sosial di kelas, tentu saja! Dengan tidak ada tas-tas yang terlihat mahal, sedang, sampai yang murah, mereka mencoba tampil dengan lebih sahaja. Mereka berhasil membunuh keangkuhan dan egoisme dalam berpenampilan elit bagi mereka yang memiliki tas ransel lebih bagus dibandingkan yang lain. Kesahajaan tersebut mampu mengundang tawa. Mereka akan menertawakan diri sendiri dan teman mereka. Keceriaan akan didapati sebagai selipan dalam helai hari mereka di sekolah pondok. Di tengah rasa rindunya yang kian gebu dan bertubi pada abah dan umi.
Sayang sekali bila konsep ini hanya dijalankan satu hari. Nilai-nilai positif yang terlahir di dalam konsepnya hanya bertahan sekejap. Ketika kembali berpenampilan menjadi hari seperti biasanya, kesenjangan akan mulai muncul lagi meskipun mereka duduk di bangku dan berbaju seragam yang sama.
Hendaknya memang tidak sekadar dicoba sekilas, bila dirasa banyak membuahkan manfaat, konsepno backpack day bisa jadi jadwal tersendiri untuk diterapkan di hari-hari khusus atau bahkan sepanjang hari.(*)