Konflik Palestina yang kian pelik pada dua bulan terakhir ini semakin menyedot perhatian dunia internasional. Ditambah dengan dunia yang makin terhubung dengan jaringan, membuat apa yang terjadi di kawasan Timur Tengah itu dalam hitungan detik sudah tersebar rata di belahan bumi mana pun.
Berita-berita yang tersebar tersebut tentunya mampu menggiring seseorang untuk mempunyai persepsi yang berbeda tentang konflik Palestina-Israel. Bahkan ada yang menyebutnya lebih sempit yaitu konflik Hamas-Israel.
Namun sejauh apapun orang beropini tentang sejarah Palestina yang ditelusur dari tahun 1948 atau yang jauh di tahun 70 SM setelah Kekaisaran Romawi menghancurkan Kuil Yerusalem dan menyebabkan diaspora orang Yahudi, Gaza yang merupakan wilayah Palestina di bagian Timur faktanya kini adalah sebuah penjara besar dengan tembok yang mengelilingi penduduknya.
Jelas, rakyat Palestina di Gaza ini terbatas segala akses kehidupannya. Mereka seakan terampas hidupnya di bawah tekanan penjajahan Israel yang telah mengambil tanah dan keadaulatan mereka. Bukan hanya ekonomi dan pekerjaan, pendidikan dan kesehatan juga sangat minim. Tentu ini sangat tidak manusiawi di era modern di mana hak asasi manusia wajib dijunjung tinggi.
Maka tak heran manakala perang kembali pecah seperti sekarang dengan gambaran langsung yang ada di wilayah tersebut membuat hati teriris dan nurani terusik. Slogan yang menyatakan hanya cukup menjadi seorang manusia untuk dapat merasakan penderitaan Palestina, mampu untuk menjawab bagaimana kemanusiaan sepertinya ditinggalkan di sana.
Penderitaan, duka, dan nyawa seakan menjadi bagian keseharian rakyat Palestina (Gaza) yang tetap tak goyah berdiri di atas tanah mereka, meski penjajah menghancurkan semuanya.
Sementara itu empati yang menjadi bagian dari perasaan diri untuk bisa merasakan, bisa menyelami, dan seakan dapat memahami penderitaan orang lain adalah sesuatu yang bisa dihadirkan. Seseorang yang tidak memiliki empati hidupnya akan gersang. Mereka tidak akan berbelas kasih serta mampu berbuat tega demi tujuan hidupnya.
Dalam tataran pendidikan, empati dapat ditransfer sebagai ilmu pengetahuan dan nilai-nilai dalam berbagai cara. Metode seperi bercerita, menonton drama atau film, membaca novel, bersedekah, atau bakti sosial membantu korban bencana alam dapat menjadi cara untuk menghadirkan empati dalam diri seorang anak.
Lalu kini ketika dunia yang makin terhubung dengan media sosial, melalui potret dan video korban-korban yang ada di Palestina, rasanya mengajarkan empati terasa lebih mudah. Media sosial telah menjadi alat yang kuat dalam membagikan cerita-cerita yang sebelumnya mungkin terlupakan atau tidak terdengar oleh masyarakat global. Inilah bagian dari kekuatan teknologi yang membuat pengalaman orang-orang di Palestina dapat diakses dan dipahami oleh sebagian besar orang-orang di belahan dunia lain. Hanya orang yang tak memiliki empati saja yang tak punya belas kasih dalam hatinya mengenai masalah ini. Anehnya, segelintir orang yang tersebut memang ada. Mereka berusaha memutarbalikkan fakta dan menutupi penderitaan bagaimana tembok besar apartheid, rasisme, dan superior mengelilingi Gaza seperti sebuah penjara besar. Juga pengusiran-pengusiran warga Palestina yang terus terjadi setiap saat oleh pemukim Yahudi hingga kini.
Mereka mengatakan aksi brutal Israel ini adalah ulah Hamas yang menyerang terlebih dahulu ke Israel. Mereka juga selalu menulis di komentarnya bahwa Israel adalah bangsa yang seharusnya menduduki Palestina. Juga anggapan bahwa Hamas sering merobek perdamaian yang telah tercipta di kawasan itu.
Persepsi mereka ini jelas dipengaruhi oleh pemberitaan berbeda yang mereka yakini benar adanya. Label bahwa Hamas yang didukung oleh rakyat Gaza tak lain adalah mereka orang-orang yang salah.
Di sinilah sebenarnya teori social labelling yang dicetuskan Howard S. Becker (1963) berlaku. Teori ini menyatakan bahwa label yang diberikan oleh kepada seseorang atau komunitas akan mempengaruhi dan berdampak pada masyarakat tersebut.
Seperti halnya Hamas yang selama ini diidentikkan media Barat sebagai teroris yang selalu meresahkan dan membuat ulah. Hamas dianggap orang-orang kejam yang tega memenggal bayi (meski tidak terbukti berita tersebut) dan dianggap sebagai manusia bar-bar gurun pasir yang selalu membawa malapetaka. Label ini dari tahun ke tahun senantiasa disebarkan media pro-zionis di seluruh dunia.
Label tersebut semakin membuat masyarakat Gaza semakin terpuruk karena berita media yang menuduh kelompok Hamas bersembunyi di tengah-tengah mereka dan harus dihancurkan. Maka tak heran dengan dalih mengebom persembunyian Hamas, tindakan Israel yang disetujui oleh Amerika dan sekutunya dengan bebasnya mengebom rumah penduduk, rumah sakit, bahkan rumah ibadah. Akibat dari media juga, segelintir orang Indonesia pun melabeli Hamas yang berupaya memerdekakan tanah air mereka itu sebagai teroris yang tak pantas didukung.
Mungkin ini bukan masalah pantas atau tak pantas didukung (jika empati sudah tidak ada lagi). Namun jika merujuk pada UUD 1945 yang di awal paragrafnya berbunyi ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan …” maka saya teringat koran-koran Belanda tahun 1940-an yang dengan mudahnya melabeli gerilyawan Republik sebagai ekstrimis dan teroris yang harus dihancurkan.
Penulis juga yakin pasti ada juga orang-orang Indonesia yang waktu itu tidak suka dengan gerilyawan yang katanya menjadi sumber ancaman perdamaian. Meski anak cucunya kini bisa menghirup kemerdekaan berkat gerilyawan yang dulu dikecamnya.(*)