Industri pangan merupakan skema usaha yang akan terus berkembang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya peningkatan pertumbuhan usaha makanan dan minuman sebesar 4,62 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada periode yang sama sebesar (kuartal II/2023).
Hal menarik terkait industri pangan dan minuman adalah konsep ataupun inovasi yang ditawaran ke pihak konsumen. Adanya platform dan media sosial menciptakan satu istilah baru yang lebih familiar di kalangan masyarakat yaitu “pangan kekinian.”
Pangan ataupun minuman kekinian merujuk pada hasil olahan yang viral atau populer di kalangan masyarakat. Sayangnya, jika kita kaji dari segi sains dan teknologi, tidak jarang, pangan dan minuman kekinian yang viral di tengah masyarakat, tercipta tanpa memperhatikan komposisi dan dampak jangka panjang terhadap kesehatan.
Pada dasarnya, pangan memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi primer, sekunder, dan tersier. Fungsi primer pangan merujuk pada fungsi pangan yang utama bagi manusia yaitu, pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan bobot tubuh.
Setelah pemenuhan fungsi primer, sebaiknya pangan diolah agar memenuhi fungsi sekunder. Fungsi sekunder yaitu, pangan harus memiliki penampakan dan cita rasa yang baik. Pengembangan produk lebih lanjut, pangan dapat memenuji fungsi tersier yaitu, pangan dan minuman dapat memberikan efek fisiologis baik selain zat gizi yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tampaknya pangan ataupun minuman kekinian lebih mengutamakan pada peran pangan yang kedua yaitu terkait penampakan dan cita rasa. Masyarakat yang mengusung tren pangan viral, cenderung melupakan fungsi pangan primer dan juga tersier.
Beberapa pangan kekinian yang viral di media sosial menggunakan metode penggorengan, bahan baku komposisi tepung, dengan tambahan bumbu pedas dengan “level” tertentu sesuai dengan tingkat kepedasan yang digunakan. Penggunaan bahan baku tepung dan metode olah gorengan tentunya akan berdampak pada peningkatan obesitas karena tinggi kalori. Sedangkan penggunaan bumbu pedas dengan kuantitas yang tinggi tentunya memicu asam lambung dan iritasi dinding lambung.
Hal menarik lainnya juga tampak pada tren minuman kekinian yang cenderung mencampur berbagai komposisi dan toping. Seperti susu, gula, perasa, cream, boba, dan sebagainya tanpa menakar kadar pemanis yang digunakan. Tentunya hal ini beresiko terhadap diabetes dan obesitas jangka panjang bagi konsumen.
Secara sains dan teknologi, sesungguhnya ada banyak sekali bahan baku, bahan tambahan, serta metode pengolahan yang bisa digunakan sebagai alternatif konsep pangan dan minuman kekinian. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia sangat suka dengan menu-menu kudapan yang mengenyangkan dan memiliki rasa gurih.
Pengusaha pangan kekinian bisa menggunakan bahan baku umbi, biji, dan serelia yang memiliki indeks glikemik (IG) baik serta pengolahan pangan menggunakan metode kukus. Jika pun ingin mendapatkan sensori crispy (renyah), pengolahan menggunakan vacuum fryer ataupun air fryerbisa digunakan.
Terkait minuman kekinian, penggunaan bunga, buah, bahkan rempah sangat menarik untuk dikembangkan. Rasa manis alami dari fruktosa menjadi bahan untuk mengurangi dampak diabetes bagi konsumen. Selain itu, penggunaan berbagai bahan alami yang berwarna, tentunya dapat memiliki nilai fungsional karena adanya flavonoid yang dihasilkan.
Aroma yang menggiurkan bisa menjadi inovasi tersendiri dengan menggunakan bahan-bahan alami tersebut, selama kandungan terpenoid yang ada dijaga dalam teknik pengolahan yang baik. Lebih lanjut, bahkan cokelat (kakao) sendiri yang biasa digunakan pada minuman kekinian, sesungguhnya dapat menjadi produk olahan yang fungsional dan rendah indeks glikemik, selama komposisi persen yang digunakan lebih dominan dan bahan baku yang digunakan adalah biji kakao hasil fermentasi. Biji kakao hasil fermentasi memiliki cita rasa yang menarik dan kandungan polifenol yang tinggi.
Inovasi pengolahan pangan ataupun minuman kekinian melibatkan sains dan teknologi sesungguhnya tidak membutuhkan biaya serta peralatan yang mahal. Beberapa hasil riset dan juga prototype mesin olah pangan skala menengah ke bawah dapat digunakan selama pengetahuan terkait zat gizi dan metabolit sekunder (nutrasetikal) yang ingin digunakan jelas.
Indonesia pun kaya akan bahan alam yang beragam dan sangat prospek untuk dieksplor. Berbagai kajian bahwa webinar di perguruan tinggi terkait konsep ini juga sering dibahas. Tampaknya, dunia industri pangan ataupun minuman kekinian menunggu generasi milenial serta generasi-Z untuk menangkap peluang tren kekinian berbasis sains dan teknologi.
Komunitas penggerak dan akrab dengan petani menjadi kunci langkah awal konsep ini diusung. Selain itu, diperlukan dukungan media masa serta strategi market yang pas untuk branding. Jika peluang ini diambil, tentunya pangan ataupun minuman kekinian akan tampak lebih advantagedan benar-benar naik level sehingga konsumen Indonesia dapat menikmati konsep olahan bukan hanya yang estetik di layar media sosial namun juga memenuji tiga fungsi dari pangan tersebut.(*)