spot_img
Friday, July 25, 2025
spot_img

Pejabat ‘Cameragenic’

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Saat saya berselancar di sejumlah akun media sosial (medsos), saya temukan akun-akun resmi (official) pejabat publik. Hampir semua pejabat di level pusat dan daerah punya akun medsos. Wajah dan sepak terjang sejumlah Menteri, Wakil Menteri, Gubernur, Walikota, dan Bupati menghiasi platform medsos seperti Instagram, YouTube, dan TikTok. Tak sedikit pejabat publik yang tampil memesona, sukses membangun citra diri lewat medsos.

          Presiden Prabowo Subianto memang pernah meminta agar semua pejabat memiliki akun medsos. Medsos dapat digunakan sebagai media komunikasi dengan rakyat. Apa saja yang dilakukan pejabat publik agar diketahui rakyatnya. Namun, tak sedikit pejabat publik yang menggunakan medsos lebih untuk pencitraan organik lewat pendekatan cameragenic hingga kesan yang muncul adalah narsis ketimbang realistis.

          Sejauh ini banyak pejabat yang telah melakukan personal branding dengan kekuatan kamera. Mereka berakting di depan kamera guna membangun kesan mulia. Adegan yang ditata, senyum yang diatur, pakaian, dan aneka pernak-pernik dirancang guna mengusung pesan tertentu. Penggunaan narasi, diksi, gesture, pakaian, dan adegan tertentu dibuat dan dihitung dengan cermat guna memanen kesan positip.

‘Auragenic’ Bukan ‘Cameragenic’

          Mengutip Rhenald Kasali (2013) dalam bukunya berjudul Camera Branding: Cameragenic vs Auragenic, bahwa saat ini telah terjadi pergeseran tren dari cameragenic ke auragenic. Yang “laku” saat ini adalah mereka yang bisa menampilkan sesuatu yang asli, jujur, dan proporsional. Sejatinya di depan kamera tak ada gesture dan content yang jujur kecuali candid/hidden camera. Keaktoran para selebriti media digital semua tak genuine.

          Dalam situasi yang serba palsu, pura-pura, dan tipu-tipu saat ini muncul kerinduan pada sesuatu yang authentics. Masyarakat sudah muak dengan segala kepalsuan dan kepura-puraan. Masyarakat dengan gampang akan melakukan validasi atas segala yang palsu.Hanya yang autentics atau sesuatu yang genuine, jujur, prososial, atau bahkan altruism yang sedang dicari masyarakat.

          Kalau konten pejabat hanya akan jadi cameragenic pejabat maka keberadaan media ini akan sia-sia. Jika proses membangun citra terjadi dengan rekasaya dan kepura-puraan hanya akan menimbulkan kesadaran bahwa penampilan fisik bukan lagi hal yang mampu membangun simpatik. Justru interaksi antara sang pejabat dengan masyarakat secara alami yang dapat mendongkrak citra positif sang pemimpin.

          Sejatinya cameragenic lebih menekankan pada aspek kemampuan akting atau atraksi (attractiveness) subjek di hadapan kamera. Karena hal itu akan menentukan apakah mata dan pikiran pemirsa ingin terus melihat atau cepat merasa bosan. Dengan kata lain, cameragenic merupakan kesan yang ditangkap secara manifest lewat tampilan fisik. Bisa dikatakan cameragenic lebih menampakkan kulit, bukan isi.

          Sementara itu, auragenic adalah apa yang dirasakan pemirsa tentang sesuatu yang dilihat di layar kaca atau screen gadgetAuragenic tak bisa didapat dari objek yang diam. Karena media mendeteksi gerakan, suara, pendapat, dan respon seseorang maka ia menciptakan interaksi yang di dalamnya dibentuk rasa, apakah orang lain merasa nyaman atau tidak dengan kehadiran seseorang atau produk tertentu. Kalau cameragenic sesungguhnya dapat dipelajari, tetapi auragenic hanya bisa dibangun dengan self awareness yang kuat.

Hiperrealitas

          Menggunakan media komunikasi digital sungguh tak gampang. Jika tak hati-hati, bisa jadi blunder. Penggunaan medsos oleh pejabat memang dapat digunakan untuk mempublikasikan kinerja, transparansi, dan membangun kepercayaan publik. Namun jika manajemen konten, content pilar, content plan, dan unsur-unsur yang lain tak direncanakan dengan baik, maka alih-alih citra yang membaik, yang diperoleh justru sebaliknya.

          Medsos sejatinya memfasilitasi eksistensi sesuatu melebihi esensinya. Realitas yang ditampilkan medsos sangat mungkin realitas hiper dan semu. Hiperrealitas merupakan ungkapan yang dikonsepkan oleh Jean Baudrillard dalam bukunya “Simulacra and Simulation.” Secara harfiah hiperrealitas bisa dimaknai sebagai sebuah kondisi yang melampaui realitas. Hiperrealitas sering kita jumpai dalam dunia maya, ketika pembeda antara yang nyata dan fiksi jadi kabur.

          Menurut Yasraf Amir Piliang dalam “Hipersemiotika”, dalam hiperrealitas kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dan dusta bersenyawa dengan kebenaran. Dunia hiperrealitas sebagai perekayasaan realitas lewat permainan tanda yang melampaui kenyataan sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang ditampilkan ulang.

          Penggunaan medsos sangat mungkin dapat mengaburkan realita itu sendiri. Citra positif yang diharapkan lewat beragam konten yang diunggah bisa jadi citra palsu karena kehilangan kontak dengan realitas yang sesungguhnya. Kesadaran memahami realitas semu dengan kenyataan yang sesungguhnya inilah yang sering menimbulkan persoalan serius. Orang akan hidup dalam situasi kepura-puraan.

          Peradaban kamera merupakan peradaban di depan lensa yang secepat kilat memantulkan citra, muncul, tayang, dan beredar di masyarakat. Peradaban kamera tak ada yang asli. Semua hanyalah akting kecuali pengambilan gambarnya hidden atau candid camera. Seperti halnya para artis atau kreator konten medsos, mereka memang memukau walau untuk itu mereka harus memakai asesoris, ucapan, dan gesture yang palsu. Sejatinya masyarakat yang cerdas tak mau dibohongi dengan aneka kepalsuan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img