Thursday, March 13, 2025

Pelajaran dari “Inferno” Los Angeles

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Dalam sepekan terakhir kita menyaksikan berita mengenai kebakaran hebat yang melanda kawasan Los Angeles, California. Dalam video yang beredar di media sosial, terlihat bara api disertai asap tebal yang membubung tinggi dengan latar gelapnya malam. Hal ini mengingatkan kita pada deskripsi “Inferno” atau neraka oleh penyair Italia abad pertengahan, Dante Alighieri. Kebakaran Los Angeles ini merupakan yang terburuk dalam sejarah Amerika Serikat.

          Berdasarkan warta media lokal, Los Angeles Times, hingga Senin pagi waktu setempat (13/1/2025), kebakaran yang terjadi sejak 7 Januari 2025 ini telah menimbulkan 25 korban jiwa, 23 orang dinyatakan hilang, dan 180.000 penduduk dievakuasi. Total 12.000 struktur bangunan rusak akibat kebakaran.

-Advertisement- Satu Harga Tiga Media

          Kebakaran ini melahap kawasan seluas 156 kilometer persegi atau hampir setara dengan 1,5 kali luas Kota Malang. Dampak dari peristiwa kebakaran ini tidak memandang status sosial masyarakat. Mulai dari pesohor dunia hingga warga biasa terkena imbas bencana kebakaran ini. Bahkan, industri pembuatan film Hollywood terpaksa berhenti total.

Dipicu “Angin Iblis”

          Faktor alam yang ditengarai menjadi pemicu kebakaran dahsyat ini adalah hembusan angin Santa Ana. Santa Ana merupakan angin yang menuruni lereng pegunungan dengan sifat kering dan panas. Kecepatannya mencapai 160 kilometer per jam. Angin ini bertiup antara bulan September hingga Mei setiap tahunnya selama beberapa hari atau bahkan beberapa minggu.

          Penduduk setempat menggambarkan angin Santa Ana seperti udara panas yang keluar dari alat pengering rambut (hair dryer) raksasa. Oleh karena sifatnya yang merusak, penduduk setempat menyebut Santa Ana sebagai “Angin Iblis” atau “Angin Merah.”

          Santa Ana berawal dari kemunculan pusat tekanan udara tinggi di Great Basin, yaitu wilayah pedalaman Amerika Serikat berupa gurun yang mencakup negara bagian Nevada, Utah, Idaho, dan sebagian Oregon. Pusat tekanan udara tinggi ini membentuk aliran udara searah jarum jam menuju selatan dan barat, yakni California.           Angin panas dan kering ini melintasi Pegunungan Sierra Nevada. Begitu menuruni lereng pegunungan, angin ini menjadi semakin panas dan kencang sehingga dapat mengeringkan tanaman. Selain bersifat kering, Santa Ana juga membawa debu pasir dari gurun. Apabila pasir ini bergesekan dengan dedaunan kering, akan timbul percikan api.

          Wilayah California sendiri sudah dalam kondisi kekeringan. Tercatat hujan lebat terakhir di wilayah itu turun pada Maret 2024 lalu. Percikan api tentu mampu membuat kebakaran hutan yang meluas dengan adanya tiupan angin kencang. Hal ini dapat kita analogikan dengan bara api yang menyala terang saat dikipasi.

          Selain hembusan Santa Ana, sejumlah faktor lain mengakibatkan kebakaran hutan sukar dipadamkan. Faktor tersebut di antaranya tutupan semak yang lebat di pegunungan, jarak permukiman yang terlalu rapat, sistem hidran perkotaan yang minim, dan pertumbuhan permukiman yang mendekati kawasan hutan (urban sprawling).

Pelajaran dari Los Angeles

          Terdapat pelajaran berharga yang dapat kita petik dari peristiwa kebakaran Los Angeles ini. Memang, saat ini sebagian besar wilayah Indonesia tengah dalam fase basah atau La Nina yang ditandai dengan curah hujan tinggi. Namun, kita patut mewaspadai tahun-tahun kering atau El Nino yang akan datang.

          Dengan dikelilingi bentang alam pegunungan berhutan, wilayah Malang hampir memiliki topografi menyerupai Los Angeles. Peristiwa kebakaran kerap melanda hutan di gunung-gunung sekitar Malang, terutama pada tahun-tahun kering. Sebagai catatan, dalam sepuluh tahun terakhir, kebakaran hutan terjadi di Malang Raya pada tahun 2015, 2019, dan 2023.

          Pada tahun 2019 terjadi kebakaran hutan di lereng Arjuno seluas 3.000 hektar. Selanjutnya, pada 2023 juga terjadi kebakaran hutan di Arjuno seluas 5.094 hektar, Kawi sebesar 46 hektar, dan Bromo sebesar 989 hektar.

          Kita tentu masih ingat, sisa kebakaran hutan di lereng Arjuno tahun 2019 menyebabkan batang pohon menumpuk di hulu Sungai Brantas. Hal ini membentuk dam alami yang membendung aliran sungai. Apabila terjadi hujan lebat saat musim hujan, bendung alami itu akan jebol. Akibatnya, terjadi banjir bandang di Kota Batu pada November 2021 lalu.

          Pertumbuhan permukiman di Malang Raya yang mendekati kawasan hutan di lereng gunung perlu diperhatikan. Permukiman yang merambah ke kawasan hutan akan meningkatkan risiko bencana saat terjadi kebakaran hutan. Seperti yang terjadi di Los Angeles, pembangunan permukiman yang terlalu dekat dengan hutan mengakibatkan kobaran api dari hutan merembet ke permukiman. Sebaliknya, percikan api yang berasal dari aktivitas manusia juga dapat memicu kebakaran hutan.

          Mitigasi bencana kebakaran hutan ke depannya akan semakin menantang seiring terjadinya krisis iklim. Secara tidak langsung, perubahan iklim akan mengganggu daur hidrologi. Pemanasan global menyebabkan penguapan air semakin intensif. Akibatnya, kadar air di tanah akan berkurang sehingga terjadi kekeringan.

          Sementara itu, jumlah uap air di atmosfer akan semakin berlimpah. Hal ini menjelaskan alasan dalam waktu bersamaan di suatu tempat terjadi kekeringan parah, sedangkan di tempat lain terjadi hujan ekstrem.

          Tentunya, kita tidak mengharapkan bencana kebakaran hutan separah Los Angeles terjadi di Indonesia. Namun, kita dapat belajar cara memitigasi bencana itu dari peristiwa kebakaran Los Angeles. Mengutip pepatah orang Amerika, “Seseorang yang bijak belajar dari pengalaman orang lain, seseorang yang biasa belajar dari pengalamannya sendiri, dan seseorang yang bodoh tidak belajar dari pengalaman sama sekali.” (*)

-Advertisement-

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img