Ada kalimat puitis dari gunjingan warung kopi yang menarik ketika muncul berita mengejutkan. Dua pemimpin pasukan berbayar (yang menyebut diri relawan). Yang satu ketahuan divonis pidana tapi tidak dieksekusi bertahun-tahun karena dilindungi ‘kekuasaan’ sehingga memicu pedihnya luka ketidak-adilan. Satunya lagi ketangkap basah atas dugaan tindak pidana korupsi.
Kalimat puitisnya jadi begini bunyinya: “Mereka adalah ‘bunga bangkai’ demokrasi. Mekar hanya saat pemilu, menyebarkan bau transaksi, sampai musim berikutnya mati suri. Atau mati beneran karena ketangkap basah korupsi, atau ketahuan identitas aslinya yang ternyata napi.”
Kasihan bagi mereka yang benar-benar ‘relawan’ dan aktivis sejati yang seharusnya berperan sebagai volunteer, memperjuangkan idealisme dan mengabdi kepentingan rakyat, negara dan bangsa, menjadi tercoreng karena ulah oknum-oknum yang ternyata ‘tidak rela’, membentuk organisasi bayaran bak perusahaan tanpa bayar pajak, mencari keuntungan dari majikan yang mau membayar.
Fenomena sosial-politik seperti ini menarik untuk dijadikan kajian literatif, apakah fenomena seperti ini juga terjadi di luar negeri, di negara demokrasi yang maju?. Praktik dimana pemimpin relawan kampanye (grassroots volunteers) mendapatkan jabatan politik atau posisi di badan milik negara pasca-kemenangan pemilu ternyata sangat jarang ditemukan dalam bentuk yang sama di demokrasi maju. Alasannya terkait dengan sistem birokrasi, aturan hukum, dan budaya politik yang telah mapan.
Di Amerika dan Eropa Barat, telah melembaga penerapan sistem meritokrasi dan civil service. Negara-negara seperti Inggris, Jerman, Kanada, dan lainnya memiliki layanan sipil (civil service) yang sangat profesional dan non-partisan. Pegawai negeri diangkat berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan pengalaman, bukan loyalitas politik. Jabatan-jabatan birokrasi teknis tidak boleh diisi berdasarkan balas jasa politik.
Di demokrasi maju, posisi di perusahaan milik negara (state-owned enterprises) biasanya diisi oleh profesional dari kalangan bisnis, industri, atau akademisi dengan rekam jejak yang proven. Tujuannya adalah agar BUMN dikelola secara profesional untuk menghasilkan keuntungan bagi negara, bukan menjadi alat balas jasa politik.
Mengangkat seorang relawan sebagai Komisaris atau Direktur BUMN utama tanpa latar belakang yang relevan akan dipandang sebagai korupsi politik (political corruption) dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang merugikan keuangan negara.
Apa yang terjadi di Indonesia adalah perpaduan antara “spoils system” ala AS yang tidak terkontrol dan patron-klien yang kuat. Sistem birokrasi yang belum fully meritokratis memungkinkan jabatan-jabatan yang seharusnya teknis diisi berdasarkan loyalitas. Inilah yang membedakannya secara fundamental.
Fenomena relawan berbayar sangat terkait dengan konsep electoral corruption (korupsi elektoral). Praktik “membeli suara” (vote buying) dan menggunakan uang untuk membayar intimidasi adalah bagian dari korupsi elektoral. Dana yang didapat dari korupsi (seperti kasus pemerasan sertifikasi) dapat dialirkan kembali untuk membiayai mesin politik dalam pemilu berikutnya, menciptakan siklus korupsi yang berkelanjutan.
Ini merujuk pada isu problem of “Dirty Campaign Money.” Banyak studi, termasuk dari Transparency International, membahas bagaimana uang haram (dari korupsi, oligarki, premanisme) digunakan untuk membiayai kampanye. Imbal baliknya, setelah menang, kebijakan dan jabatan harus diberikan untuk “membayar utang” kepada para penyandang dana dan mesin politik ini.
The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam Democracy Index secara konsisten menempatkan Indonesia dalam kategori “flawed democracy” (demokrasi cacat). Indikatornya adalah: Proses elektoral dan pluralisme: Cukup baik. Kebebasan sipil: Mulai terkikis dan Fungsi pemerintahan: Buruk.
Menurut EIU inilah intinya! Kelemahan fungsi pemerintahan disebabkan oleh korupsi yang masif, lemahnya penegakan hukum, dan rendahnya akuntabilitas publik. Di Indonesia fenomena “jabatan untuk relawan” tercermin pada kasus korupsi yang terjadi serta penundaan eksekusi vonis pengadilan.
Perjalanan untuk menjadi demokrasi yang matang (consolidated democracy) masih sangat panjang, dan memerlukan perbaikan fundamental di bidang penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan penguatan institusi birokrasi yang meritokratis. Ini semua merupakan prasyarat absolut, karena sangat rentan dengan politik uang.
Konsep politik sebagai investasi menjelaskan bahwa para penyandang dana (oligark) dan “pasukan” (preman/ relawan) memandang kontribusi mereka bukan sebagai sumbangan, melainkan sebagai investasi. Bagi oligark ini adalah investasi untuk mendapatkan kebijakan yang nilainya bisa ribuan kali lipat dari dana yang mereka berikan. Bagi pasukan/ relawan, ini adalah investasi tenaga dan loyalitas untuk mendapatkan imbal balik materiil (material rewards) setelah kandidat mereka menang.
Situasi yang demikian membentuk siklus yang meluas dan mengakar (The Vicious Cycle of Corruption). Dan ini adalah ‘kanker ganas’ dalam sistem pemerintahan negara. Korupsi bukan lagi sebagai penyimpangan, tetapi telah menjadi “cara beroperasi” (modus operandi) dari sistem politik itu sendiri.
Solusi jangka panjangnya, selain penegakan hukum yang kuat, adalah: Reformasi pendanaan politik, netralitas birokrasi dan BUMN serta pendidikan politik elektoral. Tanpa memutus siklus setan ini, demokrasi Indonesia akan tetap menjadi “flawed democracy” – demokrasi yang secara prosedural ada, tetapi secara substansial direnggut oleh korupsi.
Sangat disayangkan memang. Transformasi dari aktivis idealis menjadi “preman kerah putih” (relawan palsu) yang menjadi bagian dari mesin korupsi adalah sebuah tragedi yang melukiskan betapa kuatnya daya rusak sistem yang korup. Mereka bukan lagi agen perubahan, melainkan agen transaksional. Lalu harus bagaimana? Entahlah!. Yang jelas dikisaran peringatan Kemerdekaan RI ke-80, para pahlawan pejuang bangsa sedang meratap sedih.(*)