Cerita Letkol Kes dr Hanafi Sp.B Bertugas di Jalur Gaza
Tak mudah jadi dokter di daerah konflik. Apalagi kawasan konflik berintensitas tinggi seperti di Jalur Gaza. Antara kemanusiaan dan selalu waspada. Itulah yang dialami Letkol Kes dr Hanafi Sp.B. Beberapa bulan lalu, dia bertugas di Jalur Gaza.
MALANG POSCO MEDIA-Selama empat bulan Letkol Kes dr Hanafi Sp.B berada di Jalur Gaza. Dokter RSAU dr Munir di kawasan Lanud Abdulrachman Saleh ini mengaku banyak pengalaman yang diperoleh di medan penugasannya itu. “Saya mulai bertugas 19 Desember 2024. Empat bulan di Gaza, Palestina. Saya kembali ke Malang April 2025,’’ kata Hanafi.
Di temui di sela-sela kegiatan Bakti Sosial Lanud Abdulrachman Saleh di Balai Desa Saptorenggo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Hanafi menceritakan mulai awal dirinya dikirim ke daerah konflik.
Yaitu setelah ia mendapat surat perintah dari Presiden RI. Bahwa ia masuk dalam tim Satgas Kesehatan Gaza Gelombang 2. Berangkat bersama 10 orang lainnya. Terdiri dari 11 dokter dan 14 tenaga medis. “Semuanya adalah anggota TNI. Baik dari TNI AU AD, maupun AL,’’ katanya.
Pria 50 tahun ini mengaku sama sekali tidak bimbang saat penugasan itu. Sekalipun berita tentang Israel menyerang Palestina belum mereda, dia menerima penugasan dengan ikhlas.
Singkat cerita, Hanafi pun terbang ke Gaza melalui rute Jakarta- Denpasar, Abu Dhabi, El Arish kemudian ke Gaza menggunakan jalur darat.
Sampai di Gaza, Hanafi kemudian diterima oleh kepala rumah sakit lapangan setempat. Selanjutnya dia mulai bertugas 20 Desember 2024. Saat itu, dia mendapat pasien pertama yaitu seorang pria tertembak di leher.
“Bersama tiga orang dokter lainnya kami melakukan tindakan operasi. Alhamdulillah pasien tersebut selamat. Setelah empat hari dirawat, dia diperbolehkan pulang,’’ tambahnya.
Namun demikian, saat melakukan tindakan operasi ini, Hanafi mengaku sempat deg-degan. Lantaran saat itu dia mendengarbunyi tembakan maupun ledakan bom di telinganya.
“Kami pernah bertugas di daerah konflik di Indonesia. Namun di Gaza, ini luar biasa. Karena hampir setiap saat kami suara tembakan. Di atas atap kami juga terdengar suara drone musuh yang melakukan pengintaian. Ada sedikit rasa khawatir memang. Namun bukan berarti jadi pecundang. Kami tetap menangani pasien dengan profesional.,’’ urainya. Dia menambahkan di pasien pertamanya itu, dirinya bersama tiga dokter lain, dari Uni Emirat Arab dan India. Dalam kamar operasi, mereka pun saling mendukung satu sama lain. Hinga akhirnmya pasien dengan peluru di tenggorokan tersebut tertangani dan pulang, empat hari setelah menjalani perawatan.
Selama berada di Gaza, Hanafi mengaku setiap hari menangani pasien. Selain pasien korban peperangan, ataupun warga lain yang sedang sakit. Bahkan di sana, dia mengoperasi pasien dengan penyakit usus buntu, khitan, dan penyakit lainnya..
“Operasi atau penanganan luka, kami bisa lakukan sampai lima kali per hari. Sedangkan pasien yang datang di rumah sakit bisa sampai 80 orang. Suasananya ya seperti yang saya ceritakan. Kerap kali menjalankan tugas, kami selalu mendengar suara senjata,’’ tambahnya.
Rumah sakit itu memang sangat ramai. Per hari sekitar 80 pasien datang untuk penanganan atau perawatan kesehatan.
Dia pun bersyukur, karena selama di Gaza selamat dari maut. “Padahal rumah sakit lapangan yang kami tempat itu rawan kontak senjata,’’ ungkapnya.
Karena menjalankan misi kemanusiaan, Hanafi pun nyaris tidak kemana-mana saat berada di rumah sakit tersebut. Selama di Gaza setiap hari dirinya lebih banyak di dalam rumah sakit. Dia juga wajib menggunakan rompi anti peluru untuk keselamatan.
“Pernah juga kamar kami diberondong peluru oleh Israel. Tapi Alhamdulillah semuanya selamat. Namun sejak saat itu, kami memilih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah sakit,’’ ungkapnya.
Kalaupun keluar rumah sakit, Hanafi mengaku bingung, lantaran di sana kotanya sudah hancur. Tidak ada gemerlap lampu di malam hari. Hampir semua bangunan runtuh. Hatinya miris saat melihat itu.
“Namun demikian, saya saat ini kembali. Sekarang sudah ada Satgas Kesehatan Gelombang III. Teman saya ikut ke sana,’’ ungkapnya.
Hanafi mengaku menjadi anggota TNI AU bukanlah cita-citanya. Apalagi dirinya dari keluarga tidak mampu.
Diceritakan Hanafi saat lulus SMA memilih bekerja sebagai kuli pasir. Pria asli Desa Sawentar Kecamatan Kanogoro Kabupaten Blitar ini kemudian secara iseng mendaftar ke perguruan tunggi. Melalui jalur UMPTN. Saat itu dirinya lolos menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Biaya kuliah, Hanafi memilih mencari sendiri. Dia juga banyak mendaftar beasiswa. Sampai saat duduk di semester tujuh. Dia mencari beasiswa di TNI. Upayanya berhasil. Dirinya diterima. “Tapi syaratnya setelah lulus kami harus bertugas sebagai anggota TNI. Saya lakukan sampai saat ini,’’ pungkasnya. (ira ravika/van)