Oskab

MALANG POSCO MEDIA – Orang Malang menyebutnya ‘’oskab’’, bakso, makanan yang identik sebagai makanan wong cilik yang murah harganya dan cukup bergizi. Tidak terhitung berapa banyak tukang bakso di sekitar kita. Tidak ada asosiasi tukang bakso yang tercatat resmi yang bisa memberi data jumlah tukang bakso.

Tapi, dengan melakukan observasi di jalan selama satu jam kita bisa tahu betapa banyaknya tukang bakso di sekitar kita. Bakso jelas menjadi salah satu sektor informal yang menyelamatkan ekonomi rakyat.

Jarang-jarang tukang bakso menjadi perbincangan nasional. Tapi kali ini tukang bakso naik kelas karena jadi perbincangan di arena rapat kerja nasional (rakernas) PDIP (Partai Demokrasi Perjuangan), partai besar yang menjadi pemenang pemilu dan menjadi partai penguasa atau the ruling party.

Adalah Megawati Sukarnoputri yang menyebut tukang bakso dalam sambutannya ketika membuka rakernas (22/6). Berbicara di luar teks Megawati bercerita mengenai kepemimpinan nasional. Lalu ia menceritakan pengalaman pribadinya ketika mencari menantu untuk anak dan cucunya. Saat itulah Mega bercanda dengan menyebut bahwa ia mengingatkan anak cucunya jangan sampai mencari jodoh seperti tukang bakso.

Maunya bercanda, tapi sekalangan netizen menyebut Mega rasis dan diskriminatif terhadap orang miskin. Salah satu netizen menyindir dengan mengatakan bahwa PDIP selalu mengklaim sebagai partai wong cilik tetapi ternyata rasis terhadap rakyat kecil. Lainnya menyebut lebih baik jadi tukang oskab—bakso dibaca terbalik, gaya Malang—ketimbang jadi menteri tapi mengembat dana bansos.

Seharian tukang bakso menjadi trending topic di media sosial. Tim monitoring media PDIP rupanya mengetahui gelagat buruk ini dan melapor kepada Mega. Setelah upacara penutupan rekernas (23/6) ritual public relation dilakukan dengan beramai-ramai makan bakso dari gerobak bakso yang diundang ke kantor PDIP di Lenteng Agung.

Ini bukan insiden pertama netizen ramai-ramai merundung Mega. Ketika krisis minyak goreng tengah memuncak Maret lalu Mega mempertanyakan emak-emak yang bersusah-payah antre minyak goreng sampai berdesak-desakan. Mega mengaku heran mengapa emak-emak memburu minyak goreng, padahal seharusnya makanan bisa diolah dengan mengukus dan tidak selalu memakai minyak goreng.

Sontak komentar Mega ini disahut beramai-ramai oleh netizen. Viral dan trending topic berhari-hari menjadikan Megawati dan PDIP bertahan total dari serangan netizen. Pundit politik menganggap pernyataan Mega tidak sensitif dan kurang peka terhadap realitas sosial. Ketika rakyat menjerit karena kelangkaan minyak goreng akibat kesalahan kebijakan pemerintah, Mega malah menyalahkan rakyat yang sudah susah.

Penyelesaian yang dilakukan lebih banyak pencitraan ketimbang menyelesaikan persoalan yang substansial. Chef-chef terkenal diundang dan para elite politik dikumpulkan dan bersama-sama pamer cara masak tanpa menggunakan minyak goreng. Acara selesai, dan urusan dianggap selesai juga.

Komitmen PDIP sebagai the ruling party terhadap wong cilik banyak dipertanyakan. Kebijakan pemerintah Jokowi–yang dalam beberapa hal dianggap tidak pro terhadap wong cilik–membawa dampak ‘’damaging’’ terhadap citra PDIP sebagai partai wong cilik.

Undang-Undang Cipta Kerja, yang cenderung dipaksakan, menjadi salah satu simbol pembelaan terhadap pemodal ketimbang kepada buruh sebagai representasi wong cilik.

Otoritas dan legitimasi Megawati di PDIP sangat kuat dan nyaris mutlak. Hal itu terlihat dalam pelaksanaan rakernas selama dua hari. Mega benar-benar ingin menunjukkan bahwa dia berada dalam ‘’full control’’ terhadap PDIP. Mega menunjukkan kepada publik ‘’who’s the boss’’, dialah bos dan sang supremo yang sesungguhnya.

Mega memanggil Jokowi ke ruangannya sebelum pembukaan rakernas. Video yang beredar menunjukkan Puan Maharani mengevlog dan menunjukkan Jokowi duduk di kursi menghadap Megawati yang duduk di kursi kulit menghadapi sebuah meja besar. Jokowi kelihatan seperti seseorang yang sedang menghadap atasan, atau seseorang yang sedang mengurus surat ke kelurahan.

Show of force oleh Mega juga dipamerkan pada penutupan rapat dengan menunjuk Ganjar Pranowo sebagai pembaca hasil rekomendasi rakernas. Salah satu poin utama adalah bahwa keputusan calon presiden dan wakil presiden dari PDIP adalah hak preogratif mutlak sang ketua umum. Ganjar diperlakukan seperti anak SD yang suka membolos dan disetrap maju ke depan kelas.

Banyak kritikus yang menyayangkan ‘’show of force’’ terhadap Jokowi. Megawati dianggap kurang respek terhadap Jokowi sebagai presiden. Cara Mega memperlakukan Jokowi sebagai petugas partai mendegradasikan wibawa Jokowi sebagai orang nomor satu di Republik.

Cara Puan Maharani membuat vlog dengan memunggungi Jokowi dianggap kurang memberi respek kepada presiden. Bocornya video itu ke publik dan menjadi viral dianggap sebagai kesengajaan untuk pamer kekuatan kepada publik. Seorang aktivis medsos yang pro-Jokowi bahkan menyebut Puan tidak layak menjadi calon presiden atau wakil presiden.

Megawati memang anak biologis Bung Karno. Tetapi banyak kritikus yang menyebut Megawati bukan anak ideologis dari bapaknya. Komitmen terhadap wong cilik yang menjadi tonggak perjuangan Bung Karno sudah semakin luntur pada PDIP.  Bung Karno merumuskan komitmennya terhadap wong cilik melalui ‘’Marhaenisme’’ yang menjadi ciri khas sosialisme Indonesia yang berbeda dari sosialisme di negara-negar lain.

Sudah sangat lama Megawati tidak terdengar berbicara mengenai Marhaenisme. Momen makan bakso kemarin harusnya dipakai untuk merefresh pemahaman mengenai Marhaenisme, supaya Mbak Mega tidak lupa.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru