Mengapa justru orang baik yang sering dimanfaatkan, diperlakukan tidak adil, atau bahkan dijadikan kambing hitam? Sejauh ini kadangkala kita tumbuh dengan keyakinan bahwa kebaikan akan selalu berbuah manis. Namun, realitas sosial dan psikologis menunjukkan cerita yang berbeda. Kebaikan tanpa batas justru sering membuka pintu bagi orang lain untuk melakukan eksploitasi.
Orang yang berusaha keras untuk selalu terlihat baik kerap menekan intuisi bahaya yang pada akhirnya jatuh ke dalam situasi yang merugikan diri. Fenomena ini begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari. Maksud hati ingin menolong sekitar, terlalu percaya pada orang dengan cepat, hingga rela diperlakukan tidak adil karena punya rasa tidak enakan alias people pleaser.
Ada rasa takut menolak karena khawatir melukai perasaan orang lain. Contoh nyata ada teman yang selalu rela dipinjam uangnya meski tidak pernah kembali dan rekan kerja yang menerima beban tambahan demi menjaga citra kooperatif. Ironinya, orang yang tak bisa menolak sering kali justru kehilangan rasa hormat. Padahal, jika sudah melampau batas, menolak bisa menjadi bentuk kebaikan pada diri sendiri.
Orang baik cenderung menjadi target kejahatan karena mereka tidak terbiasa mencurigai orang lain. Meski percaya adalah fondasi hubungan sosial, tanpa kesadaran kritis, rasa percaya bisa membuka pintu masuknya para manipulator dalam kehidupan kita. Selain itu, bisa jadi seseorang juga ingin selalu terlihat baik sehingga dirinya kerap memilih diam saat dirugikan. Menghindari konflik memang terlihat aman, tetapi sesungguhnya hanya menunda masalah dan memperkuat ketidakadilan.
Orang baik terkadang kerap dihantui rasa bersalah. Mereka merasa jika menolak berarti egois. Padahal, hal tersebut justru menjaga stabilitas diri. Tidak sedikit mereka yang rela mengorbankan kebutuhan pribadi hanya agar tidak dianggap cuek, ingin dianggap ramah, baik hati, dan sebagainya. Orang baik sering mengukur diri dari seberapa banyak mereka disukai. Begitu apresiasi tak lagi datang, mereka merasa hampa. Hal ini membuat mereka sangat mudah dipermainkan oleh pujian maupun kritik.
Robin Norwood dalam Women Who Love Too Much menyoroti fenomena orang yang mencari makna hidup dengan memperbaiki orang lain. Contohnya, mereka bertahan dalam hubungan toxic dengan harapan bisa “menyembuhkan” orang lain. Niat baik ini berakhir sebagai penyiksaan emosional, bukan kebahagiaan. Pahitnya, ada orang yang memang menikmati menyakiti orang lain.
Orang baik begitu percaya bahwa hampir semua orang berhati mulia sehingga kadang membiarkan orang lain menjadi kendali atas hidup mereka. Jelas bahwa orang baik bukanlah korban karena kebodohan, melainkan kebaikan yang tak diimbangi dengan sadar menjaga batas diri. Seharusnya orang baik dengan kekhasan people pleaser-nya belajar menjadi tegas untuk cerdik melepaskan diri dari umpan dan kontrol mereka yang oportunis.
Dalam agama Islam mendorong umatnya untuk berbuat baik dengan tetap menjaga kehormatan, batas diri, serta kewaspadaan agar tidak jatuh dalam penindasan. Dengan demikian, kebaikan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang berdiri di atas kebijaksanaan.
Akhirnya, menjadi orang baik memang tidak selalu mudah. Dalam realitas sosial, kebaikan bisa berbalik menjadi jebakan, membuat seseorang kehilangan batas hingga mudah dimanfaatkan. Namun, dari sudut pandang iman, tidak ada kebaikan yang sia-sia. Sekecil apapun ketulusan, Allah akan mencatat dan membalasnya. Allah berfirman: “…Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At-Taubah: 120)
Pertolongan Allah tidak selalu hadir dalam bentuk yang kita harapkan. Kadang, ia justru datang dengan cara yang mengejutkan. Barangkali kita akan dijauhkan dari orang-orang yang memanfaatkan, diberi keberanian untuk berkata tidak, dibukakan mata hati agar lebih peka, atau dipertemukan dengan lingkungan baru yang lebih sehat. Semua itu adalah bentuk penjagaan, meski awalnya terasa menyakitkan.
Sebagaimana firman-Nya: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Inilah pelipur lara bagi setiap people pleaser yang sering merasa kebaikannya hanya dimanfaatkan. Ada kalanya hati terasa hampa ketika kebaikan yang diberikan justru dibalas dengan pengabaian bahkan pengkhianatan. Namun, penting untuk diingat bahwa manusia bisa mengecewakan, tetapi Allah tidak pernah menelantarkan hamba-Nya.
Kasih sayang-Nya jauh lebih besar daripada rasa sakit yang pernah ditorehkan oleh manusia. Justru dalam setiap luka, Allah sedang mengajarkan kita bahwa bergantung pada makhluk hanyalah sumber rapuh, sedangkan bersandar kepada-Nya adalah sumber kekuatan sejati.
Diperlukan kebijaksanaan akal untuk menuntun langkah agar kita tetap bisa memberi dengan tulus tanpa kehilangan arah dan kendali atas diri. Kebaikan harus dilakukan berkesadaran untuk menjaga keseimbangan antara hati yang lembut dan pikiran yang jernih. Dalam setiap ketetapan-Nya, tidak ada yang sia-sia, semuanya adalah yang terbaik.
Kebaikan yang tulus meski kerap tidak dihargai manusia tetap menjadi jalan menuju pertolongan dan kemuliaan di sisi Allah. Di sanalah letak kedamaian seorang hamba bahwa setiap kebaikan akan kembali kepadanya melalui jalan yang Allah pilihkan dan tentu dalam rida-Nya.(*)