Malang Posco Media – Tersirat optimisme baru yang menyembul saat peluncuran hasil Pendataan Keluarga (PK) 2021 oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada akhir 2021 yang lalu. Ada harapan baru, sebab banyak keluarga berpotensi stunting atau tengkes telah terpetakan dengan sangat baik. Dengan demikian, penuntasan masalah tengkes akan lebih baik, lebih fokus dan terarah berkat ketersediaan data kependudukan dan keluarga yang sangat lengkap. Harapannya penurunan target stunting hingga 14 persen pada akhir 2024 akan terwujud.
Merujuk pada laman p2ptm.kemkes.go.id (April 2018), stunting menjadi ancaman generasi masa depan Indonesia. Stunting merupakan kondisi ketika balita memiliki tinggi badan di bawah rata-rata akibat masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama, terjadi mulai dari dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun atau periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Dampak stunting tidak sekadar masalah fisik, kognitif, ataupun mental, namun meluas hingga masalah sosial, ekonomi, dan kesehatan, seperti rendahnya produktivitas dan risiko tinggi menderita berbagai penyakit tidak menular (PTM), seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas, baik di masa kini maupun di masa depan.
Celah di Tengah Optimisme Baru
Data PK 2021 menyebutkan bahwa dari 36,66 juta pasangan usia subur berusia 15-49 tahun, terdapat 1,45 juta orang atau 4 dari 100 pasangan usia subur, sedang hamil. Dari jumlah ibu hamil tersebut, bisa dipetakan berbagai kondisi ibu hamil yang berpotensi melahirkan anak dengan kondisi stunting. Misalnya ibu hamil terlalu muda (< 20 tahun) sebesar 3,45 persen. Kemudian 16,89 persen hamil terlalu tua (>35 tahun). Selain itu, sebanyak 9,58 persen ibu hamil terlalu banyak (> dua anak) dan 9,27 persen ibu hamil memiliki jarak kelahiran antar anak yang terlalu dekat (< 3 tahun).
Di tengah optimisme baru hasil PK 2021 tersebut, masih tampak jelas bahwa persoalan dan peran kaum Ibu (hamil) terkait stunting lebih banyak disoroti ketimbang komponen lain dalam keluarga yang sejatinya tidak kalah penting dan cenderung terlupakan, sehingga menyisakan celah.
Misalnya peran sentral seorang ayah sebagai kepala keluarga yang umumnya juga sumber utama dan pengendali ekonomi sebuah keluarga. Dalam domain keluarga serta budaya patriarki, sosok ayah dalam memiliki otoritas utama terhadap perempuan, anak-anak, serta fungsi utama ekonomi keluarga. Peran ekonomi terasa sekali masih kurang signifikan dalam mengatasi stunting.
Terkait peran dan fungsi kepala keluarga, BKKBN merilis delapan fungsi keluarga. Setidaknya ada dua fungsi keluarga yang utama yang sangat lekat dengan isu penuntasan stunting, yakni fungsi reproduksi dan fungsi ekonomi. Alokasi anggaran, baik pengeluaran untuk makanan maupun non-makanan merupakan fungsi ekonomi yang fundamental. Pola pengeluaran yang “tidak sehat” dan cenderung counterproductive mulai terjadi pada saat kepala keluarga adalah perokok aktif.
Sebuah riset menarik dilakukan oleh tim dari Universitas Indonesia (UI) (Syarif et el., 2018), bertajuk Daily Consumption of Growing-Up Milk (GUM) is Associated with Less Stunting among Indonesian Toddlers, menyimpulkan bahwa konsumsi 300 ml susu pertumbuhan setiap hari dapat membantu mencegah stunting pada balita.
Pengalaman empiris di lapangan diperoleh penulis, saat melakukan penelitian untuk disertasi doktor, bulan Juni hingga September 2021. Penelitian dilakukan di dua provinsi (Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta) yang meliputi dua kabupaten (Malang dan Bantul) dan dua kota (Malang dan Yogyakarta).
Di setiap lokasi penelitian, masih dapat dijumpai dengan mudah Ibu yang “terpaksa” memberikan susu kental manis (SKM) untuk baduta mereka, sementara ayah adalah perokok aktif. SKM adalah produk yang secara nutrisi, sama sekali tidak cocok untuk anak usia pertumbuhan karena kandungan tinggi gula dan rendah protein. Kurangnya literasi gizi dan lemahnya ekonomi menjadi sebab utama kondisi seperti ini.
Aksi Mengatasi Ironi
Mengacu pada data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang pengeluaran konsumsi per kapita dalam sebulan penduduk Indonesia sepanjang tahun 2020, ditemukan pola konsumsi yang sangat timpang dan menjadi sebuah ironi. Pasalnya, pengeluaran untuk telur dan susu sangat kurang, hanya sekitar 50 persen dari pengeluaran untuk rokok.
Menurut BPS (2020), pengeluaran untuk membeli rokok dalam sebulan mencapai 5,99 persen secara rata-rata nasional. Angka per kapita menghitung seluruh populasi penduduk di Indonesia, padahal banyak penduduk non-perokok dimasukkan dalam variabel. Artinya, angka riil pengeluaran untuk rokok bisa jauh lebih besar.
Bahkan, pengeluaran uang untuk membeli rokok ini lebih besar dibanding uang yang dipakai untuk membeli beras yakni sebesar 5,45 persen sebulan. Dalam satu bulan, pengeluaran rokok masyarakat Indonesia ini setara dengan gabungan pengeluaran telur dan susu (2,84 persen) serta buah-buahan (2,46 persen). Telur, susu serta buah-buahan jelas merupakan sumber nutrisi terbaik, protein dan vitamin serta mineral, untuk keluarga dan utamanya anak baduta agar terhindar dari stunting.
Rokok ternyata juga merupakan penyumbang kemiskinan. BPS mencatat bahwa pengeluaran rokok, khususnya rokok kretek filter, menjadi komoditas penyumbang terbesar kedua pada kemiskinan setelah makanan. Ketika seseorang yang dikatakan miskin ini mengonsumsi rokok, ada kemungkinan Ia menjadi tidak miskin apabila mengalihkan pengeluarannya untuk rokok menjadi pengeluaran untuk komoditi makanan yang memiliki kilokalori.
Suatu aksi individu yang sangat mulia, meski tidak akan mudah, dalam melawan ironi di atas, seandainya saja mulai banyak kepala keluarga yang merokok memiliki kesadaran untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi belanja rokoknya dan mulai dialihkan untuk belanja makanan sumber vitamin, mineral atau protein seperti susu pertumbuhan untuk anak baduta mereka.
Sebagai gambaran sederhana, bila dirupiahkan, sepanjang tahun 2020, rata-rata pengeluaran rokok per kapita sebulan sebesar 73.442 rupiah. Angka ini nilainya setara dengan harga susu pertumbuhan terjangkau (affordable) sebanyak 1.000 gram yang sangat potensial untuk mengurangi jumlah penderita stunting secara signifikan.
Dengan demikian, akan terselesaikan sekurang-kurangnya tiga hal sekaligus, anak terhindar dari stunting, kesehatan kepala keluarga membaik, serta keluarga terhindar dari belenggu kemiskinan. Optimisme baru dalam mengatasi stunting juga tetap terjaga.