Eri Hendro Kusuma, Guru di Kota Batu Produktif Menulis
Guru seringkali disibukkan dengan dua tugas utama. Mengajar dan mengurus berbagai masalah administrasi. Namun hal itu bukan jadi penghalang bagi seorang guru untuk aktif menulis dan berinovasi. Itu dibuktikan Eri Hendro Kusuma.
MALANG POSCO MEDIA-Eri Hendro Kusuma, wong mBatu yang bertempat tinggal di Jalan Terusan Hasanudin 24A Kecamatan Junrejo  Kota Batu. Ia telah menghasilkan berbagai karya tulis. Mulai dari menerbitkan buku populer, kumpulan esai di media massa dan satu buku kumpulan cerpen.
Eri sapaan akrabnya saat ini mengajar di dua sekolah. Sebagai guru di SMPN 7 Kota Batu dan SMPN Satu Atap Pesanggrahan 2 Kota Batu. Jadi jangan dibayangkan betapa banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan, baik mengajar maupun administrasi.
Berbagai kesibukan di dua sekolah itu bukan hambatan Eri. Ia tetap produktif.
Dia tahu bahwa seorang guru harus aktif dan produktif dalam menulis. Karena baginya menulis adalah jendela kepekaan. Sehingga ia harus bisa mencuri waktu untuk bisa berkarya melalui tulisan.
“Awalnya memang dulu menulis untuk sekadar mencari uang ngopi. Tapi lama kelamaan saya merasa jika menulis adalah jendela kepekaan,” ujar Eri kepada Malang Posco Media.
Lebih lanjut ia bercerita bahwa lewat tulisan, bisa makin belajar menangkap realitas sosial dengan hati dan menyampaikannya lewat narasi yang bisa dibaca banyak kalangan.
“Kita tidak hanya menyusun kata, tetapi juga menyusun kepedulian. Ketika tulisan mampu menggerakkan hati seseorang, menggugah kesadaran, atau memantik perubahan, maka di situlah letak keberhasilannya,” bebernya.
Sesuai profesinya sebagai guru, banyak karya tulisan yang ia buat membincang tentang isu pendidikan. Baik di level kebijakan ataupun realitas sehari-hari di sekolah.
Dengan menuliskan realitas sosial di sekolah tentu ia berharap bisa didibaca oleh pembuat kebijakan.
“Ketika menulis tentu harus siap dengan segala konsekuensi, termasuk kritik dari siapapun yang membaca,” imbuh pria kelahiran Malang, 21 April 1989 ini.
Selama menulis, diungkapnya bahwa dari kalangan guru hampir tidak ada yang kontra. Tapi sebaliknya mendapat respon positif.
“Ya karena tulisan saya banyak menyuarakan keresahan guru mulai kesejahteraan. Seperti keberadaan guru honorer dan kesulitan-kesulitan guru ketika melaksanakan kewajiban sehari-hari di kelas,” paparnya.
Meskipun demikian ada juga tulisan yang mengundang perdebatan. Terutama pada saat tulisan yang menyinggung guru-guru kreator konten. Bahkan ia juga dapat serangan dari buzzer kala itu.
“Tapi justru karena itu tulisan menjadi hidup ketika banyak yang memperdebatkan,” terang alumni S1 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang (UM) ini.
Bahkan dirinya juga pernah mendapat peringatan karena opini yang ia tulis. Apalagi dari pihak-pihak yang merasa terganggu dan tidak nyaman dengan isi tulisannya.
Tapi selama apa yang disampaikan adalah sebuah kebenaran, maka Eri tidak pernah takut. Dan cukup dijawab, “Silakan dijawab dengan argumen dari sudut pandang yang lain melalui tulisan,”.
Selain opini saat ini dirinya banyak menulis esai reflektif tentang kehidupan sehari-hari. Mulai dari tingkah lucu anak, cerewetnya istri dan obrolan teman tongkrongan di warung kopi menjadi bahan menarik untuk ia tulis.
Begitu juga untuk buku yang ia tulis lebih ke buku populer. Mulai dari kumpulan esai di media dan satu buku kumpulan cerpen.
Kecintaannya terhadap dunia kepenulisan itulah kemudian mengantarkan Eri mendirikan sebuah kanal menulis. Kanal itu dibuat memang untuk belajar dan memberikan akses terutama penulis pemula mulai anak SD, SMP, SMA, mahasiswa, ataupun masyarakat umum yang ingin menuangkan ide dan kegelisahannya melalui tulisan.
“Apalagi sebagai guru tentu pada akhirnya harus bisa membuka ruang belajar bagi siswanya. Saya sangat senang ketika ada murid yang suka menulis, sehingga beberapa kali membuat komunitas dan di sekolah,” terang mantan Dosen Luar Biasa di Universitas Kahuripan Kediri tahun 2014-2017 ini.
Hasilnya tak main-main. Dengan membuka ruang belajar atau komunitas menulis di sekolah ada siswa yang berhasil membuat novel, buku dan sekadar termuat di media online.
“Satu lagi, menulis harusnya menjadi tradisi bagi guru, karena dengan menulis maka guru akan terdorong untuk membaca. Sehingga kesibukan mengajar dan adminstrasi guru yang seabrek bukan alasan guru untuk tidak menulis,” ungkapnya.
Justru sebaliknya, administrasi guru yang baik itu di dasarkan dari kebiasaan menulis. Dengan begitu produk administrasinya betul-betul otentik dan tidak hasil copy paste saja.
Tak berhenti disitu, Eri juga membuat kanal menulis Setitik.id serta ia koneksikan di YouTube dengan nama @setitikdotid. Anggota yang tergabung dalam komunitas itu adalah anak-anak yang dulu menjadi anggota jurnalistik waktu SMP.
Tujuan dibentuk komunitas tersebut agar tetap nyambung dan terus ada ruang menulis. Jumlah anggota memang belum banyak. Hanya bisa dihitung jari. Maklum kanal tersebut baru dibentuk satu tahun lalu. “Namun hal itu adalah tantangan. Alhamdulillah pelan-pelan sudah mulai ada peningkatan traffic pengunjung dan jumlah yang mengirim tulisan untuk diterbitkan. Karena media ini diniatkan untuk belajar, jadi secara kurasi memang tidak terlalu ketat,” terang pria yang aktif berorganisasi ini. (eri/van)