Kita hidup di zaman yang mengagungkan kesibukan. Kata sibuk seolah menjadi lambang kehormatan baru bahkan status sosial. “Tidur hanya tiga jam semalam,”, “kerja sampai lupa makan”, atau “gila kerja sampai bikin gila” terdengar seperti lencana keberhasilan. Inilah yang disebut hustle culture. Sebuah budaya yang menaruh produktivitas di atas segalanya.
Namun, ada sisi gelap yang jarang dibicarakan. Di tengah hiruk pikuk mengejar target, narsisme justru menemukan panggung yang sempurna. Apa yang dalam psikologi disebut Narcissistic Personality Disorder (NPD) kerap tersamarkan dan bahkan dipuji dalam era ini.
Hustle culture sering dipromosikan sebagai jalan menuju mimpi besar. “Kalau mau sukses, kerja tanpa henti,” begitu kata banyak motivator. Kenyataannya, banyak orang akhirnya terjebak bukan pada kerja keras yang sehat melainkan pada pencitraan kesibukan. Di sinilah perilaku narsistik mudah bersembunyi.
Seorang bos yang narsistik bisa terlihat seperti pemimpin visioner misalnya selalu berambisi, selalu penuh ide, dan menuntut semua orang bergerak cepat. Di balik itu, ia mungkin sedang mengeksploitasi bawahannya, memaksa mereka ikut lomba tanpa garis akhir.
Di media sosial, orang dengan kecenderungan narsistik bisa tampak seperti inspirasi: memamerkan pencapaian, membagikan jadwal padat, dan menampilkan kehidupan yang penuh energi. Padahal, semua itu bisa jadi hanyalah topeng untuk menutupi kekosongan batin. Hustle culture memberi legitimasi pada narsisme. Yang biasanya dianggap berlebihan, kini dipuji sebagai produktif. Yang biasanya disebut egois, kini disebut visioner.
Salah satu ciri utama NPD adalah kebutuhan berlebihan akan validasi dan pengakuan. Di era hustle culture, validasi itu datang dengan mudah. Pujian karena “kerja paling keras”, sorakan karena “tidak pernah berhenti berusaha”, serta likes dan komentar di media sosial ketika seseorang mengunggah betapa sibuknya hidup mereka. Perilaku narsistik yang dulu dianggap bermasalah, kini justru dianggap normal. Bahkan, dalam beberapa kasus, perilaku itu dijadikan standar kesuksesan.
Jika dalam Islam tentu tidak menolak kerja keras. Nabi Muhammad SAW adalah teladan orang yang berusaha sebaik mungkin. Para sahabat juga gigih menjemput rezeki. Namun dalam agama, yang membedakan adalah niat. Hustle culture sering menjadikan kerja keras sebagai alat untuk memperbesar ego. Aku harus terlihat lebih sukses, lebih unggul, dan lebih hebat. Padahal, Allah mengingatkan dalam Al-Quran:
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam banyaknya harta dan anak…” (QS. Al-Hadid: 20). Ayat ini menegaskan bahwa ketika kerja keras hanya untuk saling berbangga, ia tak lebih dari fatamorgana. Sejatinya, kerja keras yang bernilai adalah yang diniatkan lillah: untuk Allah, untuk kebaikan, bukan sekadar ego.
Narcissistic Personality Disorder (NPD) yang tumbuh subur di era hustle culture sering menjadikan manusia seolah-olah “tuhan kecil” bagi dirinya sendiri. Ada keyakinan palsu bahwa hidup bisa dikendalikan sepenuhnya jika kita cukup sibuk, cukup ambisius, dan cukup produktif.
Prestasi dijadikan tolak ukur tunggal, sementara sorotan publik dianggap sebagai bukti keberhasilan. Padahal, tubuh memiliki batas. Jiwa pun bisa rapuh. Hati selalu membutuhkan ketenangan yang tak bisa dibeli dengan pencapaian. Hustle culture sering kali menipu kita dengan ilusi bahwa keberhasilan hanya diukur dari apa yang tampak di mata manusia, bukan dari apa yang bernilai di hadapan Allah.
Agama mengingatkan bahwa hidup bukan hanya tentang “tampak luar”, melainkan tentang keseimbangan. Kita diminta bekerja untuk dunia seakan-akan hidup selamanya, namun beribadah untuk akhirat seakan-akan mati esok hari. Prinsip keseimbangan ini menjadi pelindung dari jebakan narsisme modern yang membuat manusia sibuk mengejar validasi tetapi kehilangan arti.
Pertanyaan mendasar bukanlah, “Apakah aku cukup sibuk?” melainkan, “Untuk apa aku sibuk?” Apakah kesibukan kita mendekatkan langkah pada Allah atau justru menjauhkan hati dari-Nya? Apakah prestasi yang kita raih memberi manfaat bagi sesama atau hanya memuaskan ego yang tak pernah kenyang?
Hustle culture bisa membuat narsisme tampak mulia. Sosok yang ambisius kerap dipuji sebagai visioner, meski kadang hanya sedang menutupi kehampaan batin. Banyak orang terlihat gemilang di luar tetapi runtuh di dalam. Di sinilah spiritualitas berperan. Ia mengingatkan bahwa kesibukan hanyalah jalan, bukan tujuan. Produktivitas hanyalah alat, bukan berhala yang harus disembah. Jika ambisi tidak ditopang iman, ia akan berubah menjadi jebakan yang menggerus hati.
Kita perlu berani berhenti sejenak untuk menata ulang arah. Sebab bekerja keras bukanlah larangan, bahkan bagian dari ibadah. Namun bekerja keras tanpa niat yang lurus akan membuat kita terjebak dalam pusaran narsisme yang melelahkan. Sudah saatnya kita belajar bekerja dengan rendah hati, berambisi tanpa kehilangan iman, dan sibuk tanpa kehilangan jalan pulang.
Pada akhirnya yang dinilai Allah bukanlah berapa banyak jam kita habiskan untuk sibuk, tetapi seberapa ikhlas niat di baliknya. Prestasi dunia boleh diraih, tapi jangan sampai mengorbankan kedamaian jiwa. Dunia hanya persinggahan dan bukan rumah abadi. Maka jangan biarkan ego yang haus sorotan menguasai diri. Biarlah kerja menjadi doa, prestasi menjadi amanah, dan kesibukan menjadi ladang ibadah. Dengan begitu, hidup kita tidak hanya penuh aktivitas, tetapi juga riuh makna: mendekatkan kita pada Allah bukan justru menjauhkan.(*)